Suhu luar terbaca 1,7°C, turun dari 30°C di permukaan. Kokpit pilot mendingin dengan cepat, bagian dalamnya sekarang berlapis tetesan embun hasil kondensasi. Kaki telanjang saya yang menempel di baja pintu palka terasa membeku. Dalam ruang sempit ini, perlu beberapa menit untuk mengenakan kaus kaki wol dan sepatu tahan air. Saya mengenakan topi kupluk untuk melindungi kepala dari baja basah dan dingin yang menekan kepala, dan tentu saja, agar terlihat lebih mirip penjelajah.
Di luar gelap-gulita, satu-satunya indikasi gerakan hanyalah partikel plankton tersorot lampu yang berlalu dengan cepat, rasanya seperti mengendarai mobil melintasi badai salju.!break!
06.33, 7.070 METER, 1,4 METER/DETIK
Saya baru saja melewati kedalaman operasi maksimum kapal selam berawak terdalam di dunia, Jiaolong dari Cina. Beberapa menit lalu, saya melewati kedalaman maksimum Mir Rusia, Nautile Prancis, dan Shinkai 6500 Jepang. Saya menyelam lebih dalam daripada semua kapal selam berawak yang ada saat ini. Semua kapal selam lain itu hasil program yang didanai pemerintah. Torpedo hijau kecil kami dibuat sendiri di kantor swasta yang bertetangga dengan toko grosir material dan bengkel kayu lapis di pinggiran Sydney, Australia. Anggota tim kami, yang kebanyakan belum pernah menangani kapal selam sebelumnya, berasal dari Kanada, Cina, Amerika Serikat, Australia, dan Prancis.
06.46, 8.230 METER, 1,3 METER/DETIK
Saya baru saja melampaui kedalaman rekor penyelaman solo saya sebelumnya di Palung New Britain, lepas pantai Papua Nugini, tiga pekan lalu. Rasanya luar biasa bahwa saya masih harus menyelam 2.740 meter lagi. Waktu terasa melambat. Saya telah mengerjakan semua bagian dalam daftar penyelaman, dan tak punya kerjaan selama penyelaman panjang dan sunyi ini selain berpikir dan memirsa angka meteran kedalaman yang kian membesar. Desis solenoide oksigen sesekali menjadi suara satu-satunya.
07.43, 10.850 METER, 0,26 METER/DETIK
Kembali satu jam berlalu, dan kapal selam melambat dalam perjalanan 2.740 meter terakhirnya. Saya sudah membuang beberapa balas, bantalan peluru dari baja yang dilepas oleh perangkat elektromagnet—bantalan peluru ini dipakai untuk memperberat kapal selam. Saya hampir “netral”, tidak berat juga tidak ringan, turun sangat lambat hanya dengan mengandalkan gaya dorong. Altimeter menunjukkan bahwa dasar laut masih 46 meter di bawah. Semua kamera beroperasi, lampu-lampu diarahkan lurus ke dasar. Saya mencengkeram kontrol pendorong dengan tegang sambil menatap layar kosong.
Tiga puluh meter... dua puluh tujuh... dua puluh empat... Seharusnya saya sudah melihat sesuatu. Dua puluh satu... delapan belas... Akhirnya, saya melihat cahaya putih terpantul dari bawah. Dasar laut tampak polos seperti cangkang telur, tak ada ciri khas, tak ada rujukan skala untuk menilai jarak. Saya melakukan pengereman sedikit dengan pendorong vertikal. Lima detik kemudian arus air ke bawah mengenai dasar laut, dan kehampaan di bawah saya bergoyang laksana tirai sutra.
Saya masih belum yakin kalau ada permukaan padat. Saya lepaskan tangan sebentar dari tuas kontrol pendorong dan mengarahkan lampu sorot ke samping untuk melihat lanskap dasar laut. Airnya sangat bening. Saya bisa melihat sangat jauh: tak ada apa-apa. Dasar laut ini benar-benar seragam, tak memiliki karakter apa pun selain ketiadaan karakter, dimensi, dan arah. Saya sudah melihat dasar laut berulang kali selama lebih dari 80 penyelaman laut dalam. Tak ada yang seperti ini.
07.46, 10.898,5 METER, NOL METER/DETIK
Saya menggerakkan kapal sedikit ke bawah, semakin dekat dengan dasar laut. Melalui kamera yang terpasang di lengan kapal, saya melihat kaki wahana melesak sekitar 10 sentimeter sebelum terhenti. Akhirnya sampai juga di dasar. Penyelaman ini memakan waktu dua setengah jam. Kepulan lumpur terhalus yang pernah saya lihat membubung laksana asap rokok, lalu mengambang nyaris tak bergerak. Lalu, terdengar suara dari 11 kilometer di atas saya: “Deepsea Challenger, ini permukaan. Pemeriksaan komunikasi.” Suara itu sayup tetapi terdengar sangat jelas.