Selisih Shih-Li-Fo-Shih

By , Selasa, 24 September 2013 | 12:20 WIB

Di negeri Shihlifoshih, kita melihat bahwa bayang-bayang welacakra [jam matahari] tidak menjadi panjang, atau menjadi pendek pada pertengahan bulan delapan,” demikian tulis I-Tsing dalam catatannya.

“Pada tengah hari, tak tampak bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari.” I-Tsing pun menunjukkan letak Shihlifoshih berada di garis lintang yang sama dengan posisi matahari saat itu. “Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara; panjangnya lebih kurang dua atau tiga ch’ih. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tetapi jatuh ke selatan.”

I-Tsing merupakan pendeta Buddha asal Cina. Dia singgah ke Shihlifoshih antara 671 dan 695, diselingi perjalanan ke India dan bermukim di Nalanda sekitar 672 hingga 685. Dia diperkirakan menulis kisahnya pada periode 690 hingga 692.

Di manakah Shihlifoshih itu? Persoalannya, kabar dari Cina tentang toponimi di lautan sebelah selatan kadang membingung ahli sejarah. Pasalnya, nama tempat dicatat dalam bahasa Cina berdasar indra pendengaran sang penulis, dan penentuan lokasinya berdasarkan jam matahari.

Baru pada awal abad ke-20, atau sekitar 1.200 tahun setelah I-Tsing selesai mencatat perjalanannya, secuil misteri terpecahkan. Shihlifoshih diduga kuat berkaitan dengan lokasi sebuah negeri bernama Sriwijaya. Per­debatan panjang di mana lokasi Sriwijaya telah mengerucut pada tiga kawasan di sekitar khatulistiwa Sumatra, yang juga diduga sebagai tempat bermukim I-Tsing.

Ketiga kawasan tersebut adalah Bukit Siguntang di Palembang, Candi Muarajambi di Jambi, dan  Candi Muara Takus di Riau. Jika tempat tinggal I-Tsing di Shihlifoshih dapat diketahui, tersingkaplah teka-teki lokasi Ibu Kota Sriwijaya. “Upaya saya mengulangi pengamatan astronomis I-Tsing berhubungan erat dengan upaya mengidentifikasi lokasi I-Tsing berdiam,” tulis Hudaya Kandahjaya dalam surelnya kepada The Society of Muarojambi Temple (The SOMT) pada pertengahan 2011.

Hudaya merupakan peneliti di Numata Center yang berkantor tak jauh dari University of Berkeley, California, Amerika Serikat. Lembaga tersebut berkiprah dalam penelitian dan alih bahasa naskah Buddha dalam kitab Tripitaka. Dia sendiri lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Sementara, The SOMT adalah komunitas peduli terhadap kelestarian Candi Muarajambi, yang dimotori secara swadaya oleh warga sekitar situs warisan leluhur Sumatra itu.

Saat kunjungan pertamanya ke Muarajambi, Hudaya terkesan atas melimpahnya temuan arkeologis seluas hampir tiga ribu hektare tersebut, ketimbang temuan di Riau dan Palembang. Kenyataan ini mendorongnya untuk menghubungkan dengan tempat I-Tsing bermukim. Namun, dia tak berpuas diri hanya dengan kesimpulan itu.!break!

Hudaya memprakarsai rekonstruksi peng­amatan astronomis dengan bantuan tenaga pengamat lapangan dari The SOMT. Pengamatan pertama berlokasi di kompleks Muara Takus yang dilakukan tengah hari pada tanggal 15 bulan kedelapan kalender Cina (12 September 2011)—waktu yang tepat seperti kisah I-Tsing. Hasilnya, mereka masih menjumpai bayangan walaupun lokasinya paling dekat dengan khatulistiwa.

Lokasi kedua adalah kompleks Muarajambi. Namun, pengamatan astronomis di situs ini dilakukan tepat pada saat matahari di atas Muarajambi, yaitu pada tanggal 1 bulan kesembilan dalam kalender Cina (27 September 2011). The SOMT mengirimkan laporannya lewat surel—baik teks maupun visual—kepada Hudaya. “Telah terjadi bahwa bayangan dari pipa paralon yang digunakan sebagai pengukur, hilang bayangannya,” demikian tulis The SOMT.

Hudaya membalas surel mereka, “Ini semakin mendekatkan kita pada kesimpulan bahwa Muarajambi adalah lokasi I-Tsing tinggal.” Kemudian saya berdiskusi dengan Hudaya tentang temuan mereka lewat surel. Saya melayangkan kepadanya sebuah pernyataan bahwa “ketiadaan bayangan di Muarajambi yang terjadi setelah pertengahan bulan kedelapan merupakan suatu kenampakan berbeda dari catatan I-Tsing.”

“Kekeliruan muncul dalam banyak tulisan cendekiawan sebelum ini yang menyinggung soal pengamatan astronomis I-Tsing,” balas Hudaya mengoreksi pendapat saya. Menurutnya terdapat aspek astronomis dalam catatan pendeta Buddha itu yang tidak disimak semestinya. “Peristiwa yang dialami I-Tsing bersifat khas.”

Artinya, pertengahan bulan kedelapan (atau bulan kedua) penanggalan Cina yang bersamaan dengan zenit di belahan Bumi selatan tidak terjadi setiap tahun, ungkapnya. “Saat yang khas itu terjadi pada tahun 690, pada masa I-Tsing menulis catatannya.”