Ikram Gading

By , Rabu, 26 September 2012 | 16:51 WIB

PADA JANUARI 2012, SERATUS PEMBURU BERKUDA BERDERAP KELUAR DARI CAD DAN MASUK KE DALAM TAMAN NASIONAL BOUBA NDJIDAH DI KAMERUN. Mereka membantai ratusan ekor gajah, dalam salah satu pembantaian terpusat yang terburuk sejak larangan perdagangan gading dunia diterapkan pada 1989. Dengan senapan AK-47 dan granat yang diluncurkan roket, mereka membantai kawanan gajah dengan presisi militer. Setiap bangkai yang membengkak ibarat lambang keserakahan manusia. Kini, tingkat perburuan liar gajah adalah yang terburuk dalam satu dasawarsa terakhir. Penyitaan gading ilegal pun mencapai angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dari udara, hamparan bangkai menampilkan kebengisan yang tak masuk akal. Kita bisa melihat hewan yang melarikan diri, induk yang berusaha melindungi anaknya, dan bagaimana 50 satwa yang ketakutan tumbang bersama. Inilah gajah yang tersisa setelah pembantaian puluhan ribu ekor yang terjadi di Afrika setiap tahun.keterkaitan Filipina.

Dalam gereja yang penuh sesak, Monsignor Cristobal Garcia, salah seorang kolektor gading paling terkenal di Filipina, memimpin ritual yang tidak lazim untuk menghormati ikon agama terpenting bangsa tersebut, Santo Niño de Cebu (Anak Suci dari Cebu). Upacara ini, yang dilakukannya setiap tahun di Cebu, disebut Hubo, berasal dari kata Cebuano yang berarti “melepaskan pakaian.”

Misdinar (putra altar) bekerja melepaskan jubah patung kayu kecil Kristus yang ber­pakaian sebagai raja, replika yang oleh para peng­­gemar ikon diyakini dibawa ke pulau ini oleh Ferdinand Magellan pada 1521. Mereka me­­lepaskan mahkota, jubah merah, sepatu bot kecil, serta pakaian-dalam patung. Kemudian, sang monsignor mencelupkannya ke dalam be­berapa gentong air, membuat air suci gereja untuk tahun itu, lalu dijual di luar gereja.Garcia adalah seorang pria tambun dengan kelopak mata kiri setengah tertutup dan lutut yang sakit.

Menurut sebuah laporan Dallas Morning News pada 2005 dan gugatan terkait, Garcia melakukan pe­lecehan seksual ter­hadap misdinar remaja, saat bertugas sebagai imam di St. Dominic di Los Angeles, California, pada pertengahan 1980-an. Di Filipina, dia di­promo­sikan menjadi monsignor dan ketua Komisi Ibadat di Keuskupan Agung Cebu. Jabatan itu menjadikannya kepala protokol untuk keuskupan agung Katolik Roma terbesar di negara itu, dengan umat hampir mencapai empat juta orang di negara yang dihuni 75 juta umat Katolik Roma, populasi Katolik ketiga terbesar di dunia.

Paus Yohanes Paulus II memberkati Santo Niño selama kunjungan Garcia ke kediaman musim panas Paus, Castel Gandolfo, pada 1990. Garcia begitu terkenal, sehingga untuk menemukan gerejanya saya hanya perlu membuka jendela mobil dan bertanya, “Monsignor Cris?”!break!

Orang Filipina percaya bahwa Santo Niño de Cebu adalah penjelmaan Kristus. Pen­datang Spanyol pada abad keenam belas me­nyatakan ikon itu punya keajaiban. Mereka juga menggunakannya untuk melakukan Kris­tenisasi, membuat patung kayu yang sekarang diletakkan dalam etalase kaca anti­peluru di Basilica Minore del Santo Niño di Cebu, dan dianggap sebagai sumber aliran Katolik Filipina.

“Jika kamu tidak memuja Santo Niño, kamu bukanlah warga Filipina sejati,” kata Pastor Vicente Lina, Jr. (Pastor Jay), direktur Museum Keuskupan di Malolos. “Setiap warga Filipina memiliki seorang Santo Niño, bahkan mereka yang hidup di kolong jembatan sekalipun.”

Setiap bulan Januari, sekitar dua juta jemaat berkumpul di Cebu untuk berjalan selama berjam-jam dalam sebuah prosesi bersama Santo Niño de Cebu. Sebagian besar membawa miniatur ikon Santo Niño dari kacaserat atau kayu. Banyak yang meyakini apa yang di­investasi­kan dalam devosi terhadap ikon me­nentukan berkat yang akan diterima sebagai imbalannya. Karena itu, bagi sejumlah orang, bahan terbaik adalah gading gajah.

Setelah misa, saya berkata kepada Garcia bahwa saya dari National Geographic, kemudian kami menetapkan tanggal untuk berbicara tentang Santo Niño. Garcia adalah pemimpin sekelompok kolektor Santo Niño terkemuka yang memamerkan ikon mereka pada Pesta Santo Niño di beberapa mal dan hotel terbaik di Cebu. Saya berkata kepada Garcia bahwa saya menginginkan gading Santo Niño dalam posisi tidur. “Seperti ini,” kataku, menyentuh jari ke bibir bawahku. “Gaya Dormido,” ujarnya setuju.

Tujuan saya bertemu dengan Garcia adalah untuk memahami perdagangan gading di negara­nya dan mungkin mendapatkan petunjuk tentang siapa dalang penyelundupan 4,9 ton gading ilegal yang disita oleh petugas pabean di Manila pada 2009, 7 ton disita pada 2005, dan 5,5 ton dengan tujuan Filipina disita oleh Taiwan pada 2006. Dengan asumsi rata-rata 10 kilogram gading berasal dari seekor gajah, artinya pe­ngiriman itu berasal dari sekitar 1.745 ekor gajah.

