Dahulu, ahli kosmologi, ilmuwan yang mempelajari alam semesta, kerap dibilang “sering keliru tetapi tak pernah ragu.”
Sekarang mereka lebih jarang keliru, tetapi keraguan mereka malah menggunung.
Setelah puluhan tahun melakukan penelitian dengan teleskop, detektor cahaya, dan perangkat komputer baru yang lebih baik, kosmolog sekarang dapat menyatakan dengan cukup yakin bahwa alam semesta lahir 13 miliar 820 juta tahun yang lalu. Kemungkinan besar, awalnya berupa gelembung-ruang yang lebih kecil daripada atom. Untuk pertama kalinya, mereka berhasil memetakan radiasi-latar kosmis—cahaya yang terpancar ketika alam semesta baru berusia 378.000 tahun—dengan akurasi di atas seperseribu.
Tetapi, mereka juga menyimpulkan bahwa semua bintang dan galaksi yang mereka lihat di langit hanyalah lima persen dari alam semesta yang bisa diamati. Sebagian besar yang tidak terlihat terdiri atas 27 persen materi gelap dan 68 persen energi gelap. Keduanya masih merupakan misteri. Materi gelap dianggap berperan besar dalam pembuatan lembaran dan sulur kemilau galaksi yang membentuk struktur skala-besar alam semesta. Tetapi, belum ada yang tahu apa sebenarnya materi gelap itu. Energi gelap lebih misterius lagi.
Istilah itu, yang diciptakan untuk merujuk apa pun yang mempercepat laju penggelembungan alam semesta, disebut sebagai “label umum untuk apa pun yang tidak kita ketahui tentang sifat skala-besar alam semesta kita.”
Akibatnya, para kosmolog zaman sekarang seperti meraba dalam gelap, mirip yang dirasakan Thomas Jefferson pada 1804, ketika dia memerintahkan Lewis dan Clark untuk mencari mamut. Jefferson dan orang sezamannya tahu, bahwa Amerika Utara dari Sungai Mississippi hingga Samudra Pasifik itu luas dan penting, tetapi mereka hanya punya bayangan samar tentang apa saja isinya.
!break!Petunjuk pertama tentang keberadaan materi gelap yang ada di mana-mana ini muncul pada 1930-an dari astronom Swiss bernama Fritz Zwicky. Zwicky mengukur kecepatan galaksi di Gugus Coma, 321 juta tahun cahaya dari Bumi, yang mengorbit pusat gugus galaksi tersebut. Dia menghitung bahwa jika gugus itu hanya memiliki massa sebesar yang dapat dilihat, galaksi itu tentu telah lama lepas dari gugus tersebut. Karena Gugus Coma telah bertahan selama miliaran tahun, dia menduga “bahwa ada materi gelap di alam semesta dengan densitas yang jauh lebih besar daripada materi yang terlihat.” Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa galaksi tidak mungkin bisa terbentuk sejak awal, andai tidak ada gravitasi materi gelap yang mengumpulkan materi primordial ketika alam semesta masih berusia muda.
Materi gelap tidak mungkin hanya materi normal yang tidak kita lihat, karena jumlahnya tidak sebesar itu. Memang ada triliunan benda materi normal yang redup di alam semesta—di antaranya lubang hitam, bintang kerdil, awan gas dingin, dan planet pengembara yang terusir dari tempat kelahirannya—tetapi dalam skenario apa pun, jumlah massa semua benda itu tidak pernah lebih dari lima kali lipat massa benda terang. Oleh karena itu, para ilmuwan beranggapan bahwa materi gelap pasti tersusun dari bahan yang lebih eksotis. Para teoretikus yang menggeluti fisika kuantum supersimetri membayangkan berbagai macam materi tak teramatkan, satu atau lebih di antaranya mungkin adalah materi gelap.
Namun, hasil eksperimen yang baru-baru diperoleh di Large Hadron Collider CERN, dekat Jenewa, Swiss, mematahkan beberapa teori supersimetri. Daripada berspekulasi tentang identitas materi gelap yang pasti, kebanyakan ilmuwan yang mencarinya hanya mengatakan bahwa mereka sedang mencari WIMP (partikel masif berinteraksi lemah).
