Bulai nan Rentan

By , Jumat, 23 Juni 2017 | 00:06 WIB

Di bawah langit putih, seorang anak lelaki pucat berseragam biru dan merah dengan malu-malu menganggukkan kepalanya. Air mata menetes di pipinya. Ia menceritakan kembali kisahnya yang mengerikan.

Di bawah pohon, ayahnya, yang berkunjung untuk pertama kalinya dalam waktu dua tahun, mengeluarkan sapu tangan. Pria itu merangkul kepala anaknya dan mengusap mata anak itu.

Emmanuel Festo, yang berusia 15 tahun, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menjalani kehilangan yang ia alami saat berusia enam tahun. Empat pria berparang membacok sebagian besar lengan kirinya, hampir seluruh jemari tangan kanan, sebagian rahang, dan empat gigi seri. Mereka berniat untuk menjual bagian-bagian tersebut. Emma, nama panggilannya, kini adalah siswa terbaik di sekolah asrama swasta.

Emma lahir dengan albinisme atau kebulaian, sifat resesif yang ia warisi dari orang tuanya yang berkulit gelap. Kulitnya sendiri putih bak gading, rambut cepaknya berwarna jingga pucat, penglihatannya lemah. Orang-orang seperti dia telah lama ditakuti dan dicemooh di Afrika sub-Sahara, bahkan oleh keluarganya sendiri. Kini, mereka diserang. Beberapa dukun obat menyatakan, jika bagian-bagian tubuh para penyandang bulai ini jika dibuat menjadi azimat, bisa mengundang kekayaan atau kesuksesan.

Catatan detail yang mengerikan disimpan oleh Under the Same Sun, organisasi nirlaba yang bekerja untuk mengakhiri diskriminasi terhadap para penyandang kebulaian. Sejak 1990-an, di 27 negara Afrika, setidaknya 190 orang telah dibunuh dan 300 orang diserang, kebanyakan sejak 2008. Pusat dari gelombang kriminal ini, termasuk pencurian dalam kuburan, adalah Tanzania.

Hampir satu dekade silam, saat serangan-serangan ini untuk pertama kalinya mendapat perhatian luas, para pejabat Tanzania mengumpulkan banyak anak dengan kebulaian dan, demi keselamatan mereka, mengirim mereka ke sekolah belum berkembang yang ditujukan untuk tuna netra dan anak-anak difabel. Banyak dari mereka yang hidup dalam kondisi yang kotor. Hingga 2012, Emma berbagi tempat tidur bertingkat dengan tiga anak lelaki di salah satu pusat pemerintahan ini.

Emma bercerita bahwa ia mencintai sekolah barunya di dekat Mwanza. Di sana, ia memiliki tempat tidur sendiri. Saat saya bertanya kepadanya tentang tantangan hari ini, ia membuat pengakuan sederhana yang memilukan: “Saat pergi ke toilet. Teman saya membantu, namun kadang kala ia tak memberi saya tisu toilet, atau hanya sepotong kecil, dan itu cukup bagi saya.”

Delapan ratus kilometer jauhnya di Dar es Salaam, kota terbesar Tanzania, Mariamu Staford mengerti apa yang dihadapi oleh Emma. Ia kehilangan kedua tangannya pada usia 25 tahun, namun pada usia 33 ia mengelola toko kecil yang menjual air dan minuman bersoda. Senyum wanita ini memenuhi wajahnya yang bulat, dan ia bersinar dalam gaun hijau mengilap. Lengan bajunya menggantung di kedua sisi tubuhnya.

Dua dari para penyerangnya dibebaskan, dan satu meninggal sebelum diadili. Saat saya bertanya mengenai penyerang ke empat—seorang tetangga—wanita ini menutup matanya dan mengernyit. “Mereka membebaskannya!” teriaknya. Dia kembali ke desa.” Karena penglihatan wanita ini lemah, ia menambahkan, “hakim mengatakan saya tidak bisa mengenalinya. Namun saya bisa mengenalinya secara mudah.”

Staford bergantung pada pendamping muda yang memberi uang kembalian pada pelanggan, dan perawat purnawaktu yang memasak dan memberinya makan. Namun di sisi lain, ia mandiri, membaca Alkitabnya menggunakan lidah dan dagu untuk membalik halaman.

Emma dan Staford, layaknya orang lain yang memiliki kebulaian, memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali, melanin, atau pigmen, di kulit, rambut, dan mata mereka. Mereka rentan terhadap kerusakan akibat sinar matahari yang bisa menyebabkan kanker. Tantangan kedua orang ini serupa dengan mereka yang lahir dengan albinime di seluruh dunia—ejekan, penglihatan lemah, dan kepekaan terhadap sinar matahari. Namun, mereka juga hidup di wilayah tempat kepercayaan terhadap roh dan mantra adalah hal biasa, pendidikan tak merata, kemiskinan merajalela, dan kebulaian mengalami kesalahpahaman meluas. Di masa lalu, mereka yang lahir dengan kebulaian sering dibunuh saat lahir, atau dikubur hidup-hidup dalam ritual adat.

