Negeri Esok Hari

By , Senin, 13 Februari 2012 | 09:43 WIB

Ibu kota baru Kazakhstan tak kekurangan bangunan eksotis, beberapa di antaranya digambarkan dengan  julukan setempat nan jahil: pisang (sebuah menara perkantoran berwarna kuning cerah), tujuh barel (sekelompok menara apartemen), pemantik rokok (Kementerian Transportasi dan Komunikasi). !break!

Tetapi, sebuah bangunan, monumen nasional bernama Baiterek, tak memiliki julukan, untuk alasan sederhana bahwa bentuknya tidak mirip dengan apa pun. Baiterek, yang berarti “pohon poplar tinggi” dalam bahasa Kazakh, adalah menara setinggi 97 meter yang ditopang oleh sebuah kerangka baja bercat putih. Di puncaknya terdapat bola kaca berwarna emas.

Menurut prasasti yang terukir di dasarnya, monumen ini mewakili mitos Kazakh yang disebut Samruk, seekor burung suci yang setiap tahun meletakkan telur emas—sang matahari—di puncak pohon kehidupan raksasa. Perancangnya? Tak lain adalah Nur­sultan Nazar­bayev, buruh pabrik baja yang menjadi orang kuat dan memerintah negara ini sejak mem­peroleh kemerdekaannya dari Uni Soviet pada 1991.

Menurut kabar, ia telah mencorat-coret konsep awalnya di atas selembar serbet kertas.Sebagaimana Tsar Peter yang Agung di abad ke-18 merebut daerah berawa di pantai laut Baltik dan mengokohkan kepribadiannya di St. Petersburg—kursi kekuasaan nasional di kekaisaran Rusia—begitu pula halnya dengan Nazarbayev yang memilih sebuah tempat ter­pencil untuk menegakkan bendera negara Kazakh­stan yang baru.

Tidak peduli dengan  ke­­­nya­taan bahwa ibu kota sebelumnya, Almaty, adalah kota menyenangkan beriklim sedang yang tidak ingin ditinggalkan penghuninya ke­cuali sang presiden sendiri.

Pada akhir tahun 1997, pemerintah secara resmi pindah ke kota Aqmola yang membeku dan selalu ditiup angin, hampir 1.000 kilometer ke utara, di padang rumput tanpa pohon di Asia Tengah. Kota ini kemudian ditahbiskan kembali sebagai Astana—kata Kazakh untuk “ibu kota”—perubahan yang diperingati setiap 6 Juli sebagai Hari Astana, yang bertepatan dengan hari ulang tahun Nazarbayev.!break!

Kaya akan minyak dan sumber daya mi­neral lainnya, Kazakhstan telah menghabiskan miliaran dolar untuk ibu kota baru ini, meng­undang beberapa arsitek terkemuka dunia untuk memamerkan karya mereka di Bantaran Kiri Sungai Esil, yang memisahkan “kota baru” administratif dari kota tuanya, yang sebagian besar dibangun oleh orang Soviet di Bantaran Kanan. 

Hasilnya sedemikian menakjubkan, me­­mukau, walaupun tidak sesuai dengan se­lera semua orang. Tetapi entah suka atau tidak, Astana akan tetap berdiri tegak, penduduknya telah membengkak dari 300.000 menjadi lebih dari 700.000 orang dalam satu dekade.

Selama itu, dia telah menjadi sebuah contoh untuk nasional­isme dan aspirasi bangsa Kazakh–se­buah pernyataan sekaligus sebuah kota. Banyak ibu kota lain memiliki asal-usul yang sama, termasuk, tentu saja, St. Petersburg. Akan tetapi, akhirnya kota Rusia itu memiliki hidupnya sendiri, mampu bertahan, dan men­jadi makmur. Apakah Astana akan mengalami hal yang sama?

Yang pasti, Yernar Zharkeshov tidak me­ragu­kannya. Pria berusia 24 tahun yang rapi, mengenakan celana khaki dan kemejapolo baru, bertemu dengan saya untuk makan siang di sebuah restoran Asia Tengah kelas atas di Nurzhol Boulevard—Jalan Bercahaya. Dia di­temani oleh seorang wanita muda cantik ber­nama Michelle, yang datang berkunjung dari kampung halamannya di Singapura, tempat Zharkeshov baru-baru ini menyelesaikan gelar master di bidang kebijakan publik.

Ia memesan sosis daging kuda dan koumiss—fermentasi susu kuda yang beralkohol dan merupakan minuman nasional bangsa Kazakh—mengamati dengan heran saat Michelle dengan gagah berani mencoba meminumnya beberapa teguk sebelum akhirnya menyerahkannya kepada pria itu.

