Sulit menjelaskan mengapa saya memilih tinggal di lintasan sempit berpasir yang sering dihantam badai. Sejak 1956 saat berusia 12 tahun, saya sering mengunjungi Outer Banks di North Carolina yang sering disebut OBX. Kira-kira pada saat saya mulai mencintai dunia fotografi. Kini, ciri khas OBX: aroma, sinar mentari, dan cuaca yang cepat berubah, adalah bagian dari jati diri saya. Apabila tidak sedang menyusuri jalanan berdebu di Senegal atau berdansa di Rio saat karnaval, saya menghabiskan waktu di Outer Banks. Setelah menyelesaikan lebih dari 40 penugasan untuk National Geographic, banyak asam garam kehidupan yang saya nikmati. Namun, tak ada pemandangan lebih indah daripada kecantikan alam dari beranda rumah.
Bagi saya, Outer Banks amatlah mengesankan. Bagi orang lain mungkin biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang sengaja datang ke sini untuk merintis karier. Melarikan diri dari pekerjaan, bisa jadi. Ketika saya diajak orang tua saat kecil, tempat ini dihiasi beberapa vila musim panas yang tersebar di antara pepohonan. Saya berkemah di pantai dan menikmati ombak sambil berselancar dengan tubuh. Saat remaja, saya kempiskan sedikit ban mobil Chevy 53 milik keluarga, lalu mengendarainya agak kencang bersama teman di pantai saat air surut, tangan di jendela sementara suara radio meraung-raung.
Kenangan saya pun tidak bisa sepenuhnya menjelaskan mengapa saya mencintai Outer Banks. Ada sesuatu yang hakiki, sesuatu tentang cuaca yang selalu berubah. Setiap hari menyuguhkan sinar mentari, embusan angin, kenikmatan berselancar, dan hujan yang khas. Langit yang luas seakan pentas untuk badai musim panas. Awan seputih kapas muncul di batas cakrawala, lalu mendadak kelam. Kilat menyambar, kolom air menyeruak di antara gemuruh, dan tirai hujan bercampur pasir menampari kaca jendela. Tiba-tiba saja, mentari bersinar dan angin menerbangkan layang-layang ke angkasa.
Prahara kecil ini berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap saat angin tak terduga bisa menerjang dan mengempaskan kapal ke pantai. (Ada sekitar dua ribuan rongsokan kapal di sepanjang pantai OBX.) Atau mungkin juga menerbangkan kita ke langit. (Korbannya, Orville dan Wilbur Wright.) Tinggal di sini memang ibarat menantang cuaca.
Kepulauan itu diselimuti bukit pasir yang terus berubah bentuk. Samudra Atlantik pun menggerogotinya. Memindahkannya. Badai dan angin topan tropis ganas menerjang setiap beberapa tahun sekali, kadang menciptakan sungai kecil baru di seluruh kepulauan. Tahun lalu, akibat badai Irene, tetangga saya Billy dan Sandra Stinson kehilangan pondok musim panas yang bersejarah. Rumah itu adalah salah satu dari segelintir rumah daerah Nags Head asli yang masih ada, dibangun di atas panggung di lahan kering. Namun, perlahan-lahan air laut Selat Roanoke berhasil mencapai bagian bawahnya. Billy dan Sandra bertekad membangunnya kembali. Ini sikap yang lazim dilakukan penjudi—menggandakan taruhan, menantang cuaca.!break!
Mengapa ada orang yang mau hidup tanpa keamanan yang pasti? Karena kami semua penjudi, berharap dewi fortuna menaungi kami. Dan karena saat badai tiada, kehidupan di sini adalah yang terbaik. —David Alan Harvey
Outer Banks sudah lama menyajikan beragam acara menarik. Ikan marlin yang dijadikan piala dan hiu besar yang ditangkap di kawasan laut-dalam selalu menarik kerumunan di dermaga. Banyak anjing peselancar dan hampir setiap orang punya kisah menarik untuk diceritakan. Namun, bukti nyata paling memukau mungkin peranan OBX dalam menyelenggarakan pesta kembang api. Dahulu, orang membawa truk sarat kembang api ke pantai, lalu memamerkan aneka kembang api menawan hati. Saat itu tidak terlalu jadi masalah karena belum banyak rumah yang bisa dilalap api. Beberapa tahun silam, aturan dan peraturan diperkenalkan, tetapi selalu ada pertunjukan menarik setiap tanggal 4 Juli. Di malam musim panas, kita masih bisa mendengar rentetan kembang api—atau di bibir pantai, menembakkan kembang api bernama lilin roma ke ombak yang memecah di pantai. Selalu ada hasrat yang sulit dibendung.
Saat saya remaja dan berkunjung pada 1960-an, Outer Banks adalah tempat bagi lelaki berjanggut panjang, menyewa perahu untuk menyeret pukat harimau berisi ikan sarden dan tuna, dan bergaya bak perompak terkenal Blackbeard. (Ia meninggal di sini pada 1718.) Namun, musim panas di OBX sejatinya adalah kehidupan bebas ibarat impian masa lalu yang indah. Sambil bersepeda di sekitar permukiman, saya melihat tempat yang cocok untuk keluarga: mengajak anak menonton karnaval, remaja untuk bersuka ria di musim panas, bermeditasi, menghirup udara segar, berselancar, bahkan menikmati cuaca. Apakah semua orang menikmati kebebasan ini? Saya harap begitu—sekalipun akhirnya mereka harus kembali ke dunia nyata, cepat atau lambat. Itu yang saya rasa: tak terganggu apa pun, kecuali bentangan pantai terelok di planet ini.