Listrik untuk Rakyat

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Prashant Mandal menyalakan lampu LED sebesar permen batangan di dalam gubuk yang dihuninya bersama istri dan keempat anaknya. Serta-merta cahaya kuning kenari dan biru laut—pantulan dari terpal plastik yang berfungsi sebagai atap dan dinding keluarga itu—mengisi ruangan penuh sesak tempat mereka tidur. Mandal menunjuk benda-benda miliknya dengan jari panjangnya: lembaran yang dirobek dari kalender Hindu lama, satu set piring tipis, peti kayu yang difungsikan sebagai kursi. Dia mematikan unit surya yang mengalirkan daya ke lampu dan membongkar masing-masing bagiannya. Kemudian, dia membawanya ke sebuah tenda, tempatnya bekerja sebagai chai wallah, penjual teh susu manis di Madhotanda, sebuah kota hutan di perbatasan utara India.

“Kehidupan saya susah, tapi saya punya pikiran untuk membantu saya menjalaninya,” kata Mandal. “Dan lampu tenaga surya ini membantu saya untuk tetap berjualan pada malam hari.”

Mandal mendirikan gubuknya secara ilegal di lahan umum di pinggiran suaka margasatwa harimau. Dia hanyalah satu roda gigi kecil di dalam mesin ekonomi baru yang melibatkan ratusan perusahaan yang agresif dalam menjual unit-unit pembangkit tenaga surya berskala kecil. Konsumen mereka jauh dari jangkauan fasilitas umum di negara sedang berkembang.

Sekitar 1,1 miliar manusia di dunia hidup tanpa akses listrik. Sekitar seperempatnya berada di India, tempat orang-orang seperti Mandal terpaksa bergantung pada minyak tanah yang riskan dan baterai yang berisiko membocorkan cairan asam.

Unit surya Mandel, yang mengalirkan listrik ke dua lampu LED dan sebuah kipas angin, yang mendapatkan energi dari panel surya berkeku-atan 40 watt. Matahari menyinari panel, me-nyalurkan energi ke pembangkit listrik kecil berwarna oranye selama sekitar sepuluh jam. Mandal mencicil alat itu dari Simpa Networks. Simpa menawarkan rencana cicilan yang sesuai bagi anggaran para konsumen berpendapatan rendah. Kendati begitu, biaya sekitar lima ribu rupiah per hari merupakan pengeluaran besar bagi Mandal, yang menopang keluarganya de-ngan anggaran setipis pisau cukur, yaitu kurang dari tiga puluh ribu rupiah per hari. Uang diperlukan untuk makan, selain membeli buku-buku pelajaran, obat-obatan, dan teh. Anaknya jatuh sakit tahun lalu. Dan, tagihan rumah sakit menyebabkan keluarganya terbelit utang sebesar lebih dari 56 juta rupiah.

Namun menurut Mandal, menghabiskan 20 persen pendapatannya untuk mencicil jasa Simpa lebih baik daripada menghabiskan sebagian besar kehidupannya dalam kegelapan. “Sebelumnya saya juga menghabiskan sebanyak itu untuk mengisi ulang baterai,” katanya. “Saya harus berjalan kaki sekitar satu kilometer bolak-balik melewati jalan raya untuk mengisi ulang baterai. Sekali waktu, cairan baterai pernah tumpah dan membakar kain celana saya sampai tembus ke kulit—semua itu demi mendapatkan listrik.”

Perjuangan Mandal juga terjadi di desa-desa di Myanmar dan Afrika, tempat perusahaan-perusahaan swasta menjual unit dan panel surya dan membangun lahan pemanen energi matahari. International Energy Agency memperkirakan terdapat 621 juta jiwa di Afrika Sub-Sahara yang belum terjangkau oleh listrik. Akibat kekurangan jaringan tiang listrik di India, hanya 37 persen dari hampir 200 juta penduduk di daerah asal Mandal di negara bagian Uttar Pradesh yang memanfaatkan listrik sebagai sumber cahaya utama mereka, menurut data sensus 2011. Simpa memperkirakan bahwa 20 juta rumah tangga di sana hanya mengandalkan subsidi minyak tanah dari pemerintah. Di kota-kota peternakan kecil, baterai telepon seluler diisi menggunakan baterai traktor; ratusan orang tewas akibat terpaan hawa panas setiap musim panas, ketika suhu melonjak sampai 46 derajat Celcius; dan jelaga hitam yang dihasilkan oleh minyak tanah bisa melukai paru-paru manusia. Para tetangga Mandal mengungkapkan bahwa listrik hanya menyala selama dua hingga tiga jam sehari, tanpa peringatan dari pemerintah mengenai kapan pemadaman listrik akan dimulai atau diakhiri.