Menurut CITES, organisasi internasional yang menetapkan kebijakan perdagangan ke­hidupan liar internasional, Filipina hanyalah negara transit untuk gading yang dikirim ke Cina. Namun, CITES memiliki sumber daya yang terbatas. Kata Jose Yuchongco, kepala polisi pabean Filipina, kepada surat kabar Manila tidak lama setelah penyitaan besar pada 2009: “Filipina adalah tujuan favorit untuk gading gajah selundupan ini, mungkin karena jemaat Katolik Filipina menyukai patung orang kudus yang terbuat dari gading.” Di Cebu, hubungan antara gading dan gereja sedemikian kuat sehingga kata setempat untuk gading, garing, memiliki arti kedua: “patung religius.”!break!

Hubungan Katolik-Muslim

“Gading, gading, gading,” seru pramuniaga Galeri Savelli di Lapangan Santo Petrus di Vatican City. Vatikan baru-baru ini menunjuk­kan komitmen untuk menghadapi masalah ke­jahatan transnasional, menandatangani ke­sepakatan tentang perdagangan narkoba, teroris­me, dan kejahatan terorganisasi. Namun, belum menandatangani perjanjian CITES sehingga tak tunduk pada larangan perdagangan gading. Jika saya membeli salib gading, ujar pramuniaga itu, toko akan mengupayakan agar salib itu diberkati pendeta Vatikan dulu, lalu mengirimkannya kepada saya.

Meskipun dunia telah menemukan pengganti untuk setiap kegunaan praktis gading—bola biliar, tuts piano—kegunaan religius tak lekang oleh waktu. Tahun lalu, Presiden Libanon, Michel Sleiman, memberi Paus Benediktus XVI sebuah wiruk (pedupaan dengan rantai di bagian atas) gading dan emas. Pada 2007, Presiden Filipina, Gloria Macapagal-Arroyo, memberikan patung gading Santo Niño kepada Paus Benediktus XVI. Semua hadiah ini menjadi berita utama internasional. Bahkan Presiden Kenya, Daniel arap Moi, tokoh pelarangan gading global, memberikan gading gajah kepada Paus Yohanes Paulus II. Setelah itu, Moi membuat isyarat simbolis yang lebih dramatis, membakar 12 ton gading Kenya.

Pastor Jay adalah kurator pameran Santo Niño tahunan yang diselenggarakan keuskupan­nya, yang memamerkan koleksi terbaik jemaat parokinya dan memenuhi bangunan berlantai dua di luar Manila. Lebih dari 200 pajangan dikelilingi sedemikian banyak bunga segar. Patung gading Santo Niño mengenakan mah­kota berlapis emas, perhiasan, dan kalung kristal Swarovski. Matanya dilukis dengan tangan pada kaca impor dari Jerman. Bulu matanya terbuat dari bulu kambing. Emas yang disulam di jubah­nya diimpor dari India.

“Menurut saya, hal itu tidak berlebihan,” kata Pastor Jay. “Saya menyebutnya sebagai per­sembahan kepada Tuhan.”Pastor Jay menunjuk patung Santo Niño yang memegang burung merpati. “Sebagian besar gading tua merupakan pusaka,” katanya. “Gading baru berasal dari Afrika. Masuknya me­lalui pintu belakang.” Dengan kata lain, gading itu diselundupkan. “Ini seperti melurus­kan garis bengkok: kita membeli gading dari asal-usul yang tidak jelas, lalu mengubahnya menjadi barang spiritual. Begitu, bukan?” kata­nya terkekeh. Suaranya direndahkan menjadi bisikan. “Karena mirip membeli barang curian.”

“Saya hanya memberi tahu mereka untuk membeli gading baru sehingga sejarah patung akan dimulai olehmu,” katanya.

Ketika saya bertanya bagaimana gading baru tiba di Filipina, dia mengatakan bahwa umat Islam dari Pulau Mindanao di selatan yang menyelundupkannya. Kemudian, untuk me­nunjuk­kan adanya suap, dia memasukkan dua jarinya ke dalam saku bajuku. “Untuk penjaga pantai, misalnya,” katanya. “Kamu harus terus membayar sedemikian banyak orang agar gading itu akhirnya masuk ke negaramu.” Ini adalah bagian dari pengorbanan seseorang bagi Santo Niño—menyelundupkan gading gajah sebagai tindakan devosi.!break!

Cara menyelundupkan gading

Saya sama sekali tidak pernah bermimpi meng­hubungkan Monsignor Garcia dengan kegiatan ilegal. Tetapi, ketika mengatakan kepadanya bahwa saya ingin membeli gading Santo Niño, pria itu mengejutkan saya. “Kamu harus menyelundupkannya untuk masuk ke AS.”

“Bagaimana caranya?”

“Bungkus dengan pakaian dalam tua yang bau dan tuangkan saus tomat ke atasnya,” katanya. “Jadi, gading itu akan terlihat kotor oleh darah.”

Garcia memberi saya nama pemahat gading favoritnya, semuanya di Manila. Jika ingin me­nyelundupkan ikon yang terlalu besar untuk disembunyikan di dalam koper, saya dapat meminta sertifikat dari Museum Nasional Filipina yang menyatakan patung saya adalah patung antik, atau saya dapat meminta seorang pemahat untuk menyertakan dokumen yang me­nyatakan patung ini adalah imitasi atau me­ngubah tanggal ukiran menjadi tanggal se­belum ditetapkannya pelarangan gading.

Apa pun keputusan yang saya ambil, Garcia berjanji untuk memberkati gading itu untuk saya. “Tidak seperti pendeta gila satwa yang tidak mau mem­berkati gading,” katanya.

