Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

Biksu Gajah menceritakan cara memotong gading agar muat dimasukkan ke dalam koper saya. Itulah yang dilakukan para pengikutnya, katanya. Ketika tiba di bandara Bangkok, asisten­nya akan menjemput saya. Dia memiliki pengikut di bagian imigrasi, tetapi jika ada yang tidak beres, saya harus mengatakan bahwa saya membawakan gading ke kuilnya. Rupanya agama dapat melindungi saya. Gading yang diperdagangkan untuk tujuan agama tak mendapatkan pengawasan ketat seperti gading untuk, katakanlah, bidak catur. Gading Tuhan punya celahnya sendiri.!break!

Pabrik gading Cina

Di dalam Pabrik Pengukiran Gading Beijing, bau dan suaranya sesuai dengan fungsi se­sungguhnya tempat itu: tempat praktik dokter gigi yang luas. Deru bor listrik pada gading me­menuhi udara. Debu gading menumpuk tebal di kaca jendela dan kusen saat berjalan di antara pria dan wanita yang membungkuk di atas patung,  seperti Fu, Lu, dan Shou, dewa keberuntungan, uang, dan umur panjang; Buddha Tersenyum; “Orang Cina percaya pada konsep yang diwakili patung ini,” kata kepala Pabrik Pengukiran Gading Daxin di Guangzhou.

Saat pelarangan gading diberlakukan, orang Amerika, Eropa, dan Jepang mengonsumsi 80 persen gading berukir dunia. Sekarang, di pusat kota Beijing, hal yang menarik perhatian saya adalah patung gading Kwan Im di balik kaca etalase dengan banyak angka nol pada label harganya sehingga saya harus meminta bantuan orang lain untuk membacanya­—1360000,00 (sekitar Rp2,11 miliar).

Dari semua laporan, Cina disebut sebagai penjahat ulung dunia terkait penyelundupan gading. Dalam beberapa tahun terakhir, Cina terlibat dalam penyitaan gading berskala lebih besar dibandingkan negara non-Afrika lain.“Kami tidak hanya memikirkan uang,” ujar Xue Ping mengoreksi saya saat kami menyeruput teh di galeri seni Buddha-nya di Grand Hotel Beijing.

Saat ziarah 2007 yang menapaktilasi kehidupan Buddha dari Nepal ke India, direktur periklanan ini mendapat wangsit: Sang Buddha menantangnya untuk berbuat baik. Ia pulang pada 2009 dan mendirikan perusahaan bernama Da Cheng Bai Yi (menyampaikan warisan besar), untuk mendukung maestro Cina dalam lima bentuk karya seni: pernis, ukiran pernis, porselen, gulungan thangka (bordiran kain sutra), dan ukiran gading. Xue melacak Li Chunke, 62 tahun, salah satu dari sekitar 12 ahli pengukir gading nasional di Cina. Xue mem­bangun studio ukir gading untuk Li di distrik seni Beijing, menyewakan apartemen untuknya, dan membuka galeri baru. Satu-satu­nya pelanggan Li adalah Xue.

“Gajah adalah sahabat manusia,” kata Li. “Ketika gajah mati, mereka ingin meninggalkan sesuatu sebagai amal baik agar mendapatkan kehidupan berikutnya yang baik.” Li mengukir gading untuk menghormati hadiah dari gajah itu. Sebagai umat Buddha, Li dan Xue membenci pembunuhan. Gading mereka didapatkan dari pemerintah, sehingga pastilah berasal dari gajah yang mati secara wajar.

“Gading sangat berharga,” kata Xue, “sehingga untuk menghormati Sang Buddha, kami harus menggunakan bahan yang berharga. Jika bukan gading, maka emas. Tetapi, gading lebih berharga.” Ini adalah versi lain dari pesan sama yang saya dengar dari umat Katolik Filipina: Penggunaan gading untuk menghormati Tuhan.

Di setiap toko dan pabrik yang saya kunjungi di Cina, sebagian besar barang dagangannya be­rupa ukiran religius. Di antara pembeli kelas atas adalah para perwira militer yang meng­hadiahkan gading kepada atasan, dan per­usahaan yang menghadiahkan ukiran kepada rekan bisnis dan aparat pemerintah untuk me­mengaruhi mereka.

Di sebuah galeri di Guangzhou, Gary Zeng menunjukkan sebuah foto bola “karya setan” 26 lapis pada iPhone-nya. Zeng yang berusia 42 tahun ini baru saja membeli dua bola gading ini dari Pabrik Pengukiran Gading Daxin. Saya naik ke Mercedes barunya, mengunjungi kediamannya yang dijaga oleh gerbang ganda, dan mengamati saat dia memberikan bola yang lebih murah kepada anaknya yang berusia tiga tahun untuk dipotret oleh Brent Stirton dari National Geographic. Bola itu akan menjadi benda paling penting di rumah baru Zeng yang sedang diba­ngun, untuk “mengusir setan dari rumah,” tetapi untuk saat ini, bola senilai Rp500 juta itu hanya berfungsi sebagai mainan yang sangat mahal. Saya bertanya kepada Zeng mengapa pengusaha muda seperti dirinya senang membeli gading.

“Nilainya,” jawabnya.  “Dan seni.”

“Pernahkah memikirkan gajahnya?” tanyaku.