Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

“Gading, gading, gading,” seru pramuniaga Galeri Savelli di Lapangan Santo Petrus di Vatican City. Vatikan baru-baru ini menunjuk­kan komitmen untuk menghadapi masalah ke­jahatan transnasional, menandatangani ke­sepakatan tentang perdagangan narkoba, teroris­me, dan kejahatan terorganisasi. Namun, belum menandatangani perjanjian CITES sehingga tak tunduk pada larangan perdagangan gading. Jika saya membeli salib gading, ujar pramuniaga itu, toko akan mengupayakan agar salib itu diberkati pendeta Vatikan dulu, lalu mengirimkannya kepada saya.

Meskipun dunia telah menemukan pengganti untuk setiap kegunaan praktis gading—bola biliar, tuts piano—kegunaan religius tak lekang oleh waktu. Tahun lalu, Presiden Libanon, Michel Sleiman, memberi Paus Benediktus XVI sebuah wiruk (pedupaan dengan rantai di bagian atas) gading dan emas. Pada 2007, Presiden Filipina, Gloria Macapagal-Arroyo, memberikan patung gading Santo Niño kepada Paus Benediktus XVI. Semua hadiah ini menjadi berita utama internasional. Bahkan Presiden Kenya, Daniel arap Moi, tokoh pelarangan gading global, memberikan gading gajah kepada Paus Yohanes Paulus II. Setelah itu, Moi membuat isyarat simbolis yang lebih dramatis, membakar 12 ton gading Kenya.

Pastor Jay adalah kurator pameran Santo Niño tahunan yang diselenggarakan keuskupan­nya, yang memamerkan koleksi terbaik jemaat parokinya dan memenuhi bangunan berlantai dua di luar Manila. Lebih dari 200 pajangan dikelilingi sedemikian banyak bunga segar. Patung gading Santo Niño mengenakan mah­kota berlapis emas, perhiasan, dan kalung kristal Swarovski. Matanya dilukis dengan tangan pada kaca impor dari Jerman. Bulu matanya terbuat dari bulu kambing. Emas yang disulam di jubah­nya diimpor dari India.

“Menurut saya, hal itu tidak berlebihan,” kata Pastor Jay. “Saya menyebutnya sebagai per­sembahan kepada Tuhan.”Pastor Jay menunjuk patung Santo Niño yang memegang burung merpati. “Sebagian besar gading tua merupakan pusaka,” katanya. “Gading baru berasal dari Afrika. Masuknya me­lalui pintu belakang.” Dengan kata lain, gading itu diselundupkan. “Ini seperti melurus­kan garis bengkok: kita membeli gading dari asal-usul yang tidak jelas, lalu mengubahnya menjadi barang spiritual. Begitu, bukan?” kata­nya terkekeh. Suaranya direndahkan menjadi bisikan. “Karena mirip membeli barang curian.”

“Saya hanya memberi tahu mereka untuk membeli gading baru sehingga sejarah patung akan dimulai olehmu,” katanya.

Ketika saya bertanya bagaimana gading baru tiba di Filipina, dia mengatakan bahwa umat Islam dari Pulau Mindanao di selatan yang menyelundupkannya. Kemudian, untuk me­nunjuk­kan adanya suap, dia memasukkan dua jarinya ke dalam saku bajuku. “Untuk penjaga pantai, misalnya,” katanya. “Kamu harus terus membayar sedemikian banyak orang agar gading itu akhirnya masuk ke negaramu.” Ini adalah bagian dari pengorbanan seseorang bagi Santo Niño—menyelundupkan gading gajah sebagai tindakan devosi.!break!

Cara menyelundupkan gading

Saya sama sekali tidak pernah bermimpi meng­hubungkan Monsignor Garcia dengan kegiatan ilegal. Tetapi, ketika mengatakan kepadanya bahwa saya ingin membeli gading Santo Niño, pria itu mengejutkan saya. “Kamu harus menyelundupkannya untuk masuk ke AS.”

“Bagaimana caranya?”

“Bungkus dengan pakaian dalam tua yang bau dan tuangkan saus tomat ke atasnya,” katanya. “Jadi, gading itu akan terlihat kotor oleh darah.”

Garcia memberi saya nama pemahat gading favoritnya, semuanya di Manila. Jika ingin me­nyelundupkan ikon yang terlalu besar untuk disembunyikan di dalam koper, saya dapat meminta sertifikat dari Museum Nasional Filipina yang menyatakan patung saya adalah patung antik, atau saya dapat meminta seorang pemahat untuk menyertakan dokumen yang me­nyatakan patung ini adalah imitasi atau me­ngubah tanggal ukiran menjadi tanggal se­belum ditetapkannya pelarangan gading.

Apa pun keputusan yang saya ambil, Garcia berjanji untuk memberkati gading itu untuk saya. “Tidak seperti pendeta gila satwa yang tidak mau mem­berkati gading,” katanya.