Beberapa keluarga menguasai sebagian besar industri ukiran gading di Manila. Dalam lima kunjungan ke Filipina, saya mengunjungi setiap toko gading yang direkomendasikan Garcia dan bertanya lebih lanjut tentang cara membeli gading. Lebih dari sekali, mereka bertanya apa­kah saya pastor. Di hampir setiap toko, ada saja yang mengusulkan cara menyelundupkan gading ke AS. Ada yang menawarkan mencat gading saya dengan cat air cokelat agar me­nyerupai kayu; lainnya menawarkan membuat patung identik dicat tangan dari resin untuk menyamarkan patung gading bayi Yesus saya.

Para pastor, balikbayan (warga Filipina yang tinggal di luar negeri), dan lelaki homoseksual Filipina adalah pelanggan utama, menurut pe­dagang gading paling terkemuka di Manila. Tampaknya Pastor Jay memang benar soal rute pasokan Muslim. Beberapa pedagang Manila mengatakan bahwa pemasok utama adalah Muslim Filipina yang memiliki koneksi ke Afrika. Muslim Malaysia pun terlibat dalam jaringan mereka. “Kadang mereka mem­bawanya masih dalam keadaan berdarah dan memancarkan bau busuk,” kata salah seorang pedagang sambil menjepit hidungnya.

Perdagangan gading zaman sekarang mengikuti rute perdagangan kuno—dipercepat dengan adanya pesawat terbang, ponsel, dan internet. Sekarang, beberapa foto terbaru yang pernah saya lihat menampilkan salib gading Koptik yang dijual berdampingan dengan tasbih gading di pasar Kairo menjadi lebih masuk akal. Tiba-tiba saja, penangkapan gading baru-baru ini di Zanzibar, sebuah pulau pemerintahan Islam di lepas pantai Tanzania—yang selama berabad-abad menjadi pusat perlintasan global untuk perdagangan budak dan gading—tampak­­nya dapat dipahami, tanda bahwa ke­jahatan gading skala besar mungkin tidak akan pernah menghilang. Setidaknya saat ini sebuah pengiriman sudah berangkat menuju Malaysia, tempat terjadinya beberapa kali penangkapan bervolume multiton tahun lalu.

Pasar gading Filipina masih kecil di­banding­kan dengan, katakanlah, Cina, tetapi usianya telah berabad-abad dan terlihat sangat jelas. Para kolektor dan pedagang berfoto dengan ga­ding mereka, dipajang di Flickr dan Facebook. CITES, sebagai administrator pelarangan ga­ding global 1989, adalah organisasi resmi dunia yang merintangi pembantaian 1980-an—konon Afri­ka telah kehilangan setengah populasi gajahnya, lebih dari 600.000 ekor, hanya dalam waktu sepuluh tahun—dan pemusnahan gajah. Jika CITES kecolongan soal perdagangan ga­ding Filipina, apa lagi yang sudah luput dari perhatian organisasi itu?!break!

Biksu gajah

Pemahat gading di Phayuha Khiri dan Surin adalah yang paling terkenal di Thailand, dan men­jadi target sebagian besar penyelidikan perdagangan gading ilegal. Phayuha Khiri begitu besar dedikasinya untuk gading sehingga di pusat kota tampak lingkaran yang dibentuk dengan empat gading besar berwarna putih. Di jalan utama tampak sejumlah patung biksu terkenal berukuran besar, patung kecil Buddha terbungkus plastik, dan gelang serta barang religius lain yang dijual lusinan sekantong di pinggir jalan. Sekian banyak penjual di kedua sisi jalan yang panjang ini adalah gerai grosir penganut Buddha. Orang yang saya lihat ber­belanja selama berkunjung ke Phayuha Khiri adalah sekelompok biksu berjubah jingga.

Saya melacak kepala pedagang gading di desa itu—Mr. Thi, yang mengenakan jimat kalung gading dan sabuk gesper gading—melihat-lihat tokonya dan bisnis ukirannya, lalu mengunjungi rumahnya yang besar dan mewah. Mr. Thi ber­cerita bahwa industri ukiran Phayuha Khiri di­dirikan oleh seorang biksu yang senang me­ngukir jimat gading. Saya dapati bahwa para biksu memberikan jimat sebagai imbalan untuk sumbangan. Semakin besar sumbangan, semakin indah jimat yang diberikan.

Sang Biksu Gajah, Kruba Dharmamuni, ingin mengajak saya berbelanja gading di Surin. Dahulu kala, Surin adalah tempat tinggal penangkap gading bangsawan Siam. Pedagang yang menjual cincin, gelang, dan jimat gading berbaris di pintu masuk taman wisata Surin.

“Gading dapat mengusir roh jahat,” kata Biksu Gajah. Di lehernya tampak liontin kepala gajah dari gading yang menggantung di tasbih gading yang melambangkan 108 hasrat manusia.

Gajah adalah lambang Thailand dan di­hormati dalam agama Buddha. Menurut legen­da, seekor gajah putih bergading enam me­langkah ke sisi kanan Ratu Maya pada malam saat sang ratu mulai mengandung Siddhartha Gautama. Katanya, dia memiliki 100.000 pe­ngikut di seluruh dunia, meskipun selama kunjung­an saya ke kuilnya hanya beberapa orang yang muncul.

Banyak warga Thailand mengenakan jimat, kadang-kadang puluhan, untuk mendatangkan keberuntungan dan melindungi mereka dari marabahaya dan ilmu hitam. Pasar jimat Bangkok sangat besar, dengan pedagang yang tak terhitung banyaknya menjual puluhan ribu jimat kecil yang terbuat dari bahan seperti logam, debu padat, tulang—dan gading. Jimat berkualitas tinggi dapat bernilai Rp1 miliar atau lebih. Tentara Thailand membagi-bagikan jimat kepada tentara di perbatasan untuk menangkal ilmu hitam pasukan Kamboja.