Sebagai putra seorang mantan pejabat Partai Komunis, Zharkeshov adalah anggota etnik kelompok Kazakh yang meliputi lebih dari 60 persen penduduk negara itu yang berjumlah 16 juta orang. Terkenal karena kemampuan ber­kudanya, orang-orang Kazakh hidup sebagai pe­ngembara sekian abad lamanya sebelum tanah air mereka yang luas dan kosong, kira-kira sama besarnya dengan benua Eropa, diserap ke dalam kekaisaran Soviet. !break!

Enam tahun setelah runtuhnya Uni Soviet, Zharkeshov pindah dengan orang tua dan empat saudaranya ke ibu kota baru. Zharkeshov akhirnya meraih beasiswa dari pe­merintah untuk belajar di Inggris, tempat dirinya mem­peroleh gelar sarjana sebelum menuju Singa­pura. Kemudian dia pun pulang ke Astana untuk berburu pekerjaan.

Zharkeshov sangat senang dengan ibu kota baru yang sepertinya menjanjikan, baik untuk dirinya maupun untuk sebuah negara, yang dalam pandangannya terlalu sering disamakan dengan negara-negara tetangganya yang tidak stabil. Akan tetapi, Astana, ujar Zharkeshov, adalah wajah Kazakh­stan yang baru. “Benar-benar luar biasa, sungguh, menjadi bagian dari proses ini. “

Hanya beberapa hari setelah kami ber­temu, dia mendapatkan pekerjaan yang didamba­kannya, sebagai ekonom pemerintah, bergabung dengan ribuan pemuda lainnya—usia rata-rata di ibu kota hanya 32 tahun—saat Astana telah menjadi sebuah mercusuar kesempatan.

Seperti Zharkeshov, sebagian besar pendatang baru berasal dari etnik Kazakh. Dominasi mereka mencerminkan kecenderungan pemerintah untuk mempekerjakan orang-orang yang dapat berbicara bahasa Kazakh, yang membuat kesal orang-orang non-Kazakh. Penekanan pada bahasa Kazakh adalah bagian dari tren yang oleh sebagian orang disebut sebagai Khazakhifikasi, dengan Astana menjadi contoh yang paling mencolok dan Nazarbayev sebagai promotor yang paling bersemangat.

Sebagai etnik Kazakh, presiden tersebut di­lahir­kan 71 tahun yang lalu dari pasangan peng­gembala dari sebuah desa di tenggara negara itu. Dia pernah bekerja di pabrik besi sebelum bergabung ke Partai Komunis, di mana dirinya memegang pos kepemimpinan senior sewaktu runtuhnya Uni Soviet.

Setelah menduduki kursi kepresidenan, dia mulai meletakkan dasar untuk memindahkan ibu kota dari Almaty ke Aqmola, di bagian utara-tengah Kazakhstan. Banyak yang bingung dengan pilihannya. Aqmola didirikan pada tahun 1830 se­bagai benteng tsar, ia berkembang sebagai per­simpangan jalan kereta api dan dikenal se­lama zaman Soviet sebagai Tselinograd.

Pada tahun 1950-an dan 60-an, Nikita Khrushchev bertujuan untuk mengubah daerah itu menjadi lumbung kekaisaran Soviet. Namun, pada tahun 1990-an, kota itu mengalami masa-masa sulit karena suhu yang terjun hingga minus 51°C di musim dingin, awan nyamuk di musim panas, angin kejam yang menghamparkan badai debu di atas ladang siap panen.!break!

Seorang pemain biola yang ber­latih di Moskow bernama Aiman Mussa­kha­jayeva adalah seorang yang skeptis. Ia dibesarkan di Almaty dan bertemu Nazarbayev setelah salah satu konsernya di sana pada pertengahan 1990-an. Sang presiden bertanya apakah ia ingin mendirikan sebuah akademi musik nasional. Dia senang dengan tawaran itu dan berasumsi akademi akan di­dirikan di Almaty.

Ketika Nazarbayev menyampaikan rencana­nya, Mussakhajayeva berpikir, Apakah Aqmola itu? Tetapi dia menelan keraguannya dan meng­ikuti sang presiden ke ibu kota baru, di mana dia sekarang menjalankan Universitas Seni Nasional yang terletak di sebuah bangunan melingkar ber­warna biru terang yang disebut banyak orang sebagai mangkuk anjing.

Nazarbayev telah memberikan bebe­rapa alasan untuk memindahkan ibu kota dari Almaty, di antaranya kerentanan kota itu terhadap gempa bumi dan jaraknya yang sangat dekat dengan pegunungan Tian Shan, yang membatasi ruang untuk per­­tumbuhan­nya. Namun, geopolitik juga me­mainkan peranan penting.

Nazarbayev sangat diyakini telah termotivasi oleh rasa takutnya atas rancang daerah Rusia di wilayah utara Kazakh­stan. Namun, apa pun alasannya, ha­nya sedikit yang mau atau mampu menantang pimpinan otoriter itu, yang tetap populer karena telah mem­promosikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi meskipun diterpa kritik atas pemerintahnya sehubungan dengan korupsi dan pelanggaran HAM.

