Kembali ke Nirwana

By , Kamis, 21 November 2013 | 13:50 WIB

Ada sebuah kerajaan karang di Samudra Pasifik yang bernama Teluk Kimbe. “Tempat ini adalah dunia tersendiri, yang lebih aneh daripada ruang angkasa,” ujar fotografer David Doubilet. Tidak seperti antariksa yang dingin, tempat ini penuh kehidupan, dan dalam semestanya terdapat galaksi ikan dan formasi karang yang tak kalah menakjubkan dibanding ledakan supernova. Teluk ini terletak di pesisir New Britain, Papua Nugini. Proses geologi yang resah di wilayah tempat pertemuan dua lempeng ini menghasilkan gunung berapi, paparan sempit curam, dasar jurang sedalam dua kilometer; serta pegunungan bawah laut bermahkota terumbu karang selama ribuan tahun.

Tujuh belas tahun silam, Doubilet berkunjung selama delapan hari ke Kimbe untuk keperluan liputan, dan pengalaman itu menimbulkan kerinduan untuk datang kembali. Obsesi itu lahir dari kenangan tentang surga bawah laut dengan kawanan ikan keperakan, padang cambuk-laut merah, dan air sebening kristal. Masih utuhkah nirwana tersebut?

“Beberapa karang”, katanya, “sangat energik, bagai lukisan Jackson Pollock.” Sementara karang Kimbe sangat rapuh, “seperti lukisan impresionis Monet.” Kehidupan yang merayap, berenang, dan berayun dalam alun perairan ini adalah salah satu puncak keanekaragaman hayati. Ada 536 jenis karang (lebih dari setengah jumlah spesies dunia) dan sekitar 900 spesies ikan karang. Makhluk ajaib kecil, kuda laut kerdil, dan yang besar (paus koteklema) ada di teluk ini. Keragaman ini merupakan perpaduan antara geografi, arus laut, suhu, dan ulah evolusi.

Karang itu tetap semarak seperti 17 tahun silam—tak seperti banyak tempat lain di muka bumi—karena letaknya yang amat terpencil. Tempat ini tidak mengalami tekanan populasi manusia, seperti misalnya yang terjadi pada terumbu karang di lepas pantai Asia. Tidak ada penangkapan ikan komersial. Karang ini juga berkembang karena dijaga dengan amat baik. Salah satu pendukungnya adalah The Nature Conservancy, yang menyusun rencana pembuatan 14 daerah perlindungan laut di teluk tersebut. Ia didukung organisasi pendidikan dan konservasi lokal Mahonia Na Dari (Penjaga Laut dalam bahasa setempat). Organisasi ini berjalan bersama Papua New Guinea Centre for Locally Managed Areas, yang membantu masyarakat mengelola dan melindungi sumber daya mereka.

Jika orang ingin melihat seperti apa terumbu karang yang sehat, lihatlah Kimbe, kata Geoffrey Jones, profesor biologi laut di James Cook University di Townsville, Australia. Ia meneliti daerah ini selama 16 tahun. Salah satu ciri khas, di sini banyak sekali ikan gobi, yang hanya ada di habitat ekstrem. “Jika jenis karang itu musnah,” katanya, “lenyap pula ikan tersebut.”

Untuk saat ini, ikan dan karang masih ada di sana. Namun, itu untuk saat ini. Kita harus selalu diingatkan bahwa terumbu karang mudah rusak. Terumbu karang rentan terhadap pengasaman laut, penangkapan ikan berlebih, air limpasan pertanian, dan yang terpenting, pemanasan global. Hal ini memicu rangkaian peristiwa biologis, menyebabkan pemutihan karang hingga menjadi seputih tulang.

“Kami tiba saat salah satu monsun terparah terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir,” tutur Doubilet mengenai kedatangannya kembali. Perubahan iklim mengganggu pola cuaca di seluruh dunia; di Teluk Kimbe, hujan turun dengan lebatnya di bulan yang biasanya sudah kemarau. Hujan deras membawa air limpasan yang mengeruhkan pantai, memaksanya beralih ke terumbu yang letaknya lebih jauh ke tengah.

Meskipun demikian, Teluk Kimbe masih bertahan. Ikan perak, karang semarak, cambuk-laut merah yang dibayang-bayangkan Doubilet selama 17 tahun masih ada di sana. Untuk saat ini. Lebih dari setengah terumbu Papua Nugini dalam keadaan terancam. Terumbu sangat rentan—sama rapuh dan menghantuinya seperti mimpi yang selalu terbayang-bayang.