Misteri Nyali

By , Kamis, 23 Mei 2013 | 11:11 WIB

“Untuk waktu yang lama, saya berkata pada diri sendiri, tak akan menyelam bersama walrus atlantik,” ungkapnya. “Alasan mengapa tak ada banyak foto walrus atlantik berenang di bawah es kutub, karena sangatlah sulit dan berbahaya memotong lubang di es setebal beberapa meter, menyelam ke dalam air sedikit di atas titik beku, lalu mencoba mendekati binatang seberat 1.300 kilogram. Mereka bisa sangat agresif saat merasa terganggu. Ada banyak cara untuk mati ketika melakukannya.”

Imbalan bagi Nicklen dalam mengambil risiko tersebut adalah berhasil mengambil gambar walrus begitu dekat, begitu tiga dimensi. Gambar-gambar yang membuat pembaca terpesona. “Saya ingin pembaca merasa seolah-olah diri mereka adalah walrus yang berenang dengan walrus lainnya. Untuk momen yang singkat, itulah yang saya rasakan waktu itu. Satu-satunya cara di mana saya bisa menggambarkan betapa kuatnya perasaan tersebut adalah dengan melalui foto-foto ini. Bisa dibilang saya kecanduan.”

Gerakan “garis risiko” pribadi Nicklen merupakan cara otaknya mengalibrasi ulang risiko berdasarkan pengalaman masa lalu, ungkap Larry Zweifel. “Ia dengan amat nyaman mengakui, apa saja situasi potensial yang mengancam dan bagaimana ia bisa menghindari situasi itu. Otaknya mengalkulasi risiko dan potensi imbalan, difasilitasi oleh sistem dopamin, yang kemudian memotivasi dirinya untuk menyelam.”!break!

Mengaklimatisasi risiko adalah hal yang kita semua lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah saat kita belajar me­ngendarai mobil. Pada awalnya pengendara baru mungkin akan takut bepergian di jalan raya, tetapi seiring waktu, pengendara yang sama dengan pengalaman lebih banyak akan lebih santai bergabung ke tengah lalu lintas, mengebut dengan sedikit pertimbangan bagi potensi bahaya yang signifikan.

“Ketika suatu kegiatan menjadi rutinitas dan kebiasaan, kita membiarkan pertahanan kita turun, terutama saat tak ada hal buruk yang terjadi selama beberapa waktu,” kata Daniel Kruger, psikolog evolusi di University of Michigan. ”Kita memiliki sistem yang dirancang untuk bereaksi terhadap ancaman jangka pendek. Tetapi, saat sistem itu menyala sepanjang waktu, dampaknya akan sangat merugikan bagi tubuh,” seperti meningkatkan gula darah dan menekan sistem kekebalan.

Prinsip keterbiasaan ini juga dapat diterap­kan untuk membantu mengatasi rasa takut terkait situasi berisiko tinggi. Dengan melatih suatu kegiatan, manusia bisa terbiasa dengan risiko dan mengelola rasa takut yang muncul dalam situasi tersebut, ungkap Kruger.

Oktober silam, mantan penerjun payung Austria, Felix Baumgartner, menerapkan prinsip ini sampai ke titik ekstrem. Ia menaiki balon helium ke stratosfer dan melompat turun sejauh 36,3 kilometer dari atas Bumi. Ia mencatat rekor terjun bebas selama 4,5 menit dalam kecepatan melebihi 1.356 kilometer per jam.!break!

Baumgartner dan timnya menghabiskan lima tahun memperbaiki peralatan, menggunakan altitude chamber atau ruang ketinggian untuk melakukan simulasi suhu dan tekanan, serta berlatih melompat dari beragam ketinggian.

“Bagi orang luar, melompat seperti itu tampak sarat oleh risiko,” ungkap Baumgartner. “Tetapi jika kalian perhatikan detailnya dengan cermat, kalian akan tahu bahwa risikonya telah diminimalisasi sebanyak mungkin.”

Namun, penting untuk diingat bahwa se­seorang tak harus melompat dari ruang angkasa untuk menjadi seorang pengambil risiko, kata Kruger. “Mengambil risiko adalah bagian dari warisan manusia. Kita semua termotivasi untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Mencapai keduanya melibatkan pilihan yang mungkin mengakibatkan hasil negatif. Itu juga disebut mengambil risiko.”

Gagasan bahwa kita semua keturunan penempuh risiko mencengangkan penulis Paul Salopek. “Manusia yang meninggalkan Lembah Great Rift adalah penjelajah besar pertama,” ia beralasan. Dengan pemikiran ini, ia telah memulai tujuh tahun perjalanan menempuh 35.400 kilometer untuk mengikuti jejak mereka saat memencar keluar dari Afrika dan menyebar di seluruh planet. Ini adalah jejak dari beberapa penempuh risiko pertama, yang di sepanjang jalan menyantap tanaman tidak dikenal dan daging binatang, belajar melintasi air dalam, dan menemukan cara untuk mempertahankan suhu tubuh mereka dalam udara dingin.!break!

Dalam melakukan perjalanan ini, Salopek mengambil serangkaian risiko tersendiri. “Gagasannya adalah melakukan perjalanan sepanjang siang seperti bangsa nomaden saat mereka meninggalkan Afrika, 50.000 sampai 70.000 tahun silam. Para ilmuwan menemukan bahwa itu sekitar 16 kilometer sehari,” ujarnya pada Januari, tak lama sebelum ia memulai perjalanan dari situs di timur laut wilayah Afar Etiopia. Di sini, beberapa fosil manusia modern dalam bentuk bagian-bagian tubuh ditemukan untuk pertama kalinya. Dengan kecepatan ini, ia berencana melewati tiga benua dan kurang lebih 30 perbatasan internasional, serta puluhan bahasa dan kelompok etnis. Juga rangkaian pegunungan dan sungai, gurun dan dataran tinggi, kota yang hampir mati, serta metropolis baru yang hiruk-pikuk.

“Falsafah di balik perjalanan ini adalah untuk membuat pembaca tidak terlalu fokus pada pemikiran bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya,” katanya. “Dunia dapat mem­bunuh Anda dalam sekejap, entah Anda tinggal di rumah atau meninggalkan rumah.” Sebaliknya, ia berharap, “agar pembaca berpikir tentang cakrawala yang lebih luas, kemungkinan yang lebih luas dalam kehidupan, jalan yang ditempuh dan tidak ditempuh, dan menjadi nyaman dengan ketidakpastian.”

Pada dasarnya Salopek ingin mengingatkan kita bahwa pada inti diri yang terdalam, kita semua adalah penempuh risiko, meski ada be­berapa orang yang lebih daripada yang lain. Dan  keinginan bersama untuk menjelajahi planet inilah yang telah mengikat spesies kita dari awal.

Ini adalah gagasan luhur, meskipun hanya salah satu dari sekian banyak yang digerakkan oleh dopamin.