Bukti betapa lemahnya interaksi materi gelap, bukan hanya dengan materi normal melainkan juga dengan sesamanya, ditemukan tiga miliar tahun cahaya dari Bumi, di Gugus Bullet—yang sebenarnya adalah dua gugus galaksi yang sedang bertabrakan. Para astronom yang memetakan Bullet dengan bantuan Observatorium Sinar-X Chandra milik NASA menemukan gumpalan besar gas panas di pusatnya, yang mereka duga disebabkan oleh tabrakan awan materi normal. Tetapi, ketika para astronom memetakan medan gravitasi Bullet, mereka menemukan tambahan dua konsentrasi massa yang besar, satu pada setiap gugus asli, jauh dari pusat tabrakan. Mereka menyimpulkan bahwa meskipun rangka materi normal dari dua gugus itu bertabrakan dan menyatu sedahsyat tabrakan dua kereta amunisi, kargo materi gelapnya yang lebih berat melintasi prahara itu tanpa terlibat ataupun cedera.
Sikap acuh tak acuh dari materi gelap ini menyulitkan para fisikawan eksperimen untuk menemukannya. Detektor materi gelap yang beroperasi saat ini berteknologi demikian canggih, sehingga menyerupai telur hias Fabergé yang mewah.
Salah satunya, Spektrometer Magnetis Alfa senilai lebih dari dua puluh triliun rupiah, yang berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan mencari bukti partikel materi gelap yang bertabrakan di dekat pusat galaksi kita. Namun, sebagian besar detektor mencari interaksi antara partikel materi gelap dan materi normal di Bumi. Semua detektor tersebut terkubur jauh di bawah tanah, untuk meminimalkan gangguan dari partikel materi normal kecepatan tinggi yang datang dari angkasa. Sebagian terdiri atas sekumpulan kristal superdingin, atau tangki argon, atau xenon cair yang dibungkus detektor dan lapisan tipis bahan perisai, mulai dari polietilena hingga tembaga atau timbel.
Detektor Large Underground Xenon milik Amerika, yang paling sensitif di kelasnya, terletak di Lead, South Dakota. Detektor ini mulai beroperasi pada 2013, tetapi belum menghasilkan apa-apa; saat ini pencarian dilanjutkan dengan sensitivitas yang lebih tinggi. Pencarian lainnya menghasilkan petunjuk samar, tetapi tidak ada yang menemukan bukti definitif keberadaan materi gelap. Large Hadron Collider, yang dijadwalkan untuk kembali beroperasi pada 2015 setelah ditutup untuk pemeliharaan dan penyempurnaan, mungkin dapat mencapai tingkat energi yang cukup tinggi untuk membuat beberapa partikel materi gelap.
!break!
Sekalipun teka-teki materi gelap ini aneh, ini masih belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan fenomena misterius energi gelap, yang diusulkan astrofisikawan Michael Turner sebagai “misteri terbesar ilmu pengetahuan.”
Turner menciptakan istilah “energi gelap” setelah astronom mengumumkan pada 1998 bahwa laju pengembangan alam semesta tampaknya meningkat. Para astronom mencapai kesimpulan ini dengan mempelajari ledakan bintang kelas tertentu yang cukup terang untuk dilihat dari jauh, dan cukup konsisten kecerlangannya sehingga dapat digunakan untuk memetakan jarak galaksi yang jauh. Tarik-menarik gravitasi antara semua galaksi berfungsi sebagai rem dalam pengembangan alam semesta. Jadi, para astronom semula memperkirakan akan terjadi perlambatan. Namun, yang mereka temukan justru sebaliknya: Alam semesta berkembang semakin cepat, dan hal itu telah terjadi selama lima sampai enam juta tahun terakhir.
Para pengamat saat ini sibuk memetakan alam semesta dengan tingkat presisi yang belum pernah dicapai sebelumnya, mencari bukti kapan energi gelap muncul, dan apakah kekuatannya tetap konstan atau membesar. Mereka tertolong karena dapat mengintip ke masa lalu: Ketika peneliti mempelajari galaksi yang berjarak miliaran tahun cahaya dari Bumi, sebenarnya yang mereka lihat adalah keadaan galaksi itu pada miliaran tahun yang lalu. Namun demikian, mereka dibatasi oleh kemampuan teleskop dan detektor digital. Sekarang, seperti juga di masa lalu, untuk menulis sejarah kosmologi yang lebih akurat, diperlukan peralatan yang lebih baik.