Pendapatan utama Biksu Gajah berasal dari jimat dan dia menawarkan berbagai jimat aneh, termasuk patung dirinya dan Buddha serta jimat yang terbuat dari potongan tulang tengkorak wanita hamil yang sudah meninggal yang di­bungkus plastik, minyak mayat murni, tanah permakaman, bulu harimau, kulit gajah, dan gading ukiran.

Bisnis ini cukup bagus sehingga dia mampu membangun kuil baru, yang se­bagian meniru taman harimau Thailand yang populer—sering menjadi tempat penyamaran, ujar para kritikus, untuk kegiatan perdagangan harimau ilegal. Sebuah laporan televisi baru-baru ini memberitakan bahwa dia membiarkan seekor gajah mati kelaparan demi mendapatkan kulit dan gadingnya.!break!

Tetapi dia mengatakan satwa itu mati secara wajar. Lagi pula, dengan belanja di Surin, ujarnya kepada saya, dia bisa mendapatkan gading dan kulit gajah sebanyak yang dibutuhkannya. Sebelum tayangan ter­sebut, dia menerima pendapatan sekitar satu juta baht (sekitar Rp307 juta) per bulan dari toko cendera mata, internet, dan perjalanan luar negeri.

Sekarang pendapatannya turun hanya menjadi sekitar 300.000 baht per bulan. Tetapi, katanya, hanya dengan menghabiskan waktu tiga hari di Malaysia atau Singapura, dia bisa menjual barang kepada para pengikutnya senilai satu juta baht atau lebih.

Thailand memiliki populasi alami gajah Asia dalam jumlah kecil, spesies terancam punah yang sudah lama tidak boleh disentuh perdagangan internasional. Tetapi di Thailand, aturannya tidak begitu kaku. Pawang dan pihak lain boleh menjual gading gajah pelihara­an dan gading gajah yang mati secara wajar. Selama bertahun-tahun, pedagang gelap gading internasional memanfaatkan hal ini, menyelundupkan gading Afrika untuk dicampurkan dengan gading Asia.

Para pakar pelestarian menyebutnya “celah Thailand.” Tetapi, ada celah lain yang jauh lebih besar yang dinikmati oleh setiap negara di dunia. Gading Afrika yang dibawa ke sebuah negara sebelum 1989 boleh diperdagangkan di dalam negeri. Jadi, siapa pun yang tertangkap memiliki gading, sudah biasa mengucapkan mantera yang sama: “Gading saya didapatkan sebelum masa pelarangan.”

Pasar gading Thailand telah berkembang. “Pedagang gading semakin banyak, “ kata Steve Galster, direktur Yayasan Freeland, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di Bangkok.” Karena CITES sering bersikap lunak terhadap pelarangan perdagangan, mereka merasa risikonya tidak terlalu besar.”

Thailand, seperti Filipina, memiliki sesuatu yang diandalkan oleh pedagang komoditas: korupsi. Satu ton gading Afrika yang disita baru-baru ini lenyap dari gudang pabean Thailand. Ketika saya meminta untuk melihat sisanya, pe­tugas pabean menolak dan mengatakan bahwa wartawan yang mencurinya. Barulah setelah mengatakan bahwa saya mendengar hal yang sebaliknya, saya mendapatkan informasi yang benar: petugas pabean-lah yang diyakini sebagai pelakunya. Korupsi begitu buruk di Filipina se­hingga pada 2006 departemen kehidupan liar menggugat petugas pabean senior atas “hilang­nya” beberapa ton gading sitaan.

Karena terpojok, kantor pabean menyerahkan hasil penyitaan gading besar berikutnya ke departemen, yang segera mendapati bahwa gudangnya sendiri telah dibobol. Tumpukan gading telah diganti dengan tiruan yang terbuat dari plastik.

Pengukir favorit Biksu Gajah, Jom, tinggal di jalan tanah di tempat yang sedemikian jauhnya. Gerai sayuran di depan rumah Jom itu sesungguhnya kotak kaca perhiasan berisi patung gading Buddha. Sebagian besar gading berasal dari Thailand.

“Jika saya mampu mendapatkan gading Afrika untukmu,” tanya saya kepada Jom, “apakah kamu mampu mengukirnya?”

“Dai,” jawabnya.

“Tidak ada masalah,” sahut istrinya sepakat.

Biksu Gajah menceritakan cara memotong gading agar muat dimasukkan ke dalam koper saya. Itulah yang dilakukan para pengikutnya, katanya. Ketika tiba di bandara Bangkok, asisten­nya akan menjemput saya. Dia memiliki pengikut di bagian imigrasi, tetapi jika ada yang tidak beres, saya harus mengatakan bahwa saya membawakan gading ke kuilnya. Rupanya agama dapat melindungi saya. Gading yang diperdagangkan untuk tujuan agama tak mendapatkan pengawasan ketat seperti gading untuk, katakanlah, bidak catur. Gading Tuhan punya celahnya sendiri.!break!

Pabrik gading Cina

Di dalam Pabrik Pengukiran Gading Beijing, bau dan suaranya sesuai dengan fungsi se­sungguhnya tempat itu: tempat praktik dokter gigi yang luas. Deru bor listrik pada gading me­menuhi udara. Debu gading menumpuk tebal di kaca jendela dan kusen saat berjalan di antara pria dan wanita yang membungkuk di atas patung,  seperti Fu, Lu, dan Shou, dewa keberuntungan, uang, dan umur panjang; Buddha Tersenyum; “Orang Cina percaya pada konsep yang diwakili patung ini,” kata kepala Pabrik Pengukiran Gading Daxin di Guangzhou.