Meskipun keluarga dengan kebulaian paling banyak tercatat tinggal di India—tiga generasi, tak terkecuali—Tanzania memiliki kebulaian lebih luas lagi dibandingkan dengan negara lainnya. Sekitar satu dari 1.400 orang di sana dilahirkan dengan kulit pucat, dan sekitar satu dari 17 adalah pembawa gen resesif. Kejadian ini sangat bervariasi di seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika Utara, angkanya hanya satu dalam 20.000. Di Kepulauan San Blas di lepas pantai Karibia di Panama, angkanya meningkat menjadi satu dalam 70. Di sana, ujar penduduk setempat, penduduk Panama yang berkulit gelap dan terang hidup berdampingan tanpa masalah.

Sekolah Emma yang dilindungi dan perawat yang didanai oleh Under the Same Sun didirikan oleh seorang pengusaha kaya Peter Ash. Ash adalah penyokong terpenting bagi orang yang menyandang albinisme. Ia membujuk PBB untuk menjadikan 13 Juni sebagai Hari Peduli Albinisme Internasional dan membujuk agar PBB menunjuk ahli, agar melakukan perjalanan ke Malawi dan Mozambik tahun silam, seiring penyerangan yang semakin meningkat di sana.

Hampir seluruh uang badan nirlaba tersebut dialirkan dari komplek berpagar dengan penjagaan, di Dar es Salaam. Under the Same Sun mengeluarkan dana untuk mendidik sekitar 320 anak-anak untuk bisa bekerja. Badan ini berusaha untuk mengubah pandangan mengenai—dan masa depan—orang dengan kebulaian di Afrika sub-Sahara, tempat mereka dianggap sebagai orang yang terkutuk serta beban. Ash duduk di tanah di bawah kerindangan di sekolah lain, dengan 40 murid albino dari balita hingga remaja. Berbadan besar, gemuk, dan percaya diri, ia bersorak saat anak-anak tersebut meneriakkan pekerjaan impian mereka: “Pengacara!” “Perawat!” “Presiden!” Ia menyebut mereka “duta untuk perubahan.” Setelahnya, anak-anak itu mengerumuninya. Ia mengangkat dagu anak yang malu-malu dan berkata, “Kamu harus menatap saya. Jika kamu tak percaya pada dirimu sendiri, dunia tak akan percaya kepadamu.”

Para pekerja under the same sun terdiri dari 26 warga Tanzania. Lebih dari setengahnya menyandang kebulaian. Mereka membawakan seminar perihal memahami kebulaian, yang biasanya dilakukan di desa-desa tempat orang dibunuh, diserang, atau bahkan diculik, dan tidak pernah ditemukan kembali. Di tempat-tempat terpencil ini, berbagai  penasehat seperti dukun, yang dalam bahasa Swahili disebut waganga, adalah tempat untuk bertanya soal berbagai masalah mulai dari penyakit, masa saat sapi tak memproduksi susu, hingga istri yang menjauhkan diri. Resep yang dikeluarkan bisa jadi akar yang ditumbuk, ramuan herbal, atau darah hewan.

Orang-orang sangat menginginkan kesuksesan—dalam pekerjaan atau bidang politik—terkadang mencari solusi yang efektif. Beberapa orang waganga bersikeras bahwa keajaiban yang mereka butuhkan, berkelimpahan di tetangga mereka yang berkulit kapur. Rambut dan tulang orang albino, juga alat kelamin dan jempolnya, dikatakan memiliki kekuatan tersendiri: Dikeringkan, dijadikan bubuk, dan diletakkan di bungkusan, atau ditebarkan di laut. Bagian tubuh orang yang terlahir berkulit putih di benua berpenduduk berkulit hitam dipercaya akan memuat jaring nelayan membengkak penuh ikan, atau mengungkap emas di bebatuan, atau membantu politisi memenangkan suara.

Di pesisir Danau Victoria bagian selatan yang berbatu-batu di Mwanza, pria dewasa dan anak lelaki berkeliaran di sekitar perahu kayu mereka sepanjang 12 meter. Seorang nelayan menjelaskan dalam bahasa Swahili: “Kami tak dapat begitu saja pergi ke danau tanpa sejenis petunjuk atau perlindungan. Beberapa di antara kami percaya pada Tuhan, namun, orang-orang yang percaya pada dukun mendapatkan lebih dibandingkan dengan orang yang percaya pada Tuhan!” Semua orang tertawa dan mengangguk sepenuh hati. Ia melanjutkan, “Dari dukun, kami mendapatkan sesuatu yang dibungkus oleh kain atau kertas.” Saya bertanya apa yang ada di dalam bungkusan tersebut. Seorang pria yang lebih tua dan tinggi berkata, “kami tidak berani melihatnya.” Saya berujar, Saya mendengar bahwa kadang-kadang bagian tubuh orang albino digunakan untuk jimat seperti ini,” dan sebelum penerjemah saya selesai berbicara, semua orang mengerutkan dahi. Seorang berkata, “di sini tak ada yang melakukan hal itu. Mereka melakukannya di dalam tambang.”