!break!

CEO Simpa, Paul Needham, yang pernah bekerja di bagian periklanan Microsoft, menjalani kehidupan yang jauh lebih mewah di India daripada yang bisa dibayangkan oleh Mandal. Air senantiasa mengalir di rumahnya, sementara aliran listrik dan Wi-Fi bisa dibilang lancar. Lahir di Vancouver, Canada, Needham pindah ke India pada 2012. Dia berharap dapat membantu menjembatani jurang antara orang-orang seperti dirinya dan Mandal. “Dalam banyak hal masyarakat India terpecah belah, karena setelah mengalami perkembangan pesat selama berpuluh-puluh tahun, wilayah pedesaan seperti ini masih jauh tertinggal dibandingkan kota-kota besar,” katanya. “Para konsumen kami sudah tidak sabar menunggu pembangunan pembangkit listrik. Mereka membutuhkan listrik sekarang juga.”

Needham menjelaskan bahwa dia mendapatkan gagasan untuk perusahaannya dalam kunjungan bersama para anggota organisasi pembela hak asasi perempuan di Tanzania pada 2010. Dia melihat orang-orang rela membayar tetangga mereka untuk mengisi ulang baterai telepon seluler mereka menggunakan panel surya yang dimilikinya. “Saya menyadari bahwa ini layak diusung sebagai model bisnis,” ujarnya. “Tenaga surya bisa dijual.”

Di pasar pedesaan India, pada pedagang telah bertahun-tahun meraup keuntungan dari tenaga surya sebelum perusahaan semacam Simpa mulai menawarkan jasa kepada konsumen seperti Mandal. Di kios-kios sebesar lemari, mereka memamerkan unit-unit surya dengan harga terjangkau. Unit-unit surya ini, yang diberi merek palsu seperti Rolex, Gucci, dan Mercedes, dihargai 40 hingga 50 ribu rupiah. Yang menjadi masalah dari model ini, menurut Needham dan tokoh-tokoh lainnya dalam industri jasa tenaga surya, adalah buatannya yang buruk dan kekerapannya gagal.

Julian Marshall, profesor teknik lingkungan di University of Minnesota mengungkapkan bahwa industri jasa tenaga surya berpotensi besar untuk bertahan dan bisa memperbaiki kehidupan penduduk negara sedang berkembang. Di India, asap lentera-lentera minyak tanah, ditambah oleh jelaga yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik bertenaga batu bara, memicu serangan jantung dan kerusakan paru-paru pada banyak orang. Marshall memuji sekitar enam perusahaan tenaga surya, termasuk Simpa, yang telah melakukan pendekatan untuk menjual jasa mereka di wilayah perdesaan India. “Para konsumen mengambil keputusan untuk membeli jasa tenaga surya utamanya atas alasan keuangan pribadi,” ujarnya. “Namun ini juga memberikan keuntungan kesehatan dan lingkungan bagi masyarakat.”

Peluang untuk melarikan diri dari panas menyengat di India barangkali menjadi dorongan terkuat untuk mencicil sistem surya. Shiv Kumar, buruh berusia 20 tahun di Madhotanda, memperoleh penghasilan kurang dari 35 ribu rupiah per hari kerja dari mengumpulkan jerami untuk para petani.  “Lampu minyak tanah bercahaya redup dan kuning, membuat saya merasa depresi,” kata Kumar, berdiri diterpa angin dari kipas anginnya. “Namun ini adalah kipas angin terbaik yang pernah saya lihat.”

Kembali ke Madhotanda, di dalam tenda tempatnya menjual teh, Mandal merangkai kembali unit tenaga suryanya dan menggantungkan lampu. Di dalam ruangan kosong di tengah panas yang menyiksa siang itu, dia mengaduk teh di kuali logam, diterangi oleh api dari kayu bakar. Beberapa orang pelanggan akan datang saat senja, ketika udara telah terasa lebih sejuk.

Mandal berharap dirinya bisa mencicil unit tenaga surya yang kedua agar anak-anaknya bisa belajar dengan lebih tenang. Akan tetapi, untuk saat ini prioritas Mandal adalah memajukan usahanya, tujuan yang diyakininya dapat dicapai dengan bantuan listrik tenaga surya.

“Ketika pelanggan melihat cahaya,” katanya, “mereka akan datang.”