Menziarahi Camino de Santiago

By , Kamis, 16 April 2015 | 17:33 WIB

Pada musim panas 2012 dan 2013, saya berjalan kaki lebih dari 1.500 kilometer menyusuri Camino de Santiago. Jalan ini merupakan jalur ziarah Kristiani berusia berabad-abad yang melewati Prancis dan Spanyol. Setiap tahun selama beberapa tahun terakhir, antara 183.000 dan 273.000 orang dari seluruh dunia menapaki rute ini, yang melintasi kota, menyeberangi gunung, dan menyusuri jalan Romawi. Jalan ini berakhir di katedral di kota Santiago de Compostela, tempat disimpannya jasad yang diyakini merupakan jenazah Santo Yakobus, salah seorang dari Dua Belas Rasul Yesus Kristus.

Ketika melangkah di jalan ini, saya menjadi bagian dari tradisi kuno yang masih diikuti banyak orang di dunia modern. Meskipun berakar dalam tradisi Kristiani, ziarah ini telah berubah menjadi ritus spiritual yang tidak terbatas agama. Pada 2012, hanya sekitar 40 persen peziarahnya berjalan kaki atas nama iman Kristiani. Yang lain berjalan kaki karena sedang menempuh masa transisi atau memang memerlukan ruang yang terpisah dari rutinitas hidup. Dalam percakapan di sepanjang rute ini, saya sering mendengar orang berkata, saya datang ke Camino untuk menemukan diri atau memecahkan masalah. Saya juga mendengar banyak orang berkata, dengan yakin dan berharap, Camino akan menunjukkan jalan.

Ada semangat kebersamaan di Camino yang menghubungkan semua orang. Dalam beberapa hari saja, kita sudah berjalan, berbicara, dan bersantap bersama banyak peziarah lain. Saya segera sadar bahwa saya harus menghargai waktu kebersamaan dengan orang lain. Ketika seorang teman menjadi noktah di cakrawala, berjalan nun jauh di depan, saya dilanda kesedihan yang tidak asing lagi.

Ziarah saya berakhir di pantai barat Spanyol yang menghadap Samudra Atlantik. Saya berjalan ke mercusuar saat matahari terbenam dan mengamati orang-orang membakar sepatu bot saat siang.

Saya sering berkata, bahwa yang saya temukan di Camino adalah tempat tenang, mengingatkan bahwa kehidupan bisa menjadi seperti ini. Sebagian orang berpendapat, itu sama seperti menemukan Tuhan—sesuatu yang dapat menjadi jangkar saat menghadapi masa-masa sulit.