Tidaklah jelas bagaimana sebenarnya bagian tubuh mendapatkan takhayul seperti itu. Namun, para akademisi menelusuri penggunaannya sebagai komoditi pada sekitar tahun 2000, saat petani melihat keuntungan lebih banyak yang juga lebih berisiko, dibandingkan dengan melaut atau menambang emas.

Seringnya, anggota keluarga terlibat dalam penyerangan. “Uang berjalan” adalah ejekan yang dilontarkan kepada orang penyandang kebulaian.

Ash memberi saya analogi: “ini seperti jika Anda memiliki anjing berpenyakit di halaman belakang, dan tetangga Anda berkata, ‘saya beri kamu satu juta dollar untuk mematikan anjing itu.’ Itulah cara beberapa orang tua melihat anak-anak ini. Satu lengan utuh dihargai oleh dukun sekitar 65 juta rupiah, dan katakanlah ayahnya mendapatkan 6,5 juta rupiah, atau 13 juta rupiah. Jadi tawaran itu adalah uang yang banyak jumlahnya. Di Tanzania, pendapatan rata-rata tahunan adalah sekitar 40 juta rupiah setahun.

Sejak 2007, hanya 21 orang yang pernah dinyatakan bersalah karena membunuh orang penyandang kebulaian dalam hanya enam kasus, menurut jaksa penuntut Beatrice Mpembo, yang menyalahkan kurangnya kerjasama dari keluarga atas angka yang rendah ini. Ash mengatakan hanya sekitar lima persen dari orang yang ditahan, dinyatakan bersalah. Tidak ada orang yang pernah menyerahkan nama penghasut utama dari kekerasan ini—pelanggan kaya waganga.

Ash menjadi menteri, kemudian bergabung dengan kakak lelakinya, yang juga penyandang kebulaian, untuk menjalankan bisnis. Karena kakaknya memiliki masalah penglihatan, seperti kebanyakan orang dengan albinisme, Ash mempekerjakan pengemudi purnawaktu, yang menyetirinya BMW hitam terbaru. Kacamata seharga 12 juta rupiah yang dimilikinya berwarna hitam untuk perlindungan dari matahari. Mata kirinya, yang ia sebut “mata untuk melihat,” dilengkapi dengan lensa perbesaran enam kali.

Pada 2008, saat usianya mencapai 43 tahun, ia berhasil mengumpulkan banyak uang dan merasa siap untuk melakukan sesuatu dengan uang berlebih ini. Pencarian “albino afrika” di Google pada malam hari membuatnya merasa ngeri dan tidak bisa tidur. Pada jam-jam menjelang matahari terbit itu dia membaca laporan terbaru yang ditulis oleh Vicky Ntetema, warga Tanzania yang merupakan kepala biro BBC di sana.

Ntetema menyamar sebagai wanita pebisnis. Ia mendatangi dua dukun tradisional dan sepuluh dukun obat. Ujung atap pondok jerami berbentuk lingkaran milik dukun ini dilengkapi dengan “antena” yang dibuat dari batang dan kerang. Bangunan semacam ini bertebaran di desa. “Dua di antara para dukun itu amat jelas menyatakan, “akan kami bunuh,” dan berjanji setelah saya membayar uang muka, mereka akan memberi saya bagian tubuh,” kenangnya. Setiap bagian, bahkan rambut, memiliki harga hampir 27 juta rupiah.

Hal yang membuatnya terkejut, laporannya membuat marah warga Tanzania. Para dukun mengirim pesan singkat, mengancam akan membunuhnya. Bangsanya mempertanyakan patriotisme Ntetema. Pejabat pemerintahan menyatakan bahwa hal ini juga terjadi di tempat lain, jadi mengapa berfokus ke Tanzania?

Demi alasan keselamatan, BBC mengirimnya untuk bersembunyi di luar Tanzania. Ash menemukannya dan melalui telepon, mendengarkannya berjam-jam.

Ash tidak bisa menemukan Tanzania di peta. Ia tidak pernah melakukan perjalanan melebihi wilayah Eropa. Ia tak pernah menggunakan kebulaiannya sebagai faktor motivasi. Namun, ia berkata, “saya memiliki jawaban atas pertanyaan, apa yang menjadi hal berikutnya di hidup saya.”

