Para Pembongkar Kapal

By , Senin, 28 April 2014 | 10:23 WIB

Saya sudah diperingatkan bahwa sangatlah sulit memasuki lapangan pembongkaran kapal di Banglades. “Tempat ini dahulu pernah menjadi tujuan wisata,” ujar seorang laki-laki penduduk setempat. “Orang berdatangan untuk menonton para pekerja membongkar kapal laut dengan tangan kosong.

Namun, kini orang luar tidak diizinkan lagi masuk ke tempat itu.” Saya berjalan be­berapa kilometer menyusuri jalanan yang sejajar dengan Teluk Benggala, di utara kota Chittagong. Di situ, 80 lapangan pembongkaran kapal masih aktif, membentang sepanjang 12 kilometer di pesisir pantai.

Setiap lapangan dilindungi pagar tinggi dengan kawat berduri di atasnya. Tampak rom­bongan satpam menjaga ketat tempat itu dan sejumlah tanda dipasang untuk mem­per­ingatkan para fotografer. Orang luar menjadi sangat tidak diinginkan dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah terjadi ledakan yang me­newaskan beberapa pekerja. Ledakan tersebut telah memicu protes dari para kritikus, yang mengatakan bahwa para pemilik lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan. “Namun, mereka tidak bisa mem­blokade lautan,” ujar lelaki tersebut.

Jadi, pada suatu senja, saya menyewa seorang nelayan untuk membawa saya menyusuri lapangan itu dari lautan. Saat air pasang, laut seakan menelan deretan tanker minyak dan kapal kontainer yang tertambat di pantai. Beberapa kapal laut tampak masih utuh, seolah-olah baru saja tiba di tempat itu. Kapal lainnya kini tinggal kerangka, lapisan bajanya telah dikelupas, mengungkapkan palka hitam raksasa.

Masa pakai kapal seperti ini berkisar antara 25 sampai 30 tahun, sehingga sebagian besar dari deretan kapal ini kemungkinan diluncurkan pada 1980-an. Namun, meningkatnya biaya asuransi dan pemeliharaan kapal tua mem­buatnya tidak lagi menguntungkan untuk di­operasikan. Sekarang sebagian besar nilai kapal-kapal itu terdapat pada rangka bajanya.

Hampir semua awak pembongkar telah pulang hari itu. Tiba-tiba hujan bunga api ber­hamburan dari buritan yang terletak beberapa lantai di atas kami. Ada kepala menjulur, lengan­nya melambai dengan penuh semangat. “Ayo, menjauh! Kami sedang memotong bagian ini,” teriak seorang lelaki. “Kalian mau mati?”

Kapal-kapal yang dibuat untuk mengarungi lautan itu tidak pernah dimaksudkan untuk dibongkar. Kapal itu dirancang untuk menahan kekuatan ekstrem di beberapa lingkungan tersulit di bumi, dan sering dibuat dengan meng­gunakan bahan beracun, seperti asbes dan timbal. Ketika kapal ini dibongkar di negara maju, prosesnya lebih ketat dan mahal, sehingga sebagian besar pembongkaran kapal di dunia dilakukan di Banglades, India, dan Pakistan, yang tenaga kerjanya murah dan pengawasannya minimal.

Reformasi industri dimulai secara lambat, tetapi pasti. India kini mensyaratkan lebih banyak perlindungan untuk para pekerja dan lingkungan. Namun, di Banglades, tempat dibongkarnya 194 kapal pada 2013, industri itu masih sangat kotor dan berbahaya.

Bisnis ini masih sangat menguntungkan. Para aktivis di Chittagong bercerita bahwa dalam tiga sampai empat bulan, setiap kapal di lapangan pembongkaran Banglades rata-rata menghasilkan keuntungan sekitar sepuluh miliar rupiah untuk investasi sebesar lima puluh miliar rupiah. Sementara itu, keuntungan di Pakistan kurang dari Rp2 miliar. Saya menghubungi Jafar Alam, mantan kepala Asosiasi Pembongkaran Kapal di Banglades. Dia membantah margin keuntungan yang begitu tinggi.

Berapa pun keuntungan yang sebenarnya, hal itu didapatkan dengan mendaur ulang lebih dari 90 persen badan setiap kapal. Proses ini dimulai setelah rombongan pembongkar kapal mendapatkan kapal dari makelar inter­nasional yang memperdagangkan kapal usang. Se­orang kapten yang mengkhususkan diri dalam kegiatan menambatkan kapal besar di­pe­kerjakan untuk mengirimkan kapal usang ini ke lapangan pembongkaran.

Usai kapal ditambatkan di tengah lumpur, cairan di dalamnya disedot keluar, termasuk sisa solar, oli mesin, dan bahan kimia pemadam kebakaran, yang kemudian dijual kembali. Lalu, mesin dan berbagai barang lainnya dilucuti. Semuanya dijual kepada tukang loak.

“Kedengarannya seperti bisnis yang bagus, kalau Anda tidak memperhitungkan racun yang meresap ke dalam tanah kami,” kata Muhammad Ali Shahin, seorang aktivis di LSM Shipbreaking Platform. “Atau, kalau Anda tidak bertemu dengan janda para pemuda yang tubuhnya remuk tertimpa potongan baja atau mati kehabisan napas di dalam kapal.” Selama lebih dari sebelas tahun, Shahin berupaya untuk meningkatkan kesadaran tentang pen­deritaan pekerja lapangan ini. “Saya tidak me­ngata­kan pembongkaran kapal harus sama sekali dihenti­kan,” katanya. “Tetapi, hal itu harus dilakukan dengan lebih bersih dan lebih aman dengan perlakuan yang lebih baik bagi para pekerjanya.”

Kecaman-kecamannya tidak hanya ditujukan ke­pada para pembongkar kapal di Banglades saja. “Di dunia Barat, Anda tidak akan mem­biar­kan orang mencemari negara Anda dengan mem­bongkar kapal di pantai Anda. Lalu, mengapa Anda membiarkan para pekerja miskin mem­pertaruhkan hidup mereka untuk membongkar kapal yang tidak Anda inginkan itu, di negara kami?”