Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

Tetapi, ETIS dapat dimanipulasi. Organisasi ini menilai negara tak hanya berdasarkan pe­nyitaan gadingnya, tetapi juga penegakan hukum­nya. Sangat mungkin mempermainkan sistem ETIS dengan melaporkan banyak kasus penyitaan dalam skala kecil, seperti ditangkap­nya wisatawan yang mengenakan anting gading. “Tom Milliken mengatakan kepada saya untuk melakukan penggerebekan di Chatuchak [pasar Bangkok] agar apa yang saya lakukan mendapatkan perhatian,” ujar seorang pejabat Thailand yang frustrasi kepada saya.

Pada 1999, tahun terjadinya penjualan ke Jepang, Cina me­la­por­kan tujuh penyitaan gading kepada ETIS. Tidak lama setelah negara itu mengajukan petisi  kepada CITES, Cina melaporkan puluhan kasus penyitaan dalam setahun kepada ETIS, sebagian besar berhubungan dengan barang pribadi wisatawan.

Belakangan ini ratusan kasus dilaporkan Cina setiap tahun. Pada Februari ini, Cina memublikasikan salah satu usaha besar penegakan hukum gading pada 2011, melibatkan 4.497 personel dan 1.094 kendaraan serta menghasilkan 19 kasus. Upaya itu menghasilkan penyitaan 28,8 kilogram gading, setara dengan berat seekor anjing pudel yang terlalu gemuk.

Pada Juli 2008, sekretariat CITES me­nyetujui permintaan Cina untuk membeli gading, didukung oleh Traffic dan WWF. Negara anggota setuju, dan di musim gugur itu, Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe mengadakan lelang, yang secara kolek­tif men­jual lebih dari 104 ton gading kepada pedagang Cina dan Jepang.Sebagai alat yang menguji apakah penjualan gading meningkatkan angka kejahatan, uji coba Jepang punya kelemahan.

Sebagai alat peramal untuk Cina, uji coba itu punya masalah yang jauh lebih dalam. Jepang adalah negara kepulauan dengan pemanfaatan gading yang sangat terbatas: segel tanda tangan yang disebut hanko. Sementara itu, Cina berbatasan dengan 14 nega­ra, memiliki garis pantai yang panjang, ekonomi yang berkembang pesat, populasi sepuluh kali lipat Jepang, serta investasi besar di Afrika.

Pemanfaatannya juga sangat luas, mulai dari patung hingga sarung ponsel. Setelah Jepang membeli gading, Cina menga­takan penyelundup­an meningkat. Kini, Cina sendiri yang memasuki bisnis gading. CITES berusaha meyakinkan seluruh dunia untuk tak khawatir.

Iblis mengintai di setiap penjuru

Meng Xianlin adalah direktur jenderal eksekutif manajemen CITES di Cina, sehingga dialah pejabat tertinggi perdagangan kehidupan liar di Cina. Dia menghadiri lelang gading 2008 di Afrika Selatan. Dia menceritakan rahasia yang  mengejutkan: Lelang Afrika tak kompetitif. Jepang mengusulkan agar setiap negara mengajukan tawaran untuk jenis gading yang berbeda dan menjaga agar harga tetap rendah.

Harga yang mereka bayar sedemikian rendah, kata Meng, sehingga pejabat Namibia yang me­ngadakan lelang pertama mengikuti delegasi Asia dari satu negara ke negara lain, mencari bukti bahwa negaranya telah dicurangi.!break!

Tetapi, bagi sekretariat CITES, lelang ber­langsung sukses. Panitia lelang mendapatkan Rp155 miliar yang sebagian besar seharusnya membiayai proyek pelestarian alam di Afrika. Walaupun harga rata-rata hanya sekitar Rp1,5 juta per kilogram gading, itu berarti Afrika akan mengeluarkan dana lebih sedikit untuk membiayai pelestarian alamnya.

Menurut CITES, itu pun berarti bahwa Cina sekarang bisa melakukan perannya untuk menegakkan hukum dengan membanjiri pasar domestik dengan gading sah yang murah. Hal ini dapat menyingkirkan pedagang ilegal, yang didengar CITES mengeluarkan uang hingga Rp8,5 juta per kilogram gading. Harga yang lebih rendah, ujar Willem Wijnstekers dari CITES kepada Reuters, dapat meredam perburuan liar.