Untuk membangun kota impiannya, Nazar­bayev meminta bantuan dari pihak asing yang ingin melakukan bisnis dengan Kazakh­stan–di antaranya adalah emir Qatar dari Teluk Persia, yang mendanai pembangunan sebuah masjid dengan ruang untuk 7.000 jamaah. Islam adalah agama yang dominan di Kazakhstan, meskipun negara ini secara resmi adalah negara sekuler.

Ia juga mendatangkan bakat global terkemuka seperti mendiang arsitek Jepang, Kisho Kurokawa, yang merancang tata ruang induk kota Astana. Tetapi dia tidak pernah meninggalkan keraguan mengenai siapa yang berkuasa. !break!

Sarsembek Zhunusov, kepala arsitek kota, teringat rasa gentar yang dialami rekan-rekannya ketika beberapa tahun yang lalu Nazarbayev menyatakan bahwa dia ingin mem­bangun sebuah piramida besar. “Semua orang merasa takut karena kita harus menjadi arsitek hebat untuk membangun sebuah piramida.”

Pekerjaan membangun Istana Perdamaian dan Harmoni akhirnya jatuh ke­pada Norman Foster, arsitek Inggris yang juga bertanggung jawab untuk pembangunan Khan Shatyr, atau “tenda raja,” sebuah bangunan anggun, tembus pandang yang mengingatkan kita akan sebuah yurt (tenda khas Kazakh).

Nazarbayev tetap ingin terlibat dalam se­tiap perencanaan kota itu, sampai ke pilihan hamparan bunga dengan pola memikat. “Dia selalu memiliki beberapa komentar,” ujar Zhunusov. Saat inti ibu kota hampir selesai, Nazar­bayev memerintahkan para arsitek untuk mengeksplorasi kemungkinan membangun tenda raksasa lainnya yang akan menampung “kota dalam ruangan” dengan pengendalian-suhu berkapasitas 15.000 orang.

Mungkin tempat terbaik untuk mengetahui sejauh mana ambisi—dan ego—yang dimiliki Nazar­bayev adalah ruang pengamatan di atas Baiterek. Di tengah-tengah lantai dengan pe­mandangan 360-derajat dan bar yang me­nyajikan bir Turki dingin tampak tumpuan pe­runggu ditutup sebuah lempengan emas padat seberat dua kilo, di tengah-tengahnya terlihat cap tangan kanan sang presiden.

Kota ini pun memiliki sisi jenakanya. Patung-patung yang diselimuti tanaman anggur—angsa, kuda, jerapah—tampaknya lebih dekat dengan Disneyland daripada Pyongyang. Pada sore yang segar di bulan Juni, anak-anak meniup ge­lembung sabun di alun-alun di samping Air Mancur Menari, yang diterangi lampu warna-warni saat lagu hip-hop Rusia di­kumandangkan dari beberapa pengeras suara besar.

Pemain skateboard mengenakan celana jeans rendah memamerkan keahliannya saat polisi melihat acuh tak acuh. Kafe di luar melayani anggur Prancis seharga sekitar Rp156.000 per gelas.

Etos ibu kota yang meledak-ledak mungkin menemukan puncak ekspresinya di pusat per­belanjaan, dengan Khan Shatyr—tenda rancang­an Foster—adalah tempat yang pa­ling terkenal. Tingkat paling atas menjadi se­buah pantai dalam ruangan dilengkapi kolam renang arus dan pasir impordari Maladewa.

Astana bukanlah sekadar proyek kesombong­an seorang diktator atau kota tempat orang-orang kaya berpesta, melainkan juga magnet bagi para pencari kerja seperti Yernar Zharkeshov. Juga, seperti Darkhan Dossanov, seorang pria gigih berusia 25 tahun yang dengan senyuman miring lalu mendekati saya di jalan pada satu malam untuk melatih bahasa Inggrisnya.

Enam hari sebelumnya, ia tiba di ibu kota hanya dengan membawa ponsel dan Sony PlayStation jinjing, setelah menjual kamera digitalnya untuk membeli tiket kereta api dari rumahnya yang berjarak sekitar 800 kilometer sebelah timur ibu kota. Ia telah mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pelayan di sebuah restoran Italia nan mewah. Sebelum menemukan tempat berteduh di sebuah apar­temen tiga kamar tidur sempit bersama dengan sepuluh orang lainnya, dia tidur di atas beberapa kursi restoran yang disatukan.

Seminggu kemudian, Dossanov mengatakan kepada saya bahwa dirinya telah kehilangan pe­kerjaan di restoran karena penglihatannya yang terganggu. Akhirnya, dia melamar pekerjaan ke sebuah restoran lain dan tetap yakin bahwa dirinya telah membuat pilihan yang tepat dengan datang ke Astana. !break!