Saat pelarangan gading diberlakukan, orang Amerika, Eropa, dan Jepang mengonsumsi 80 persen gading berukir dunia. Sekarang, di pusat kota Beijing, hal yang menarik perhatian saya adalah patung gading Kwan Im di balik kaca etalase dengan banyak angka nol pada label harganya sehingga saya harus meminta bantuan orang lain untuk membacanya­—1360000,00 (sekitar Rp2,11 miliar).

Dari semua laporan, Cina disebut sebagai penjahat ulung dunia terkait penyelundupan gading. Dalam beberapa tahun terakhir, Cina terlibat dalam penyitaan gading berskala lebih besar dibandingkan negara non-Afrika lain.“Kami tidak hanya memikirkan uang,” ujar Xue Ping mengoreksi saya saat kami menyeruput teh di galeri seni Buddha-nya di Grand Hotel Beijing.

Saat ziarah 2007 yang menapaktilasi kehidupan Buddha dari Nepal ke India, direktur periklanan ini mendapat wangsit: Sang Buddha menantangnya untuk berbuat baik. Ia pulang pada 2009 dan mendirikan perusahaan bernama Da Cheng Bai Yi (menyampaikan warisan besar), untuk mendukung maestro Cina dalam lima bentuk karya seni: pernis, ukiran pernis, porselen, gulungan thangka (bordiran kain sutra), dan ukiran gading. Xue melacak Li Chunke, 62 tahun, salah satu dari sekitar 12 ahli pengukir gading nasional di Cina. Xue mem­bangun studio ukir gading untuk Li di distrik seni Beijing, menyewakan apartemen untuknya, dan membuka galeri baru. Satu-satu­nya pelanggan Li adalah Xue.

“Gajah adalah sahabat manusia,” kata Li. “Ketika gajah mati, mereka ingin meninggalkan sesuatu sebagai amal baik agar mendapatkan kehidupan berikutnya yang baik.” Li mengukir gading untuk menghormati hadiah dari gajah itu. Sebagai umat Buddha, Li dan Xue membenci pembunuhan. Gading mereka didapatkan dari pemerintah, sehingga pastilah berasal dari gajah yang mati secara wajar.

“Gading sangat berharga,” kata Xue, “sehingga untuk menghormati Sang Buddha, kami harus menggunakan bahan yang berharga. Jika bukan gading, maka emas. Tetapi, gading lebih berharga.” Ini adalah versi lain dari pesan sama yang saya dengar dari umat Katolik Filipina: Penggunaan gading untuk menghormati Tuhan.

Di setiap toko dan pabrik yang saya kunjungi di Cina, sebagian besar barang dagangannya be­rupa ukiran religius. Di antara pembeli kelas atas adalah para perwira militer yang meng­hadiahkan gading kepada atasan, dan per­usahaan yang menghadiahkan ukiran kepada rekan bisnis dan aparat pemerintah untuk me­mengaruhi mereka.

Di sebuah galeri di Guangzhou, Gary Zeng menunjukkan sebuah foto bola “karya setan” 26 lapis pada iPhone-nya. Zeng yang berusia 42 tahun ini baru saja membeli dua bola gading ini dari Pabrik Pengukiran Gading Daxin. Saya naik ke Mercedes barunya, mengunjungi kediamannya yang dijaga oleh gerbang ganda, dan mengamati saat dia memberikan bola yang lebih murah kepada anaknya yang berusia tiga tahun untuk dipotret oleh Brent Stirton dari National Geographic. Bola itu akan menjadi benda paling penting di rumah baru Zeng yang sedang diba­ngun, untuk “mengusir setan dari rumah,” tetapi untuk saat ini, bola senilai Rp500 juta itu hanya berfungsi sebagai mainan yang sangat mahal. Saya bertanya kepada Zeng mengapa pengusaha muda seperti dirinya senang membeli gading.

“Nilainya,” jawabnya.  “Dan seni.”

“Pernahkah memikirkan gajahnya?” tanyaku.

“Tidak pernah,” sahutnya.!break!

Pada sudut salah satu jalan penjualan gading paling populer di Cina, papan iklan elektronik empat lantai menayangkan video mengenai pe­luang investasi baru paling menggiurkan: Pen­­jualan perhiasan Buddha dan sejumlah pro­duk terkait agama yang mencapai Rp158 triliun per tahun dan tumbuh 50 persen setiap tahun.” Ada hampir 200 juta umat Buddha di Cina,” kata iklan itu. Tak jauh dari situ, galeri lain menawarkan pengukiran gading Buddha—beberapa memiliki izin, yang lain ilegal.

Pemerintah Cina mengeluarkan lisensi se­tidaknya kepada 35 pabrik pengukiran gading dan 130 gerai eceran serta mensponsori pelajaran mengukir gading di sekolah seperti University of Technology, Beijing. Seperti di Filipina, pengukir Cina seperti Guru Li melatih kerabat mereka—berinvestasi pada keluarga.

Uji coba Jepang

Pada 1989, sepuluh tahun setelah sedikitnya satu ekor gajah mati setiap sepuluh menit, Presiden George H.W. Bush secara sepihak me­larang impor gading, Kenya membakar 12 ton persediaan gadingnya, dan CITES meng­umumkan pelarangan perdagangan gading global, yang dimulai pada 1990. Tidak semua negara menyetujui larangan tersebut. Zimbabwe, Botswana, Namibia, Zambia, dan Malawi memilih status “reservasi,” yang mem­bebaskan mereka dari pelarangan itu dengan alasan populasi gajah mereka cukup banyak untuk mendukung perdagangan.

