Hidup Setelah Mati

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:54 WIB

Setelah meletakkan kura-kura beku itu di atas meja, Dante mengatakan dia khawatir bahwa Lonesome George terlalu dikenal sehingga awetannya tidak akan terlihat sama di mata penggemarnya. Meng­awetkan hewan untuk mewakili suatu spesies, katanya, sangat berbeda dengan meng­awetkan makhluk yang dikenali sebagai individu.

Meskipun kura-kura itu lama tersimpan dalam lemari es, “Lonesome George terlihat dalam kondisi yang baik,” kata Dante, lega.

Lain pula cerita gorila Samson.

Samson, gorila dataran rendah gemuk seberat 296 kilogram dari Kamerun, terkenal karena sering memukul jendela Plexiglas di Kebun Binatang Milwaukee County, menakuti para pengunjung. Suatu hari pada 1981, di depan para penggemarnya, Samson roboh sambil memegang dadanya. Dokter hewan kebun binatang tidak bisa menyelamatkannya; dari autopsi diketahui bahwa dia sebelumnya telah mengalami lima serangan jantung.

Jasad Samson disimpan dalam lemari es kebun binatang selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya diserahkan ke Milwaukee Public Museum, petugas menemukan bahwa kulit gorila itu terlalu rusak untuk diawetkan. Samson tidak hanya mati, dia juga terbungkam.

Hal itu mengusik pegawai museum Wendy Christensen, yang belajar taksidermi ketika berusia 12. (Ya, di sekolah korespondensi North­western School of Taxidermy.) Christensen meng­usulkan untuk menghidupkan kembali Samson melalui varian taksidermi yang disebut “re-kreasi”—pembuatan hewan buatan yang tidak menggunakan hewan aslinya, atau bahkan hewan dengan spesies yang sama. Pada 2006, 25 tahun setelah kematian Samson, Christensen mulai menciptakan kembaran sintetis gorila itu dari nol.

!break!

Christensen mencetak wajah silikon dengan menggunakan topeng mayat Samson yang berbahan plester serta ribuan foto. Dia memesan replika kerangka gorila dan campuran bulu yak dengan rambut buatan. Untuk tangan Samson dia mengambil cetakan tangan gorila dari Kebun Binatang Philadelphia dan mereproduksinya dengan bahan silikon, sama persis sampai ke sidik jarinya. Berikutnya, dia menghiasi mata sintetisnya dengan bulu mata palsu.

Kemudian, selama setahun, Christensen bekerja sambil ditonton pengunjung museum, memasang bulu di leher dan wajah silikon Samson, sementara anak-anak bertanya dan orang tua berbagi kenangan indah melihat gorila ketika mereka masih muda.

Di kalangan ahli taksidermi, terjadi silang pendapat soal penggunaan bahan sintetis versus bahan hewani yang sebenarnya. Bovard bercerita bahwa pengunjung museum yang melihat hewan awetan sering bertanya “mana di antara hewan itu yang berasal dari makhluk hidup dan mana yang bukan, dan reaksi mereka berbeda terhadap keduanya.”

Namun, seorang juri Kejuaraan Dunia Taksidermi terpikir, jangan-jangan mudarat taksidermi saat ini sudah lebih besar daripada manfaatnya. Untuk mendapatkan hewan trofi berkualitas, katanya, “kita mengambil gen ter­baik dari rangkaian gen tersebut” sehingga berdampak buruk pada spesiesnya.

Ketika Christensen membawa Samson meng­ikuti kejuaraan itu, dia tidak hanya bersaing dengan hewan re-kreasi lainnya, tetapi juga dengan ahli-ahli taksidermi terbaik di dunia. Dia merebut tempat tertinggi dalam kategori re-kreasi. Dia juga dianugerahi hadiah Peserta Terbaik Pilihan Juri, mengalahkan para jagoan dunia yang membawa hewan awetan terbaiknya.

Dan dia melakukannya tanpa merusak selembar pun bulu gorila. 

---

Penulis Bryan Christy adalah direktur investigasi khusus majalah National Geographic dan menjadi Penjelajah Terbaik National Geographic 2014. “Dari kecil saya senang dengan fauna Kepulauan Galapagos—iguana laut, burung cikalang, dan terutama kura-kura,” katanya. “Menyaksikan Lonesome George dikeluarkan dari petinya di New Jersey dan dihidupkan kembali agar dapat dilihat dan diteliti oleh generasi yang akan datang, membuat hidup saya jadi lengkap.”