Elegi Energi Nusantara

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:35 WIB

Bulan Maret 2012 mungkin menjadi bulan paling panas dalam sejarah karut-marutnya persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Hampir di seluruh pelosok negeri terjadi demonstrasi untuk menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi se­besar Rp1.500 (dari Rp4.500 menjadi Rp6.000). Di beberapa daerah, termasuk yang terbesar, di depan gedung DPR Jakarta, aksi unjuk rasa bahkan berujung bentrok.

Tentu saja ada pihak yang mendukung ke­putusan pemerintah, namun jumlahnya teng­gelam oleh sorak dan riuhnya masyarakat yang menentang. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan harga BBM, sesuai rekomendasi Rapat Paripurna DPR yang dramatis pada 31 Maret 2012.

Persoalan BBM—atau energi secara umum—di Indonesia memang pelik. Tidak ada masalah yang begitu menyita perhatian masyarakat seperti kenaikan harga BBM. Di sisi lain, masih banyak kalangan masyarakat yang belum menyadari bahwa bensin atau listrik yang mereka konsumsi, saat ini berasal dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, alias jumlahnya terus menyusut seiring waktu.

Kebanyakan masyarakat perkotaan bahkan kerap tidak peduli jika bensin yang mereka gunakan disubsidi oleh pemerintah yang nilainya tiap tahun makin membengkak. Penggunaan BBM bersubsidi secara salah juga dilakukan dalam skala yang jauh lebih besar oleh sejumlah perusahaan tambang dan perkebunan di beberapa wilayah pedalaman.

Bayangkan ini: pada tahun depan, jumlah subsidi yang diajukan pemerintah melalui Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebesar Rp193,81 triliun atau naik sekitar 41 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2012 yang sebesar Rp137,38 triliun. Subsidi sebesar itu hampir separuh anggaran pendidikan (Rp286,56 triliun).

Untuk mengurangi subsidi, jalan yang dianggap paling tepat: menaikkan harga BBM subsidi. Namun, kebijakan itu merupakan masalah yang kental aroma politiknya.

Kemacetan lalu-lintas yang terjadi di kota-kota besar, terutama Jakarta, juga secara signifikan berkontribusi dalam pemborosan subsidi. Menurut Sutanto Suhodo, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia,  kemacetan di Jakarta diperkirakan menyumbang pemborosan subsidi BBM sekitar Rp10 triliun per tahun.

Lantas, apakah produksi minyak nasional memang telah menipis?!break!

Dalam sebuah kesempatan diskusi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2000-2009) Purnomo Yusgiantoro berbicara panjang lebar mengenai industri minyak Nusantara. “Pengertian migas sebagai depleteable resource harus dipahami banyak pihak.” Di negara kita, lanjutnya, minyak telah ditemukan sejak seratus tahun silam. Saat pengurasan berlangsung, produksi minyak akan mencapai titik jenuhnya.

“Waktu disedot dia mencapai peak, begitu sampai peak dia sudah tak bisa sustain lagi. Decline itu sudah terjadi tahun 1996,” urai Gubernur Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada 1996-1998 ini. Pengurasan terjadi karena tar­get penerimaan minyak waktu itu besar se­­kali sampai ada yang 75 persen. Jadi, kalau penerimaan minyak turun, penerimaan negara juga tu­­run. Aki­batnya, depresiasi seperti yang terjadi pada 1980-an.

Menurut Purnomo, pada masa akhir pemerintahan Orde Baru dirinya telah meng­ingatkan agar negara jangan lagi bergantung pada migas. “Tetapi tetap saja bergantung, dan 30 persen pendapatan masih dari minyak. Jadi, kalau dikatakan secara makro Indonesia tidak melakukan diversifikasi ekonomi memang betul. Karena orang selalu merujuk ke pendapatan minyak dan gas.”

Secara alami, produksi minyak mentah Indonesia terus merosot, sementara konsumsi BBM tak pernah turun seiring meningkatnya jumlah penduduk dan industrialisasi. Pemerintah bersama Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) terus berupaya menahan laju penurunan produksi minyak dan kondensat. Pada 2006, upaya itu berhasil menekan laju penurunan hingga 1,2 persen, lebih kecil dibandingkan kurun 2001-2005 yang berlaju 3-6 persen.

Para ahli perminyakan memang telah mem­perkirakan penurunan produksi minyak mentah negara kita. Penyebabnya, faktor alamiah dari kandungan migas dan faktor manajemen. Kebanyakan lapangan minyak yang kita miliki juga telah uzur.