Bagaimana Makanan Mempersatukan Kita?

By , Kamis, 20 November 2014 | 15:59 WIB

Berbagi makanan selalu menjadi bagian dari sejarah manusia. Dari Gua Qesem di dekat Tel Aviv, telah ada bukti mengenai perjamuan yang dipersiapkan di perapian berumur 300.000 tahun—yang tertua dari yang pernah ditemukan—tempat orang-orang berkumpul untuk makan bersama. Lalu, dari balik timbunan abu Vesuvius ditemukan sebongkah roti berbentuk lingkaran dengan tanda irisan, siap dibagi-bagikan.

Ungkapan “Membelah roti bersama”, yang setua Injil, menggambarkan kekuatan makanan dalam menempa hubungan, mengubur amarah, dan memicu gelak tawa.  Anak-anak merayakan ulang tahun pertama dengan gula-gula, dan keterkaitan makanan dengan cinta akan berlanjut seumur hidup—dan dalam beberapa sistem kepercayaan, hingga ke akhirat. Pada beberapa kebudayaan, makanan ditinggalkan di makam untuk memberi tahu almarhum bahwa mereka tidak dilupakan.

Bahkan di masa susah, dorongan untuk merayakan tetap ada. Pada 1902, dalam ekspedisi Discovery ke Antartika yang dipimpin oleh Robert Falcon Scott, para kru mempersiapkan sajian mewah untuk merayakan Midwinter Day, hari yang memiliki siang terpendek dan malam terpanjang dalam setahun. Bahan pangan melimpah dibawa ke kapal. Empat puluh lima ekor domba disembelih dan digantung di tali kapal, dibekukan oleh udara luar hingga waktu pesta tiba. Dinginnya udara, kegelapan, dan keterpencilan sejenak terlupakan. “Dengan makan malam seperti itu,” tulis Scott, “kami sepakat bahwa hidup di Antartika sepadan dengan risikonya.”