Pada 1997, CITES mengadakan pertemuan besar di Harare, Zimbabwe. Presiden Robert Mugabe pun menyatakan bahwa gajah menyita banyak tempat dan minum banyak air. Satwa ini harus membayar untuk tempat yang mereka guna­kan itu dengan gading mereka. Zimbabwe, Botswana, dan Namibia memberikan penawaran kepada CITES: Mereka akan menghormati pe­larangan gading jika diizinkan menjual gading gajah dari yang dipilih dengan cermat atau yang tewas secara wajar.

CITES setuju untuk berkompromi, meng­izin­kan hanya satu kali “penjualan uji coba” oleh ketiga negara itu kepada pembeli tunggal, Jepang. Pada 1999, Jepang membeli 50 ton gading senilai sekitar 50 miliar rupiah. Hampir seketika itu juga Jepang mengatakan ingin mem­beli lebih banyak lagi dan, tak lama kemudian, Cina juga mengajukan tawaran untuk membeli gading sah tersebut.

Sebelum mengizinkan penjualan gading lainnya, CITES ingin melihat hasil uji coba Jepang itu: Apakah penjualan itu meningkatkan angka kejahatan? Khususnya, apakah perburuan liar gajah atau penyelundupan gading me­ningkat? Untuk menemukan jawabannya, orga­nisasi itu meluncurkan program untuk meng­hitung gajah yang dibunuh secara ilegal dan program lain untuk mengetahui jumlah penyelundupan gading.

Cukup mudah membunuh gajah (akhir-akhir ini, para pemburu di Kenya dan Tanzania menggunakan semangka beracun), tetapi cukup sulit menemukan bangkai satwa itu. CITES juga membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk men­jalankan program perhitungannya. Para pejabat CITES menolak untuk mengeluarkan perkiraan resmi mengenai berapa banyak gajah yang dibunuh setiap tahun karena khawatir bahwa setiap angka, yang berasal dari perkiraan populasi pada 2007 dan data perburuan 2012 yang terbatas, akan “tertanam sebagai kenyataan yang dipercayai dalam masyarakat.”

Tetapi, menurut Kenneth Burnham, ahli statistik resmi untuk program CITES yang me­mantau pembunuhan gajah ilegal, “sangat besar kemungkinannya” para pemburu liar itu menewaskan sedikitnya 25.000 ekor gajah Afrika pada 2011.!break!

Sementara itu, tahun lalu diperkirakan 31,5 ton gading ilegal disita secara global. Dengan menggunakan aturan umum Interpol yang me­ngatakan bahwa selundupan yang disita setara dengan 10 persen jumlah penyelundupan yang sebenarnya dan dengan asumsi bahwa seekor gajah memiliki gading seberat 10 kilogram, berat 31,5 ton gading itu setara dengan 31.500 ekor gajah yang mati. “Intinya adalah,” kata Iain Douglas-Hamilton dari organisasi Save the Elephants, “puluhan ribu ekor gajah dibunuh tahun lalu. Dan angka itu terus meningkat secara drastis.”

Mengukur perdagangan gading ilegal ternyata cukup sulit. Penyelundup tidak membuat lapor­an penjualan. Penyitaan gading yang lebih besar dalam satu tahun mungkin berarti bahwa pe­nyelundupan meningkat atau penegak hukum bekerja lebih keras, atau keduanya.

Penyitaan yang lebih sedikit mungkin menyiratkan apa yang kita harapkan, tetapi hal itu pun dapat ber­arti bahwa penegak hukum menerima suap. Para penyelundup besar memiliki konek­si di departemen kehidupan liar setempat, kantor pabean, dan perusahaan ekspedisi yang memungkinkan mereka memindahkan pe­ngiriman multiton dari satu negara ke negara lain.

Yang paling parah, sistem berbasis penyitaan menghargai negara atas prestasinya menyita gading, padahal sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah menindaklanjuti rantai permintaan gading selundupan hingga ke puncaknya, dan inilah sebabnya mengapa penyelidik yang cakap memandang penyitaan sebagai cara penegakan hukum yang buruk.

Untuk mengaudit penyitaan gading, CITES menghubungi Traffic, sebuah LSM yang me­mantau perdagangan satwa global. Tetapi, Traffic bukan auditor independen. LSM ini adalah anak perusahaan World  Wildlife Fund (WWF) dan International Union for Conservatorium of Nature (IUCN) yang, seperti banyak LSM, memiliki proyek penelitian dan kantor di negara perdagangan gading sehingga memperumit kemampuan Traffic untuk mem­­berikan penilaian yang independen.

Traffic menerapkan program pemantauan pe­nangkapan penyelundupan gadingnya yang baru, Elephant Trade Information System (ETIS), di negara pro-perdagangan-gading terkemuka di Afrika, Zimbabwe.Sejak awal, Traffic sesumbar bahwa basis data ETIS-nya berhasil melacak pelarangan gading hingga mundur ke tahun 1989. Padahal, semua negara tidak pernah diminta melaporkan penyitaan gading ke ETIS sebelum 1998. Selama satu dasawarsa, datanya didapatkan dari survei acak Traffic dan memiliki data yang minim tentang penyitaan di beberapa negara utama.

Banyak pemerintah yang enggan melaporkan penyitaan yang mereka lakukan sehingga ketika tiba saatnya untuk menilai uji coba Jepang, basis data Traffic dipenuhi kasus dari AS dan Uni Eropa (lebih dari 60 persen) dan tidak memiliki banyak kasus dari tempat yang terpenting: Asia (kurang dari 10 persen). ETIS tidak memiliki dasar yang baik untuk menilai pengaruh penjualan gading ke Jepang.!break!