Kebutuhan ini sedang dijawab oleh proyek-proyek seperti Baryon Oscillation Spectroscopic Survey, yang menggunakan teleskop 2,5 meter di Apache Point di New Mexico untuk memetakan jarak kosmis dengan akurasi satu persen, yang belum pernah dicapai sebelumnya. Sementara itu, Dark Energy Survey, yang menggunakan teleskop empat meter Blanco di Andes Cili, mengumpulkan data tentang 300 juta galaksi. Teleskop luar angkasa Euclid milik Badan Antariksa Eropa, yang dijadwalkan untuk diluncurkan pada 2020, dirancang untuk secara presisi mengukur dinamika kosmis selama sepuluh miliar tahun terakhir. Harapan besar juga ditujukan kepada Large Synoptic Survey Telescope (LSST) yang saat ini tengah dibangun di Cili tengah-utara. Instrumen foto-cepat sebesar 8,4 meter yang dilengkapi dengan kamera digital terbesar yang pernah ada ini dirancang untuk berulang kali memotret kedalaman alam semesta yang teramatkan.
Dengan alat tersebut, para kosmolog berharap dapat merekonstruksi sejarah kemunculan dan pengaruh energi gelap dengan mengukur laju pengembangan kosmis di masa lalu. Yang diperdebatkan tidak kurang dari masa depan alam semesta. Jika kita hidup di “alam semesta pelarian” yang semakin didominasi oleh energi gelap, sebagian besar galaksi akhirnya akan semakin jauh sampai hilang dari pandangan.
!break!Pada waktu yang lebih dekat, untuk memahami energi gelap mungkin diperlukan perubahan radikal dalam cara kita memahami ruang itu sendiri. Jarak antara planet dan bintang selama ini dianggap ruang hampa, meskipun Isaac Newton mengakui bahwa dia tidak dapat membayangkan bagaimana gravitasi bisa membuat Bumi terus berputar mengelilingi matahari jika ruang di antara keduanya benar-benar hampa. Pada abad ke-20, teori medan kuantum menjawabnya dengan menunjukkan bahwa ruang tidak pernah benar-benar hampa, tetapi terisi oleh medan kuantum. Ruang terlihat kosong saat energi medannya mendekati minimum. Akan tetapi, ketika tereksitasi, ruang terisi dengan energi dan materi yang terlihat. “Ruang hampa itu tidak hampa,” kata fisikawan Amerika Serikat John Archibald Wheeler pada suata kesempatan. “Ruang tersebut merupakan tempat terjadinya proses-proses fisika yang paling beragam dan menakjubkan.”
Energi gelap mungkin akan membuktikan bahwa dugaan Wheeler ternyata benar dalam skala terbesar. Untuk memahami bagaimana cara alam semesta mengembang—dan mengapa sekarang laju pengembangannya tampak bertambah cepat—fisikawan terutama bergantung pada teori relativitas umum Einstein. Teori itu mampu menjelaskan fenomena pada skala besar, tetapi gagal pada tingkat mikroskopis. Kegagalan yang kemudian dijelaskan dengan teori kuantum. Diduga, pada tingkat inilah tersimpan penyebab semakin cepatnya perkembangan alam semesta. Untuk menjelaskan energi gelap, mungkin diperlukan hal baru: teori kuantum ruang dan gravitasi.
Para ilmuwan harus menghadapi fakta memalukan bahwa mereka tidak tahu berapa banyak energi, baik gelap ataupun tidak, yang dimiliki suatu ruang. Ketika ahli teori kuantum mencoba menghitung jumlah energi yang terdapat di, katakanlah, satu liter ruang yang tampaknya kosong, mereka mendapatkan angka yang besar. Tetapi, astronom yang menghitung pada ruang yang sama berdasarkan pengamatan energi gelap mendapatkan angka yang kecil. Perbedaan antara kedua angka tersebut mengejutkan: Sepuluh pangkat 121, yaitu angka satu yang diikuti 121 angka nol. Ini merupakan perbedaan terbesar antara teori dan pengamatan dalam sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Jelas ada hal sangat penting yang belum benar-benar kita pahami.
Namun, justru teka-teki semacam itu yang dulu membuka pintu-pintu penemuan. Teori relativitas umum Einstein disusun sebagian untuk memecahkan perbedaan kecil antara prediksi dan pengamatan orbit planet Merkurius. Lalu, berapa banyak yang dapat kita pelajari dengan memecahkan kebingungan yang jauh lebih besar saat ini mengenai materi gelap dan energi gelap? Sebagai fisikawan, Niels Bohr pernah berkata, “Kalau tidak ada paradoks, tidak akan ada kemajuan.”
---
Timothy Ferris menulis tentang badai surya untuk majalah ini pada Juni 2012. Robert Clark memotret makam kuno Peru untuk edisi Juni 2014.