Pada 1998, Hans bertemu Anak Agung Made Rai Rama, lelaki sepuh keturunan Raja Bangli terakhir yang tinggal dalam puri. Saat Hans bertanya tentang Nura yang berkait dengan K’tut Tantri, Rama dengan sigap menjawab bahwa Nura adalah “Anak Agung Gede Oka”. Rama juga punya kenangan saat Tantri mengantar anak-anak Bali ke sekolah dengan mobilnya dan juga saat perempuan itu memberinya oleh-oleh sebuah batu permata. “Dia memperlihatkannya kepada saya,” ungkap Hans.
Hans juga berjumpa Anak Agung Gede Ngurah, saudara kandung pahlawan Kapten Anak Agung Gede Anom Muditha. Lelaki sepuh itu berkata kepadanya bahwa Oka bukanlah anak raja melainkan keponakan dari seorang raja sebelum raja terakhir, I Dewa Gede Taman yang menjabat pada 1925-1930. Ngurah juga menegaskan bahwa Oka tewas dibunuh orang Republik karena dia diduga mendukung NICA, mungkin pada 1945 atau 1946.
“Sungguh berbahaya menggunakan buku perempuan itu sebagai referensi sejarah,” Hans beramanat kepada saya. “Karena buku ini tak pelak lagi mencampurkan fakta dan fiksi.”
SELEPAS MENJADI TAWANAN JEPANG selama dua tahun lebih di Kediri dan Surabaya, Tantri bergabung dengan Bung Tomo dalam Radio Pemberontakan. Stasiun radio itu bermula dari sebuah rumah di Embong Mawar, Surabaya. Rentak irama drum dan melodi gitar ala Hawaii dalam Tiger Shark karya Peter Hodgkinson, menjadi lagu pembuka dan penutup siarannya.
Bung Tomo pun mengenang Tantri dalam pengantar buku Revolusi di Nusa Damai. “Saya tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengucapkan pidatonya di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemancar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo. “Dan kemudian dengan tersenyum menyambut uluran tangan saya sebagai tanda terima kasih kita semua.”
“Ketemu K’tut Tantri di Surabaya waktu itu di Embong Mawar. Awalnya saya tidak tahu siapa itu yang siaran bahasa Inggris,” ujar Sulistina Sutomo lirih di kediamannya, Cibubur. Janda mendiang Bung Tomo itu usianya 89 tahun, mungkin saksi terakhir soal kemunculan Tantri di Surabaya pada akhir 1945. “Dia dijuluki Tokyo Rose dari Indonesia—Sourabaya Sue.”
Sebelum pers luar negeri menjulukinya de-ngan “Sourabaya Sue”, sederet nama seperti Molly McTavish, Modjokerto Molly, dan Merdeka Moll telah menjadi tengaranya. Bahkan dia memiliki sederet nama pedengan: Tanchery, Daventry, Oestermann, Solo Sally, Djokja Josy, Vannine, Vannen, Vanessa, Manx, atau Manxy.
Dia berkata, Tantri telah mengabarkan siaran situasi Indonesia yang didengar hingga Australia. Konon, siaran itu berkontribusi dalam pemogokan buruh pelabuhan Australia yang menolak memuat pasokan ke kapal-kapal militer Belanda yang bersiap ke Indonesia.
Tantri memberikan tanda mata kepadanya sebuah kotak rias warna biru, dan juga koper bercorak mawar aneka warna. “Mas Tomo bilang, ‘Awas itu kopernya mata-mata lho,’” kata Sulistina dengan jenaka. “Terus koper itu saya cat putih. Saya takut dikira mata-mata!”
Perempuan Amerika itu terakhir singgah ke rumah Bung Tomo dan Sulistina di Jalan Besuki 27, Menteng, Jakarta Pusat pada 1980. Ketika itu Tantri sudah berusia 81 tahun, dan berencana pindah ke Australia. Katanya, ujar Sulistina, perempuan itu akan mendapatkan persekot dari bukunya yang akan difilmkan. “Kasihan hidupnya... Kasihan hidupnya,” ujarnya menerawang. “Dia tidak punya pegangan. Saya tidak tahu apakah dia mendapat pensiun atau tidak.”
Ratna Sulistami, 56 tahun, putri bungsunya menambahkan. Pada 1980, Ratna berkesempatan mengantarkan Tantri ke Hotel Mandarin Oriental. Kesehatannya tak lagi prima, kata Ratna. Sendi jemari tangannya mulai bengkok, mungkin osteoarthritis; kaki varises, dan ta-ngan gemetaran. “Dia terbata-bata dengan bahasa Ing-gris,” Ratna masih ingat satu pesannya, “‘Saya sampai dipenjara karena ingin membebaskan Indonesia. Kamu baca saja buku saya.’”