Sebagian kulit macan tutul juga dijual untuk memenuhi kebutuhan peribadatan pada Tuhan.
Pada hari minggu yang cerah di bulan Juli, di provinsi timur KwaZulu-Natal, ribuan jemaat berziarah tanpa alas kaki ke puncak bukit keramat, diiringi tiupan terompet dan dentum tambur. Para gadis berbaris telanjang dada, hanya mengenakan kalung manik-manik. Perempuan yang telah bersuami, berpakaian hitam, mengangkat payung hitamnya seiring bunyi terompet. Namun, kaum lelakilah yang berpenampilan paling menarik. Sekitar 1.200 orang berjalan dengan kulit macan tutul disampirkan di bahu, melingkari kening, otot biseps, pinggang, dan pergelangan kaki.
Di lapangan rumput kaum lelaki mulai menari bersama-sama seiring musik. Bagi Gereja Baptis Nazareth (atau “Shembe”), kelompok keagamaan Kristen berusia seabad yang berdasarkan tradisi Zulu, tarian merupakan bentuk ibadah dan meditasi. Kostum juga penting. Di masa lalu, bangsawan Zulu mengenakan kulit macan tutul untuk melambangkan kekuasaan dan memukau rakyatnya. Jemaat Shembe—akuntan, pengacara, birokrat, dan pedagang—mengatakan bahwa kulit macan tutul mendekatkan mereka kepada Tuhan dan nenek moyang.
Sebaliknya, pelestari macan terperanjat ketika mengetahui festival ini beberapa tahun lalu. Salah satunya menyebut peristiwa ini “pameran terbesar barang terlarang dari margasatwa langka di bumi”. Banyaknya kulit itu saja sudah cukup menampakkan keburukan di negara dengan populasi macan tutul yang menyusut, diperkirakan kurang dari 7.000 ekor. Sementara kulit itu juga perlu diganti secara berkala, setiap lima atau enam tahun, karena menjadi rapuh dan kisut setelah digunakan. Seiring bertambahnya jemaat gereja yang menghadiri beberapa acara setiap tahun, kepunahan spesies ini akan menjadi satu-satunya batas bagi permintaan kulitnya.
Bagi peneliti macan tutul Tristan Dickerson dari kelompok konservasi Panthera, satu hal yang menggembirakan pada ziarah yang pertama kali dikunjunginya adalah adanya jemaat yang mengenakan kulit macan tutul palsu, biasanya kulit impala yang dicat tutul secara serampangan. Ini memberinya ide untuk membuat kulit imitasi yang lebih baik. Dia mengembangkan desain menggunakan dasar vinil dan lapisan kain berbulu, dengan warna yang serupa dengan kulit macan tutul asli.
Pemimpin Shembe mendukung rencana tersebut, dan kini sanggar lokal membuat kulit imitasi dengan merek “Furs for Life”. Panthera telah mendistribusikan 9.000 kulit secara gratis kepada jemaat gereja dan nyaris tidak dapat memenuhi permintaan.
Pada hari Minggu saat saya berkunjung, hanya ada satu kulit asli yang dijual secara terbuka. Harganya sekitar 5,2 juta rupiah untuk jubah dari kulit bagian depan macan tutul, dan 5,7 juta rupiah untuk kulit punggungnya, cukup mahal untuk ukuran negara dengan pendapatan per kapita kurang dari 176 juta rupiah. Ada yang mengeluh bahwa kulit imitasi adalah cara orang kulit putih merusak tradisi Zulu. Orang yang lain menceletuk bahwa kulit palsu dari impala atau binatang lain pasti lebih diterima nenek moyang daripada vinil. Kendati demikian, sebagian besar tampaknya ingin mendapatkan kulit macan tutul imitasi. Dickerson menghitung bahwa 30 sampai 40 persen kulit macan tutul di pertemuan Shembe kini adalah kulit imitasi buatan Panthera naik dari lima, menjadi 10 persen dua tahun lalu. Itu belum tentu merupakan bukti cinta, atau bahkan toleransi, terhadap macan tutul. Namun, setidaknya berkurang satu alasan untuk membunuhnya.
India mungkin merupakan ujian sebenarnya bagi kemampuan bertahan hidup di dalam dunia yang padat. Selain itu, mungkin menjadi model untuk kondisi ini—karena macan tutul hidup di sana dalam jumlah yang besar. Mereka ada di luar kawasan lindung, dan sangat dekat dengan permukiman. Toleransi terhadap macan tutul umumnya tinggi.
Serangan terhadap manusia relatif jarang terjadi. Di India jauh lebih mudah mati akibat peradaban daripada akibat margasatwa: Di negara itu, setiap hari 381 orang tewas akibat kecelakaan jalan raya, 80 lebih di rel kereta, dan 24 mati tersetrum. Namun, pembunuhan oleh macan tutul selalu menjadi berita utama, karena jarang terjadi dan juga karena menyentuh sesuatu yang primitif dalam jiwa manusia.
Menjelang siang hari pada suatu Sabtu bulan Mei, di pedesaan Junnar, 150 kilometer di timur Mumbai, sebuah mobil dinas pemerintah berhenti di rumah pertanian kecil. Pertemuan ini menyangkut kejadian tragis, tetapi semua pihak berlaku sopan. Di beranda depan yang besar, berdinding beton setinggi pinggang dan beratap seng, masyarakat menunggu petugas dari departemen kehutanan.
Enam hari sebelumnya, sekitar pukul 22.30 Minggu malam, anak berusia dua tahun bernama Sai Mandlik berlutut di bangku di beranda ini dan bermain mobil-mobilan di atas tembok. Neneknya bersantai di sofa di sampingnya. Di balik rumput setinggi 20 atau 30 meter dari situ, macan tutul melihat sesuatu: ada kepala yang bergerak maju mundur, tidak lebih besar daripada beruk yang menjadi salah satu mangsa alaminya. Dia mulai mengendap-endap. Jika beruntung, anak itu tidak pernah melihat macan tutul yang menyambarnya dari atas dinding dan membawanya pergi melintasi ladang. Neneknya menjerit. Seluruh keluarganya berhamburan keluar. Terlambat.
Sekarang tragedi itu tinggal menjadi ritual. Para perempuan duduk diam di lantai di ujung beranda. Pejabat lokal, beberapa orang tua, duduk di tengah beranda, dan di ujung lainnya, sang ayah duduk di tempat anaknya disergap macan, sementara karib kerabat dan handai tolannya duduk mengitarinya. Pejabat kehutanan memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa uang santunan tersebut, sekitar 167 juta rupiah, tidak dimaksudkan sebagai ganti rugi tetapi merupakan tanda bela sungkawa dari pemerintah, yang bertanggung jawab atas macan tutul.