Tetapi, pemerintah Cina melakukan hal yang tak terduga. Mereka meningkatkan harga gading. Melalui afiliasi asosiasi kerajinannya, CACA, pemerintah membebani pengusaha seperti Xue Ping harga sebesar Rp11 juta per kilogram, melipatgandakannya sampai 650 persen, dan tarif yang dikenakan pada Pabrik Pengukiran Gading Beijing menyebabkan biaya perusahaan gading mencapai Rp12 juta per kilogram untuk sebuah gading Kelas A.

Cina merancang rencana sepuluh tahun untuk membatasi pasokan dan melepaskan hanya sekitar lima ton gading ke pasar setiap tahun. Pemerintah Cina, yang mengendalikan siapa saja yang boleh menjual gading di Cina, tidak memerangi pasar gelap dengan harga rendah.

Menerapkan logika sekretariat bahwa harga rendah dan volume tinggi mampu meredam penyelundup, maka harga tinggi dan volume terbatas yang diberlakukan Cina justru me­nyubur­kan penyelundupan. Keputusan yang mem­perboleh­kan Cina membeli gading memang semakin memicu perdagangan ilegal gading, menurut kelompok pengawas inter­nasional dan pedagang yang saya temui di Cina dan Hong Kong.

Harga pun terus naik. Menurut Feng You Min, direktur penjualan di Pabrik Pengukiran Gading Daxin, harga gading mentah meningkat menjadi 20 kali harga yang dibayar di Afrika.

Tidak lama sebelum masalah gajah dibahas pada pertemuan CITES pada Agustus 2011, Cina mendalangi pengusiran semua LSM yang menghadiri pertemuan itu. Ini adalah tin­dak­an tak lazim. Di antara mereka yang di­usir adalah perwakilan dari Yayasan Born Free, Humane Society International, Japan Federation of Ivory Arts and Crafts Association, Pew Charitable Trust, Safari Club International, dan saya (untuk National Geographic Society). Tom Milliken dari Traffic diizinkan hadir agar bisa memaparkan hasil ETIS terbaru.

Alasan pengusiran, kata Meng, adalah laporan LSM kecil berpengaruh berbasis di London, Environmental Investigation Agency (EIA), yang mengirim penyelidik rahasia keturunan Cina ke Cina. EIA menuduh sistem pengendalian gading Cina sebagai sebuah kegagalan, bahwa hingga 90 persen gading di pasar Cina adalah ilegal, dan lelang 2008 membangkitkan perdagangan gading ilegal. Meng marah besar. Ya, katanya, 80 persen laporan EIA memang benar, “tetapi mereka seharusnya mela­porkannya kepada kami terlebih dahulu.”

Tahun lalu, CITES membuat pengakuan mengejutkan: “Sekretariat mengalami kesulitan memahami sekian banyak aspek perdagangan ilegal gading.” Pada April lalu, Tom Milliken mengakui sesuatu kepada BBC yang cukup me­nakutkan dan mirip dengan peringatan Cina setelah uji coba Jepang: “Apakah pemberian izin masuknya gading sah ke Cina memperburuk situasi? Kini kita mungkin bisa berdebat dengan menoleh ke belakang, bahwa memang seperti itulah keadaannya. Izin itu mungkin menciptakan gambaran pada banyak calon konsumen bahwa pembelian gading  diizinkan.”

Meng terkekeh saat saya menuangkan sebotol bir. Dia mengatakan bahwa setelah gading Afrika tiba di Cina, suara aneh terdengar dari kontainer pengiriman. Selama penawaran, gading Afrika Selatan tampak seperti gading terbaik dan terputih. Kini beberapa gading mulai retak. “Kita bisa mendengarnya retak,” kata Meng.

Untuk mendapatkan harga yang baik, duganya, pemerintah Afrika Selatan me­mutihkan gadingnya dan dehidrasi menyebab­kannya retak.

Bahkan gading kuning dari gajah hutan yang berukuran kecil jauh lebih berharga daripada gading putih gajah padang rumput. Ukiran gading gajah hutan terjual sangat cepat sehingga pelanggan harus memesannya jauh hari sebelumnya. Tetapi, gajah hutan bukanlah tempat Cina membeli gading secara sah. Satwa itu hidup di Afrika tengah dan barat. Pada bulan Maret, CITES akan me­ng­ada­kan pertemuan lagi untuk mem­bahas masa depan gajah Afrika.