Meramal "342 Musim" Nusantara

By , Senin, 20 Oktober 2014 | 09:55 WIB

Indonesia adalah wujud karakteristik topografi yang unik. Kerak bumi tempat kita berdiri, masih bertumbukan menghasilkan pegunungan melampaui awan. Di sisi lain, kelembapan daerah berpaya serta area tandus berilalang, memberi rona di nusa berlingkung bahari ini.

Terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra, sejatinya Indonesia memiliki 342 zona musim (ZOM) dengan waktu awal musim hujan dan kemarau yang berbeda-beda. "Pembagian zona musim dilakukan berdasarkan pola distribusi curah hujan," papar Haris Syahbuddin, Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian. "Semakin banyak dan rapat sebaran stasiun, semakin detail data yang didapatkan. Penambahan stasiun serta kemampuan analisis bisa meningkatkan jumlah zona musim," ungkapnya.

Selain itu, 65 daerah non-ZOM juga memayungi bentang alam Indonesia. "Non-ZOM adalah daerah yang kondisi hujan dan kemaraunya tak jelas sepanjang musim. Jadi, sulit memprediksi kapan musim-musim itu dimulai," terang Haris. Salah satu ciri-ciri area non-ZOM adalah kawasan perawan, dengan hujan yang selalu mendera kanopi hutan.

Beberapa tahun terakhir ini, pergeseran musim turut memengaruhi awal musim hujan pada 342 zona, membebani orang-orang yang bergantung hidup pada cuaca. Samsudin, petani padi di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Cianjur, kerap bimbang menghadapi keadaan langit yang tak menentu. Sejak beberapa tahun belakangan, ia tak lagi bisa mengandalkan bulan sebagai patokan bercocok tanam seperti dulu: April hingga September adalah musim kemarau, sementara selebihnya, hujan pasti mendera.

Ia tahu bahwa kedatangan musim kemarau tak akan sama dengan tahun sebelumnya. Tetapi, ia juga tak tahu hingga kapan harus menunggu saat yang tepat untuk menanam padi. Ia khawatir, padinya terlalu banyak terendam air jika menanam pada waktu yang salah. "Di sini, justru air banyak menggenang saat hujan, dan itu sangat jelek untuk padi," ungkap Pepen Permana, penyuluh pendamping Samsudin.

Pada suatu pagi di pengujung Agustus silam, Haryono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, memberikan gambaran, "Jika dipandang sebagai suatu sistem, pertanian itu sangat kompleks. Apalagi saat dunia diganggu dengan perubahan iklim seperti sekarang. Anda bisa bayangkan, bagaimana susahnya seluruh petani di Indonesia jika ingin menanam dalam kondisi cuaca tak menentu seperti sekarang ini?"

Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional, ia membentuk tim untuk mengembangkan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu—KATAM. Diluncurkan sejak 2011, yang dapat diakses melalui internet, sistem ini memandu penyuluh dan petani hingga tingkat kecamatan untuk mengelola kegiatan budi daya tanaman pangan secara tepat.

Haryono dan timnya tak berhenti sampai di sana. Tahun ini, ada dua informasi baru dalam KATAM: Pemantauan sawah melalui CCTV di 48 kecamatan dari Lampung hingga Bali, serta teknologi penginderaan jarak jauh, yakni MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).

CCTV akan memotret perkembangan padi menggunakan sistem dasarian—jangka waktu per sepuluh hari, dan menampilkannya di laman KATAM. Sementara teknologi MODIS memanfaatkan satelit yang memotret Bumi dari jarak 10-15 kilometer, memantau perkembangan padi di lahan sawah irigasi.

"Selanjutnya, data-data ini akan disatukan dengan data prediksi curah hujan. Jadi kita bisa tahu apakah suatu daerah rawan kekeringan atau tidak," jelas Haris. Dari hasil inilah baru diketahui kebutuhan pupuk dan air pada masa tersebut. "Dengan demikian, distribusi sarana pertanian menjadi efektif," lanjutnya.

Hebatnya, petani hanya membutuhkan telepon genggam untuk mendapatkan informasi lengkap. Mereka berharap, cakupan KATAM bisa dipersempit menjadi ruang lingkup desa.Penyebaran informasi KATAM kepada para petani baru berjalan tiga tahun. Penyuluhan masih terus berjalan di seluruh daerah. Hingga kini, belum ada angka statistik yang bisa membuktikan keefektifan KATAM bagi petani. Namun, melalui para penyuluh, petani mengaku amat terbantu dengan informasi ini.

Bagi Samsudin, tahun-tahun penuh ke­bimbangan itu berlalu sudah. Kini, ia bisa me­nanam dan mengelola lahannya tanpa rasa waswas. Sudah seharusnya kita menyadari, perut kita juga tergantung dari kerja keras para petani, orang-orang yang berusaha mengelola Ibu Pertiwi yang memberi napas kepada lebih dari 250 juta manusia di atasnya. —Titania Febrianti

-

Titania Febrianti dan Yunaidi adalah staf majalah ini. Keduanya berkisah mengenai kontradiksi pangan organik pada edisi Oktober 2014.