Negeri Giok

By , Jumat, 19 September 2014 | 14:52 WIB

Jeff Mahuika tiba-tiba membungkuk. Di antara ribuan kerikil sungai di kaki kami, matanya menangkap sesuatu yang terlewat oleh saya. Jemarinya menjepit ujung sebongkah batu dan dengan lembut mencungkilnya dari tumpukan batuan yang menyembunyikannya dari pandangan. Itu pounamu—permata hijau, atau giok.

Dia mengulurkan batu itu kepada saya, dan saya meraba per­muka­annya yang mulus. "Bangsa kami punya tradisi yang melarang menyimpan temuan pertama untuk diri sendiri," katanya. "Jadi saya memberikan ini kepada Anda." Sebuah gagasan terlintas di benak saya. Mahuika ahli mengukir permata hijau. Saya menyerahkan kembali batu itu kepadanya dan mengatakan, "Kalau Anda bisa melubangi pounamu ini, saya akan mengalungkannya di leher, untuk mengikat saya dengan tempat ini."

Te Wahipounamu, 'rumah giok'. Sejak 1990, tepi barat daya Selandia Baru ini dikenal sebagai salah satu situs Warisan Dunia berkat keempat taman nasional dan sistem konservasi lahannya yang saling berkaitan. Dari sekian banyak area alam liar di negeri saya, kemarilah saya paling kerap kembali, untuk menghirup udara gunungnya, mengarungi sungainya, menjelajahi hutannya, dan menyerap keberadaannya. Saya dan si pengukir giok tengah menyusuri Lembah Cascade, satu jam perjalanan dari ujung jalan pesisir di selatan Haast. Di atas bahu kami, Pegunungan Red Hills memancarkan pendar merah tua di bawah sinar matahari sore. Pounamu di sungai berasal dari perbukitan itu.

Orang Maori meyakini bahwa pounamu tidak ditemukan, tetapi menampakkan diri. Penampakannya, bagaimanapun, disarukan oleh fakta banyaknya batuan hijau yang bukan permata, atau yang oleh para ahli geologi disebut nefrit. Saya baru menyadari bahwa saya ahli menemukan kembaran tersebut—emas palsu di dunia giok.

"Bagaimana dengan yang ini, Jeff? Nefrit?"

"Bukan, leaverite," ujarnya, lalu melanjutkan, "leave 'er right there," menyuruh saya meletakkannya lagi.

Ketika Suku Maori masih men­jadi penguasa negeri ini, pounamu menjadi sumber daya alam paling mulia. Sebagian karena tidak terhitungnya waktu yang diperlu­kan untuk membentuknya menjadi perkakas atau ornamen, karena pounamu lebih keras daripada baja. Dalam salah satu tradisi, ketika seorang Maori meninggal, simpanan pounamu berharganya akan turut dikubur bersamanya, untuk kemudian digali kembali dan diwariskan kepada keturunannya.

Menangani harta seberharga itu saat ini—dalam bentuk mata pahat, anting-anting, gada—sama halnya dengan mencari penghubung, tidak hanya dengan pembuat dan pemiliknya, tetapi juga asal-usulnya. Di dunia Maori, benda-benda mengungkapkan asal muasal: tulang paus dengan paus, kayu dengan pohon, pounamu dengan sungai dan gunung.

Air dan es mengikis pounamu dari bongkahan batu asalnya; sungai menghanyutkannya ke laut. "Batu ini selalu bergerak," kata Mahuika. "Dalam legenda, kami menyebutnya ikan. Ia sedang berada dalam perjalanan, seperti kita."

Kami menyeberangi Sungai Cascade yang berkedalaman sepinggang, merentangkan kedua lengan seperti sayap, menyeimbangkan diri untuk melawan pusaran arus. Ketika itu musim semi, saat kawanan ikan muda membanjiri sungai-sungai di Te Wahipounamu dari laut, menuju hulu untuk tumbuh dewasa di keteduhan hutan. Menangkap ikan-ikan ini menjadi semacam agama di pesisir barat. Sejak matahari terbit hingga tenggelam, penduduk pantai menyisir mulut-mulut sungai dengan membawa jaring bergagang panjang, meraup ikan-ikan itu. Kemudian, di pondok mungil di tepi sungai, atau di atas api unggun, mentega akan dicairkan di wajan dan adonan daging ikan dan telur akan digoreng. Perkedel ikan muda, santapan para dewa.

Orang Maori menyebut ikan yang paling umum terlihat di sana inanga, dan mereka menggunakan kata yang sama untuk menyebut pounamu berwarna kelabu mutiara senada, kadang-kadang berbintik menyerupai mata, yang mirip ikan muda yang berenang di antara bebatuan. Istilah Maori untuk suatu hal kerap mengingatkan pada hal lain.

Sebutan mereka untuk Southern Alps—deretan puncak gunung mirip tulang belakang berduri yang membelah Te Wahipounamu—juga menjadi istilah untuk samudra yang tersapu ombak.

Kerumunan puncak gunung itulah yang menjadi penanda tempat ini. Berdiri meng­hadang terpaan angin barat dari garis lintang berjuluk roaring forties (empat puluhan berderu), gunung-gunung itu menarik kelembapan dari awan dan memandikan pesisisir dengan hujan. Saking basahnya, lumut pun tumbuh di aspal jalanan.