Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

Beberapa keluarga menguasai sebagian besar industri ukiran gading di Manila. Dalam lima kunjungan ke Filipina, saya mengunjungi setiap toko gading yang direkomendasikan Garcia dan bertanya lebih lanjut tentang cara membeli gading. Lebih dari sekali, mereka bertanya apa­kah saya pastor. Di hampir setiap toko, ada saja yang mengusulkan cara menyelundupkan gading ke AS. Ada yang menawarkan mencat gading saya dengan cat air cokelat agar me­nyerupai kayu; lainnya menawarkan membuat patung identik dicat tangan dari resin untuk menyamarkan patung gading bayi Yesus saya.

Para pastor, balikbayan (warga Filipina yang tinggal di luar negeri), dan lelaki homoseksual Filipina adalah pelanggan utama, menurut pe­dagang gading paling terkemuka di Manila. Tampaknya Pastor Jay memang benar soal rute pasokan Muslim. Beberapa pedagang Manila mengatakan bahwa pemasok utama adalah Muslim Filipina yang memiliki koneksi ke Afrika. Muslim Malaysia pun terlibat dalam jaringan mereka. “Kadang mereka mem­bawanya masih dalam keadaan berdarah dan memancarkan bau busuk,” kata salah seorang pedagang sambil menjepit hidungnya.

Perdagangan gading zaman sekarang mengikuti rute perdagangan kuno—dipercepat dengan adanya pesawat terbang, ponsel, dan internet. Sekarang, beberapa foto terbaru yang pernah saya lihat menampilkan salib gading Koptik yang dijual berdampingan dengan tasbih gading di pasar Kairo menjadi lebih masuk akal. Tiba-tiba saja, penangkapan gading baru-baru ini di Zanzibar, sebuah pulau pemerintahan Islam di lepas pantai Tanzania—yang selama berabad-abad menjadi pusat perlintasan global untuk perdagangan budak dan gading—tampak­­nya dapat dipahami, tanda bahwa ke­jahatan gading skala besar mungkin tidak akan pernah menghilang. Setidaknya saat ini sebuah pengiriman sudah berangkat menuju Malaysia, tempat terjadinya beberapa kali penangkapan bervolume multiton tahun lalu.

Pasar gading Filipina masih kecil di­banding­kan dengan, katakanlah, Cina, tetapi usianya telah berabad-abad dan terlihat sangat jelas. Para kolektor dan pedagang berfoto dengan ga­ding mereka, dipajang di Flickr dan Facebook. CITES, sebagai administrator pelarangan ga­ding global 1989, adalah organisasi resmi dunia yang merintangi pembantaian 1980-an—konon Afri­ka telah kehilangan setengah populasi gajahnya, lebih dari 600.000 ekor, hanya dalam waktu sepuluh tahun—dan pemusnahan gajah. Jika CITES kecolongan soal perdagangan ga­ding Filipina, apa lagi yang sudah luput dari perhatian organisasi itu?!break!

Biksu gajah

Pemahat gading di Phayuha Khiri dan Surin adalah yang paling terkenal di Thailand, dan men­jadi target sebagian besar penyelidikan perdagangan gading ilegal. Phayuha Khiri begitu besar dedikasinya untuk gading sehingga di pusat kota tampak lingkaran yang dibentuk dengan empat gading besar berwarna putih. Di jalan utama tampak sejumlah patung biksu terkenal berukuran besar, patung kecil Buddha terbungkus plastik, dan gelang serta barang religius lain yang dijual lusinan sekantong di pinggir jalan. Sekian banyak penjual di kedua sisi jalan yang panjang ini adalah gerai grosir penganut Buddha. Orang yang saya lihat ber­belanja selama berkunjung ke Phayuha Khiri adalah sekelompok biksu berjubah jingga.

Saya melacak kepala pedagang gading di desa itu—Mr. Thi, yang mengenakan jimat kalung gading dan sabuk gesper gading—melihat-lihat tokonya dan bisnis ukirannya, lalu mengunjungi rumahnya yang besar dan mewah. Mr. Thi ber­cerita bahwa industri ukiran Phayuha Khiri di­dirikan oleh seorang biksu yang senang me­ngukir jimat gading. Saya dapati bahwa para biksu memberikan jimat sebagai imbalan untuk sumbangan. Semakin besar sumbangan, semakin indah jimat yang diberikan.

Sang Biksu Gajah, Kruba Dharmamuni, ingin mengajak saya berbelanja gading di Surin. Dahulu kala, Surin adalah tempat tinggal penangkap gading bangsawan Siam. Pedagang yang menjual cincin, gelang, dan jimat gading berbaris di pintu masuk taman wisata Surin.

“Gading dapat mengusir roh jahat,” kata Biksu Gajah. Di lehernya tampak liontin kepala gajah dari gading yang menggantung di tasbih gading yang melambangkan 108 hasrat manusia.

Gajah adalah lambang Thailand dan di­hormati dalam agama Buddha. Menurut legen­da, seekor gajah putih bergading enam me­langkah ke sisi kanan Ratu Maya pada malam saat sang ratu mulai mengandung Siddhartha Gautama. Katanya, dia memiliki 100.000 pe­ngikut di seluruh dunia, meskipun selama kunjung­an saya ke kuilnya hanya beberapa orang yang muncul.

Banyak warga Thailand mengenakan jimat, kadang-kadang puluhan, untuk mendatangkan keberuntungan dan melindungi mereka dari marabahaya dan ilmu hitam. Pasar jimat Bangkok sangat besar, dengan pedagang yang tak terhitung banyaknya menjual puluhan ribu jimat kecil yang terbuat dari bahan seperti logam, debu padat, tulang—dan gading. Jimat berkualitas tinggi dapat bernilai Rp1 miliar atau lebih. Tentara Thailand membagi-bagikan jimat kepada tentara di perbatasan untuk menangkal ilmu hitam pasukan Kamboja.

Pendapatan utama Biksu Gajah berasal dari jimat dan dia menawarkan berbagai jimat aneh, termasuk patung dirinya dan Buddha serta jimat yang terbuat dari potongan tulang tengkorak wanita hamil yang sudah meninggal yang di­bungkus plastik, minyak mayat murni, tanah permakaman, bulu harimau, kulit gajah, dan gading ukiran.