Memang, energi kreatif dan kewirausahaan tampak bergejolak di kalangan muda Astana. Dalam teater lusuh di Bantaran Kanan Sungai Esil, empat penari muda melompat dan berputar mengikuti rutinitas tarian avant-garde di bawah tatapan tajam Adyl Erkinbaev, seorang penari dan koreografer berusia 32 tahun yang menata rambutnya dengan ekor kuda pendek.

Erkinbaev berasal dari Kirgistan, tempat dirinya menghadiri sekolah balet nasional. Dia pindah ke Astana pada tahun 2002 sebagai bagian dari inisiatif pemerintah kota untuk memenuhi ibu kota baru dengan kaum seniman dan penampil. Musim semi lalu, balet bangkrut tetapi Erkinbaev telah merekrut empat penari untuk sebuah produksi independen.

Pada malam lainnya saya menghadiri se­buah pertemuan para profesional muda, banyak di antaranya mengenyam pendidikan di luar negeri. Mereka mendengarkan seorang pembicara tamu dengan penuh perhatian, Aidyn Rakhimbayev yang berusia 38 tahun, yang menggambarkan pendakian cepatnya dari seorang pedagang batu bara kecil menjadi kepala salah satu perusahaan konstruksi terbesar di negara itu.

Ditekan oleh seorang pendengar untuk mem­berikan nasihat tentang bagaimana mengubah ide menjadi sebuah bisnis, Rakhimbayev menjawab kasar, “Sebuah gagasan tidak ada arti­nya. Apakah kamu memiliki keterampilan? Apa rencana bisnismu?” Dia mendorong mereka untuk membaca buku-buku karya guru manajemen, sementara ia mengakui bahwa diri­nya cukup terlambat untuk melakukan hal seperti itu—karena sibuk cari uang.

“Saya mendapatkan satu juta pertama di usia 29,” katanya. “Dalam dolar. Saya mendapatkan sepuluh juta pertama di usia 32. Lalu saya memutuskan sudah waktunya untuk mulai membaca buku.”

Sebelum kunjungan saya berakhir, saya men­dapat telepon dari Yernar Zharkeshov, yang baru diangkat sebagai ekonom pemerintah. Dia meminta saya bertemu untuk minum kopi. Dia menyampaikan maksudnya. Ayahnya mencoba untuk mempersiapkan Zharkeshov sebagai konsultan bagi  investor asing dan bertanya-tanya apakah saya bisa memberikan sejumlah nama calon klien.

Kemudian dia minta diri untuk mengantarkan keponakannya menonton Cars 2, sebuah film dari Pixar,  yang merupakan film Barat pertama yang disulihsuarakan dalam bahasa Kazakh, bukan dalam bahasa Rusia.!break!

Dengan semua kemegahan yang dipancarkannya, terdapat kualitas yang lemah, bahkan bersifat sementara dari ibu kota baru yang hinggap di pikiran saya setiap kali turunnya hujan, ketika air tumpah ruah melalui langit-langit gedung perbelanjaan ke lantai pertama menara apartemen baru yang telah saya sewa untuk jangka pendek.

Pada suatu Sabtu sore, saya menghadiri piknik di taman. Seorang bankir muda yang ber­sekolah di Amerika mendekati saya, tanpa diminta, lalu menyarankan agar saya tidak usah terlalu terkesan dengan Astana. “Seluruh tempat ini seperti mimpi,” katanya dengan senyuman lemah.

“Dia tidak menopang dirinya sendiri. Se­jujurnya, ia benar-benar tergantung kepada harga minyak.” Dia terdiam dan mengangkat bahu. “Kami memiliki sedemikian banyak sum­ber daya alam sehingga kami mampu bersikap bodoh saat ini.”

Tetapi, itu tentu saja pandangan minoritas di antara sesama orang-orang yang berpiknik di bawah naungan pohon poplar dan memenuhi piring kertas mereka dengan umbi manis, jeruk, dan pangsit berisi daging yang disebut manti. Se­seorang mengedarkan sebotol koumiss; “Se­tiap orang yang mencintai pekerjaan mereka, tolong angkat tangannya,” perintah Zhanna Kuna­sheva, seorang wanita berusia 33 tahun yang bekerja untuk kantor Shell Oil setempat.

Kunasheva kemudian membagi-bagikan salinan lirik lagu-lagu Frank Sinatra dan bintang pop Rusia, memimpin kelompok itu untuk menyanyi spontan bersama-sama. Setelah beberapa jam lamanya, pesta itu pun bubar. Angin mendesah di antara pohon poplar dan kaki langit ibu kota baru, seperti datangnya malam, seakan-akan memanggil dengan janji yang cerah dan menggairahkan.