Kami duduk dalam kegelapan, menunggu macan tutul di tepi jalan setapak di pinggir Taman Nasional Sanjay Gandhi di India, dunia hijau seluas 104 kilometer persegi di tengah luasnya metropolis Mumbai nan kelabu.
Gedung apartemen tinggi berjajar di seberangnya. Sekarang pukul 10 malam, dan dari jendela yang terbuka terdengar suara orang mencuci piring dan meninabobokan anak. Musik puja mengalun dari sebuah kuil di kejauhan. Tawa remaja, deru sepeda motor. Laksana mesin raksasa, 21 juta orang mengeluarkan bunyi. Di suatu tempat di semak sekitar kami, macan tutul memasang telinga, menunggu kebisingan itu mereda. Mengawasi.
Ada sekitar 35 macan tutul yang hidup di dalam taman ini dan di sekitarnya. Berarti luas habitatnya rata-rata empat kilometer persegi masing-masing, untuk hewan yang dapat dengan mudah menjelajah hingga 15 kilometer sehari. Macan tutul itu juga dikepung lingkungan perkotaan paling padat di dunia, dihuni sekitar 30.000 jiwa per kilometer persegi.
Namun, macan tutul berkembang biak di sini. Sebagian makanannya berasal dari rusa tutul dan hewan liar lain di dalam taman. Namun, banyak juga macan tutul yang melintasi batas tak berpagar antara taman dan permukiman. Sementara kota tertidur, hewan ini menyelinap ke jalan dan gang, tempat dia memangsa anjing, kucing, babi, tikus, ayam, dan kambing. Macan tutul juga memangsa manusia, meskipun jarang.
Hewan ini takut pada manusia, dan hal itu beralasan. Manusia adalah makhluk yang mudah berubah pendirian, kadang mengagumi, menyelamatkan, bahkan memuja macan tutul. Namun, manusia sering pula menzaliminya—menembak, memerangkap, meracuni, menggantung. Pegiat konservasi menyebut macan tutul sebagai kucing besar paling teraniaya di dunia.
Padahal macan tutul merupakan bayangan kita, hewan ini tidak ubahnya seperti teman kita. Macan tutul tidak punya pilihan. Dua pusat populasi macan tutul, Afrika sub-Sahara dan anak benua India, merupakan daerah berpopulasi terpadat di dunia. Diperkirakan ekspansi manusia menyebabkan macan tutul kehilangan 66 persen area jelajahnya di Afrika dan 85 persen di Eurasia. Sebagian besar terjadi selama lima dekade terakhir. Di banyak daerah, satu-satunya tempat untuk bertahan hidup adalah berdampingan dengan manusia.
Tidak seperti kebanyakan kucing besar lainnya, macan tutul mampu beradaptasi, hingga batas tertentu. Contohnya, dia dapat memangsa kumbang tahi dan landak hingga eland seberat 900 kilogram. Hewan ini dapat hidup dalam suhu 43 derajat Celsius di Gurun Kalahari atau minus 25 derajat di Rusia. Satwa ini bisa berkembang biak di rawa bakau tepi laut di pesisir India atau di ketinggian 5.200 meter di Himalaya. Dengan kemampuan adaptasi itu, serta ditunjang keahlian bersembunyinya, macan tutul sepenuhnya mampu hidup bersama manusia, seperti di Mumbai. Pertanyaannya adalah mampukah manusia belajar untuk hidup bersama dengan macan tutul.
Manusia dan macan tutul memiliki hubungan yang panjang dan rumit, dan seperti banyak hal lainnya, hal itu dimulai di Afrika. Macan tutul merupakan spesies baru: Hewan ini muncul dalam bentuk modernnya 500.000 tahun yang lalu. Sebagaimana halnya manusia, hewan ini menyebar dan mengisi sebagian besar dunia, dari ujung selatan Afrika hingga Timur Jauh Rusia, dari Senegal di barat hingga Indonesia di tenggara. Spesies ini mungkin mengikuti manusia purba, untuk memanfaatkan kemampuan kita mengusir singa dan pesaing lainnya atau, di kemudian hari, mencuri ternak kita. Mungkin pula manusia mengikuti macan tutul yang bermigrasi untuk mendapatkan sisa buruannya. (Hasil buruan hewan ini lebih mudah dicuri daripada buruan karnivora lain, karena dia biasa menyembunyikan hasil buruannya di semak atau di atas pohon, lalu pergi beristirahat, kemudian kembali untuk makan.)
Perilaku predator macan tutul tercetak dalam genom sesama primata: Monyet yang belum pernah melihat macan tutul sekali pun langsung menunjukkan perhatian dan kewaspadaan saat melihatnya. Demikian pula manusia, dengan campuran rasa takut dan penasaran.
Di Provinsi Limpopo Afrika Selatan saya mengunjungi seorang peternak sapi. Di mejanya terletak alkitab versi Raja James yang penuh coretan stabilo, serta tengkorak macan tutul yang dipajang di ujung meja. Di tengkorak itu terdapat lubang kecil bekas peluru.
“Kami sangat menyukai hewan ini,” dia mulai bicara. “Hewan ini sungguh cantik! Namun, sulit hidup bersama dengannya. Ada banyak mangsa alaminya—warthog, babun, babi hutan.” Namun, macan tutul malah memangsa pedetnya.
Dia membuka buku silsilah tempat ia mencatat kelahiran dan kematian sapi brahmannya, jenis sapi mahal, dan mulai menyebutkan pembunuhan yang terjadi—sekitar satu setiap enam minggu selama 18 bulan sebelumnya. Peternak itu memperkirakan kerugiannya untuk setiap pedet hampir 30 juta rupiah. “Kami memiliki pencari jejak yang amat berpengalaman, dan menurut mereka macan tutul itu betina muda atau jantan tua. Biasanya macan tutul datang kembali dua hari kemudian.”
Penggunaan pencari jejak—serta tengkorak yang ada di atas mejanya—menyiratkan bahwa macan tutul itu akhirnya tewas terkena peluru. Namun, peternak itu hanya berucap, “Kami hidup bersama macan tutul, jadi ada beberapa hal yang sebaiknya tak dibahas secara terbuka, karena jika melakukan sesuatu pada hewan ini, kami bisa ditangkap dan masuk penjara.” (Menurut hukum Afrika Selatan, kejahatan ini bisa dihukum dengan penjara dan denda, tetapi biasanya ringan.) Orang lain membunuh “ratusan setiap tahun”, katanya. “Hewan ini ditembak, diperangkap ke dalam lubang, disiram dengan bensin dan dibakar, beres.”