Laurence tubiana berpendapat demikian. Wanita anggun berusia 63 tahun ini bukan diplomat biasa. Dia “duta iklim” Prancis, yang bertugas mengoordinasikan proyek terbesar dalam sejarah. Selama satu setengah tahun terakhir, dia sibuk berkeliling dunia, bertemu dengan juru runding dari 195 negara, berusaha menyukseskan pembahasan iklim global di Paris Desember ini—titik balik dalam perjuangan melawan perubahan iklim. “Gagasan titik balik ini super penting,” kata Tubiana.
Setidaknya ada 20 alasan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa dia akan gagal dalam upayanya. Sejak 1992, ketika negara-negara di dunia bersepakat di Rio de Janeiro untuk mencegah “gangguan antropogen yang berbahaya terhadap sistem iklim”, sudah ada 20 kali pertemuan internasional yang tidak berdampak pada emisi karbon. Selama masa tersebut jumlah karbon yang kita lepaskan ke atmosfer hampir sama banyaknya dengan seabad sebelumnya. Tahun lalu dan dekade terakhir merupakan masa terpanas sejak dimulainya pencatatan suhu. Kemungkinan terjadinya gelombang panas yang terus meningkat suhunya sekarang lima kali lipat dibandingkan masa sebelumnya. Menurut laporan para ilmuwan tahun lalu, satu bagian besar lapisan es Antartika Barat diperkirakan akan runtuh—ini berarti permukaan laut di abad-abad mendatang akan naik 1,2 meter atau lebih. Kita sedang mengubah peta planet ini, terutama tempat hidup tumbuhan, hewan, dan manusia.
Namun, masih ada secercah harapan. Sebagian besar memang baru sebatas omongan. Tiongkok dan Amerika Serikat, dua penghasil emisi karbon terbesar, telah mengumumkan kesepakatan untuk mengurangi emisi. Enam perusahaan minyak Eropa menyatakan akan menerapkan pajak karbon. Satu pengelola dana pensiun raksasa Norwegia berjanji akan menghentikan investasi di industri batu bara. Dan sang paus menggunakan otoritas spiritualnya untuk mendorong pemecahan masalah ini.
Namun, harapan itu tidak hanya terbentuk oleh janji dan deklarasi. Pada 2014, emisi karbon global dari pembakaran bahan bakar fosil tidak meningkat, meskipun ekonomi global tumbuh. Kita harus melihat beberapa tahun ke depan untuk mengetahui apakah ini akan menjadi tren, tetapi baru pertama kali hal ini terjadi. Salah satu alasan tidak meningkatnya emisi adalah Tiongkok, untuk pertama kalinya dalam abad ini, membakar lebih sedikit batu bara daripada tahun sebelumnya. Dan salah satu sebabnya adalah pesatnya pertumbuhan produksi energi terbarukan—tenaga angin, surya, dan air—di Tiongkok, seperti halnya di banyak negara lain, karena biayanya semakin murah. Bahkan, Arab Saudi pun percaya kepada energi surya. “Dunia sekarang berubah,” kata Hans-Josef Fell, salah satu penyusun undang-undang yang memicu ledakan energi terbarukan di Jerman.
Kita sudah mengalami banyak perubahan lain. Dalam setengah abad terakhir kita menciptakan dunia yang manusianya rata-rata berumur dua dekade lebih panjang, dapat menyeberangi samudra dalam sehari dan menganggap hal itu biasa saja, dapat berkomunikasi secara langsung dan global dengan murah, dan menenteng perpustakaan di tangannya. Bahan bakar fosil membantu mewujudkan hal tersebut—tetapi pada paruh kedua abad ke-21, jika ingin menghindari bencana iklim, kita harus bisa maju tanpa bergantung padanya. Kalau ada yang berpendapat bahwa kita tidak bisa menuntaskan revolusi tersebut, dia tidak menyadari betapa besarnya perubahan dunia yang telah terjadi di tangan kita. Kalau ada yang berpendapat bahwa kita tidak akan berusaha menuntaskan revolusi itu, mungkin dia benar. Kita sedang menghadapi tantangan yang belum pernah dijumpai sebelumnya, yang hasilnya tidak mungkin diketahui sementara taruhannya sangat besar. Manusia sudah pernah mengalami berbagai transformasi global dan berhasil mengatasinya, tetapi untuk pertama kalinya kita berusaha mengendalikan perubahan itu, demi masa depan yang lebih cerah bagi seluruh planet ini.
Mendiang novelis E. L. Doctorow pernah menggambarkan proses penulisan sebagai berikut: “Seperti mengendarai mobil pada malam hari—kita hanya bisa melihat sejauh yang diterangi lampu, tetapi kita dapat menempuh seluruh perjalanan dengan cara ini.” Penanggulangan perubahan iklim membutuhkan improvisasi semacam itu. Kita tidak harus dapat melihat seluruh jalan menuju akhir yang bahagia—tapi kita harus yakin bahwa kita bisa mencapainya. —Robert Kunzig
Inilah tantangannya.
Bumi rata-rata menghangat 0,85 derajat Celsius sejak akhir abad ke-19. Sebagian besar pemanasan terjadi sejak 1960, periode yang tercakup dalam peta ini. Peta ini memperlihatkan variasi wilayah yang tidak terwakili oleh rata-rata global: Beberapa wilayah, sebagian besar di dekat Antartika, sebenarnya mendingin sejak 1960, sementara beberapa bagian Arktika menghangat hingga sembilan derajat Celsius. Siklus iklim alami menyebabkan pemanasan terjadi secara tidak merata dan teratur, tetapi tidak menyebabkan tren pemanasan itu sendiri, yang mengalahkan efek pendinginan akibat abu gunung berapi. Dalam setengah abad terakhir, pemanasan ini berbanding lurus dengan lonjakan emisi karbon dari dunia kita yang terindustrialisasi dengan cepat. Menemukan cara untuk menghentikan emisi tersebut—dan perubahan iklim—merupakan tantangan bagi setengah abad berikutnya.