CITES mungkin mengambil pendekatan holistik atas eksperimen Jepang: menggabung­kan laporan sejumlah LSM internasional, yang mengirimkan penelitinya dengan melakukan penyamaran untuk menemukan peningkatan perdagangan gading ilegal setelah penjualan Jepang, dengan data dari Traffic, padahal sta­tis­tik ETIS tidak menunjukkan korelasi yang pasti antara penjualan Jepang dan pe­nangkapan penyelundupan.

Traffic mungkin mengakui keterbatasan ETIS—yang data utama penyitaannya dikendalikan oleh negara-negara yang sedang dievaluasi. Karena CITES juga sulit menghitung jumlah perburuan liar gajah, organisasi itu seakan-akan menyatakan hasil uji coba Jepang belum dapat disimpulkan atau bahkan gagal.

Cina menganggapnya sebagai kegagalan. Dalam sebuah laporan pada 2002, Cina mem­peringatkan CITES bahwa alasan utama per­tumbuhan permasalahan penyelundupan gading di Cina adalah uji coba Jepang: “Banyak orang Cina salah memahami keputusan itu dan mengira bahwa perdagangan internasional gading telah dibuka kembali.” Konsumen Cina mengira pembelian gading telah diizinkan lagi.

CITES mengabaikan peringatan Cina dan sepenuhnya memercayai statistik ETIS. “Data yang kami dapatkan dari ETIS menunjukkan tidak ada korelasi antara keputusan yang dibuat di CITES dan perdagangan ilegal,” kata Willem Wijnstekers, sekretaris jenderal CITES pada saat itu. Tom Milliken, direktur ETIS, juga menyiratkan bahwa penjualan Jepang berlangsung dengan baik: “Sungguh meng­gembirakan bahwa perdagangan gelap gading semakin menurun selama lima tahun berikut­nya.” Tetapi, Milliken tidak tahu apa yang terjadi dalam perdagangan gelap; yang diketahuinya hanyalah statistik penyitaan.

Namun, keputusan telah dibuat, dan masa depan gajah Afrika selamanya suram ketika CITES, akibat kurangnya data untuk mengevaluasi dampak perdagangan gadingnya yang pertama, mengesahkan penjualan kedua.

Pada 2004, Cina telah melupakan kekhawa­tirannya dan  mengajukan petisi kepada CITES untuk membeli gading. Pada Maret 2005, CITES mengirim tiga orang termasuk Milliken ke Cina selama lima hari, untuk mengevaluasi sistem pengendalian gading di negara itu. Tim itu kembali dengan “sangat puas” dan meramalkan bahwa sistem Cina dapat “memberantas atau, setidaknya secara signifikan mengurangi per­dagangan gelap.”

Tetapi, mereka pun mengamati, bahwa dua laporan ETIS berikutnya mendapati bahwa Cina adalah satu-satunya alasan terbesar mengapa perdagangan gading ilegal terus me­ningkat. Karena itu, sekretariat CITES menolak permintaan Cina untuk membeli gading.!break!

Tetapi, ETIS dapat dimanipulasi. Organisasi ini menilai negara tak hanya berdasarkan pe­nyitaan gadingnya, tetapi juga penegakan hukum­nya. Sangat mungkin mempermainkan sistem ETIS dengan melaporkan banyak kasus penyitaan dalam skala kecil, seperti ditangkap­nya wisatawan yang mengenakan anting gading. “Tom Milliken mengatakan kepada saya untuk melakukan penggerebekan di Chatuchak [pasar Bangkok] agar apa yang saya lakukan mendapatkan perhatian,” ujar seorang pejabat Thailand yang frustrasi kepada saya.

Pada 1999, tahun terjadinya penjualan ke Jepang, Cina me­la­por­kan tujuh penyitaan gading kepada ETIS. Tidak lama setelah negara itu mengajukan petisi  kepada CITES, Cina melaporkan puluhan kasus penyitaan dalam setahun kepada ETIS, sebagian besar berhubungan dengan barang pribadi wisatawan.

Belakangan ini ratusan kasus dilaporkan Cina setiap tahun. Pada Februari ini, Cina memublikasikan salah satu usaha besar penegakan hukum gading pada 2011, melibatkan 4.497 personel dan 1.094 kendaraan serta menghasilkan 19 kasus. Upaya itu menghasilkan penyitaan 28,8 kilogram gading, setara dengan berat seekor anjing pudel yang terlalu gemuk.

Pada Juli 2008, sekretariat CITES me­nyetujui permintaan Cina untuk membeli gading, didukung oleh Traffic dan WWF. Negara anggota setuju, dan di musim gugur itu, Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe mengadakan lelang, yang secara kolek­tif men­jual lebih dari 104 ton gading kepada pedagang Cina dan Jepang.Sebagai alat yang menguji apakah penjualan gading meningkatkan angka kejahatan, uji coba Jepang punya kelemahan.

Sebagai alat peramal untuk Cina, uji coba itu punya masalah yang jauh lebih dalam. Jepang adalah negara kepulauan dengan pemanfaatan gading yang sangat terbatas: segel tanda tangan yang disebut hanko. Sementara itu, Cina berbatasan dengan 14 nega­ra, memiliki garis pantai yang panjang, ekonomi yang berkembang pesat, populasi sepuluh kali lipat Jepang, serta investasi besar di Afrika.

Pemanfaatannya juga sangat luas, mulai dari patung hingga sarung ponsel. Setelah Jepang membeli gading, Cina menga­takan penyelundup­an meningkat. Kini, Cina sendiri yang memasuki bisnis gading. CITES berusaha meyakinkan seluruh dunia untuk tak khawatir.

Iblis mengintai di setiap penjuru

Meng Xianlin adalah direktur jenderal eksekutif manajemen CITES di Cina, sehingga dialah pejabat tertinggi perdagangan kehidupan liar di Cina. Dia menghadiri lelang gading 2008 di Afrika Selatan. Dia menceritakan rahasia yang  mengejutkan: Lelang Afrika tak kompetitif. Jepang mengusulkan agar setiap negara mengajukan tawaran untuk jenis gading yang berbeda dan menjaga agar harga tetap rendah.

