Tampaknya Tantri menyuratkan takdir di bagian akhir bukunya, “Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan.” Namun demikian, perempuan itu masih saja menggoreskan pena kenangannya. Tak hanya bagi warga Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta, tetapi juga Bandung.
“K’tut Tantri pernah makan pagi bersama di rumah saya di Bandung,” kata Husnaeni Husin, 64 tahun. Saya menyimak kisah lelaki itu di kantor konsultan arsitektur miliknya, bilangan Kayu Putih Selatan, Jakarta Timur.
Singkat cerita, Kolonel Raden Susatyo mengantar Tantri dengan jip Willys untuk bermalam di rumah Mohammad Husin—ayah Husnaeni—di Jalan Sulanjana nomor 7 Bandung, sekitar Juli atau Agustus 1960. Husnaeni mengatakan, kolonel itu memang kawan karib ayahnya. Dalam buku Tantri, Susatyo disebut sebagai intelijen dan ajudan Presiden Sukarno. Esoknya, Tantri bersama keluarga Susatyo dan keluarga Husin melancong ke Yogyakarta. Tampaknya untuk bernostalgia. Perempuan itu pernah tinggal di Hotel Merdeka—kini Hotel Inna Garuda—sepanjang 1946 hingga awal 1947, sebagai staf Kementerian Penerangan, ketika pemerintah Republik pindah ke Yogyakarta.
Kini, rumah Husnaeni telah dijual, nomornya pun berganti 15. Saya berkesempatan mengunjungi rumah yang pernah disinggahi Tantri untuk bermalam itu. Bangunannya masih berdiri, namun digunakan sebagai pangkas rambut dan salah satu stasiun radio swasta ternama di Bandung.
PIDATO BERBAHASA INGGRIS pertama Sukarno disiarkan dari corong radio Voice of Free Indonesia di Yogyakarta. K’tut Tantri menyatakan bahwa dialah yang menulis pidato itu, demikian kisah dalam buku autobiografi Tantri.
Ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta, Ali Sastroamidjojo menugaskan kepada Tantri untuk membuat pidato berbahasa Inggris untuk Presiden Sukarno. Awalnya, Tantri menolak lantaran tak punya pengalaman tulis-menulis soal pidato politik, apalagi setingkat kepala negara.
“Aku lantas memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat tulisan dan ucapan tokoh-tokoh demokrasi Amerika,” ungkap Tantri dalam buku autobiografinya. Dia berhasil merumuskan ide-ide dari pemikiran Thomas Paine, Jefferson, Abraham Lincoln, dan sederet negarawan Amerika Serikat lainnya.
Sukarno dengan mantap membaca pidato berbahasa Inggris karya Tantri lewat corong Voice of Free Indonesia. Gaya Sukarno dalam membaca itu tampaknya telah memberikan makna yang lebih dalam bagi siapa saja yang mendengarnya, demikian pendapat Tantri.
“Pidato radio itu sukses besar,” ungkapnya. “Aku sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan membaca naskahku.”
Hari itu pun Sukarno memanggil Tantri untuk datang ke Istana. Perempuan itu datang dengan busana kebaya dengan lengan berbalut merah-putih. Dia tercengang menyaksikan Sukarno yang tidak berseragam khaki atau setelan serba putih, melainkan bersarung dengan jas pendek dan mengenakan kopiah sebagai tutup kepalanya. “Kurasa selama ini belum ada orang kulit putih yang pernah melihatnya memakai sarung,” ungkap Tantri. “Kelihatannya tampan sekali!”
“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia—yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri,” tulis Tantri dalam bukunya. “Saya juga ingin menandaskan pada Belanda—dan sedikit banyak kepada Inggris—mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.”
Dalam bukunya, dia juga menyatakan terlibat beberapa ‘operasi rahasia’ untuk membantu perjuangan Indonesia. Penyelundupan senjata Surabaya-Bali pada awal masa Jepang, Operasi Perawat di Surabaya, menangkis kudeta terhadap Bung Karno di Yogyakarta, hingga Operasi Kucing-kucingan ke Singapura menembus blokade Belanda. Misi terakhirnya, menyelundupkan utusan Mesir ke Yogyakarta. Utusan itu mewakili Liga Arab yang menyampaikan dukungan atas kedaulatan Republik ini.