Harga yang mereka bayar sedemikian rendah, kata Meng, sehingga pejabat Namibia yang me­ngadakan lelang pertama mengikuti delegasi Asia dari satu negara ke negara lain, mencari bukti bahwa negaranya telah dicurangi.!break!

Tetapi, bagi sekretariat CITES, lelang ber­langsung sukses. Panitia lelang mendapatkan Rp155 miliar yang sebagian besar seharusnya membiayai proyek pelestarian alam di Afrika. Walaupun harga rata-rata hanya sekitar Rp1,5 juta per kilogram gading, itu berarti Afrika akan mengeluarkan dana lebih sedikit untuk membiayai pelestarian alamnya.

Menurut CITES, itu pun berarti bahwa Cina sekarang bisa melakukan perannya untuk menegakkan hukum dengan membanjiri pasar domestik dengan gading sah yang murah. Hal ini dapat menyingkirkan pedagang ilegal, yang didengar CITES mengeluarkan uang hingga Rp8,5 juta per kilogram gading. Harga yang lebih rendah, ujar Willem Wijnstekers dari CITES kepada Reuters, dapat meredam perburuan liar.

Tetapi, pemerintah Cina melakukan hal yang tak terduga. Mereka meningkatkan harga gading. Melalui afiliasi asosiasi kerajinannya, CACA, pemerintah membebani pengusaha seperti Xue Ping harga sebesar Rp11 juta per kilogram, melipatgandakannya sampai 650 persen, dan tarif yang dikenakan pada Pabrik Pengukiran Gading Beijing menyebabkan biaya perusahaan gading mencapai Rp12 juta per kilogram untuk sebuah gading Kelas A.

Cina merancang rencana sepuluh tahun untuk membatasi pasokan dan melepaskan hanya sekitar lima ton gading ke pasar setiap tahun. Pemerintah Cina, yang mengendalikan siapa saja yang boleh menjual gading di Cina, tidak memerangi pasar gelap dengan harga rendah.

Menerapkan logika sekretariat bahwa harga rendah dan volume tinggi mampu meredam penyelundup, maka harga tinggi dan volume terbatas yang diberlakukan Cina justru me­nyubur­kan penyelundupan. Keputusan yang mem­perboleh­kan Cina membeli gading memang semakin memicu perdagangan ilegal gading, menurut kelompok pengawas inter­nasional dan pedagang yang saya temui di Cina dan Hong Kong.

Harga pun terus naik. Menurut Feng You Min, direktur penjualan di Pabrik Pengukiran Gading Daxin, harga gading mentah meningkat menjadi 20 kali harga yang dibayar di Afrika.

Tidak lama sebelum masalah gajah dibahas pada pertemuan CITES pada Agustus 2011, Cina mendalangi pengusiran semua LSM yang menghadiri pertemuan itu. Ini adalah tin­dak­an tak lazim. Di antara mereka yang di­usir adalah perwakilan dari Yayasan Born Free, Humane Society International, Japan Federation of Ivory Arts and Crafts Association, Pew Charitable Trust, Safari Club International, dan saya (untuk National Geographic Society). Tom Milliken dari Traffic diizinkan hadir agar bisa memaparkan hasil ETIS terbaru.

Alasan pengusiran, kata Meng, adalah laporan LSM kecil berpengaruh berbasis di London, Environmental Investigation Agency (EIA), yang mengirim penyelidik rahasia keturunan Cina ke Cina. EIA menuduh sistem pengendalian gading Cina sebagai sebuah kegagalan, bahwa hingga 90 persen gading di pasar Cina adalah ilegal, dan lelang 2008 membangkitkan perdagangan gading ilegal. Meng marah besar. Ya, katanya, 80 persen laporan EIA memang benar, “tetapi mereka seharusnya mela­porkannya kepada kami terlebih dahulu.”

Tahun lalu, CITES membuat pengakuan mengejutkan: “Sekretariat mengalami kesulitan memahami sekian banyak aspek perdagangan ilegal gading.” Pada April lalu, Tom Milliken mengakui sesuatu kepada BBC yang cukup me­nakutkan dan mirip dengan peringatan Cina setelah uji coba Jepang: “Apakah pemberian izin masuknya gading sah ke Cina memperburuk situasi? Kini kita mungkin bisa berdebat dengan menoleh ke belakang, bahwa memang seperti itulah keadaannya. Izin itu mungkin menciptakan gambaran pada banyak calon konsumen bahwa pembelian gading  diizinkan.”

Meng terkekeh saat saya menuangkan sebotol bir. Dia mengatakan bahwa setelah gading Afrika tiba di Cina, suara aneh terdengar dari kontainer pengiriman. Selama penawaran, gading Afrika Selatan tampak seperti gading terbaik dan terputih. Kini beberapa gading mulai retak. “Kita bisa mendengarnya retak,” kata Meng.

Untuk mendapatkan harga yang baik, duganya, pemerintah Afrika Selatan me­mutihkan gadingnya dan dehidrasi menyebab­kannya retak.

Bahkan gading kuning dari gajah hutan yang berukuran kecil jauh lebih berharga daripada gading putih gajah padang rumput. Ukiran gading gajah hutan terjual sangat cepat sehingga pelanggan harus memesannya jauh hari sebelumnya. Tetapi, gajah hutan bukanlah tempat Cina membeli gading secara sah. Satwa itu hidup di Afrika tengah dan barat. Pada bulan Maret, CITES akan me­ng­ada­kan pertemuan lagi untuk mem­bahas masa depan gajah Afrika.