Ntetema mengepalai staf Under the Same Sun. Ia mengetahui hampir seluruh nama anak-anak di sana, dan bisa menceritakan kisah mereka.

Salah satu yang paling baru adalah Baraka Cosmas, bocah lelaki kecil berusia enam tahun. Wajahnya tulus, walaupun tangan kanannya telah dipenggal setahun yang lalu. “Saya melihat darah melayang ke mana-mana,” ia bercerita kepada Ntetema setelah diserang, “dan saya memanggil ayah, namun ia tidak datang.” Saat Ntetema memberi kabar mengenai penyerangan pada Maret 2015 ini, ia mengakhiri surelnya.

Kami pertama kali bertemu pada 2015, saat sebuah badan nirlaba membawa Baraka, Emma dan tiga anak Tanzania albinisme lain yang anggota tubuhnya tak lagi lengkap, untuk diberi tangan palsu cuma-cuma di Philadelphia.

Kini, di lobi hotel Dar es Salaam, Baraka menggambar di buku catatan saya.  Seperti Emma, Baraka telah tumbuh, membuat lengan palsunya tak lagi muat. Ia dan adik perempuannya yang menyandang kebulaian akan  bersekolah dengan didanai Under the Same Sun.

“Mereka hantu, anjing putih, monyet putih. Mereka terkutuk. Jika kau melibatkan mereka, bisnismu akan terkutuk pula.”

Ia beberapa kali bertemu ibunya, namun ia berkata, “ayah saya di penjara.” Ayahnya dan seorang dukun didakwa melakukan penyerangan terhadapnya. Sementara itu Baraka bahagia, mendapatkan lebih banyak pelukan dan ciuman di sekolahnya, katanya, dibandingkan dengan yang dia dapatkan di desanya.

Malam itu, Ash mengadakan perjamuan untuk belasan orang, dari sekitar 40 murid. Murid-murid ini telah lulus perkuliahan dan mendapatkan pekerjaan dengan bantuan Godliver Gordian dari organisasi tersebut. Ia adalah perempuan muda penuh semangat. Ia merayu pemberi kerja, menjelaskan soal siswa alih-alih ketakutan yang ia dengar: “Mereka hantu, anjing putih, monyet putih. Mereka terkutuk. Jika kau melibatkan mereka, bisnismu akan terkutuk pula.”

Saya berjumpa dengan petugas kas bank, seorang jurnalis, pekerja lab, dan aktor berusia 23 tahun yang membintangi film indie, berjudul White Shadow pada 2013. Film ini berkisah tentang anak lelaki yang dikejar-kejar karena bagian tubuhnya. Hamisi Bazili bercerita kepada saya mengenai ibunya, yang juga penyandang kebulaian, meninggal akibat kanker kulit setelah film tersebut keluar. Usia ibunya 44 tahun.

Bagi penyandang kebulaian di Afrika, kematian seperti ini merupakan hal biasa. Hanya baru-baru ini saja lembaga nirlaba mulai secara agresif berbicara mengenai perlindungan terhadap matahari, membagikan tabir surya—yang jarang dan mahal, sekitar 300 ribu rupiah untuk satu tabung—dan topi bertepi lebar dengan penutup di bagian leher.

Di Dar es Salaam, saya mengunjungi Ocean Road Cancer Institute untuk berjumpa dengan Jeff Luande. Ia disebut sebagai ahli kanker kulit negara itu, penyakit yang merundung penyandang kebulaian. Pada 1990, ia menemukan bahwa hanya 12 persen dari para penyandang albinisme di perkotaan, hidup hingga usia 40. Pembunuh terbesar: karsinoma sel skuamosa, mudah ditangani jika ditemukan pada tahap awal.

Pria ini membawa saya ke bangsal tempat enam pria, dua penyandang kebulaian, tidur-tiduran di atas ranjang dengan pakaian sehari-hari. Saidi Iddi Magera dengan berhati-hati membuka perban yang membungkus kepalanya, memperlihatkan lubang di leher, di bawah telinga kirinya. Kanker ini tinggi tingkatnya, cerita Luande kepada saya. Magera sudah merana di tempat tidur ini selama sembilan minggu, menanti radiasi dari peralatan yang panjang antreannya.

Di seberang bangsal, Msuya Musa berbaring. Kanker yang dideritanya, tiga tahun lamanya, menggerogoti sebagian telinga kirinya dan mengubah bagian bawah lehernya dengan titik-titik berwarna merah. Keduanya, masing-masing di usia pertengahan 40, memiliki kemungkinan kecil untuk bertahan lama, kata Luande.

Anak-anak yang disokong oleh Under the Same Sun mengetahui dan melakukan proteksi terhadap matahari. Mereka mengusapkan tabir surya di belakang telinga dan di antara jemari. Namun, matahari adalah kutukan mereka sehari-hari. Kelompok Ash memberikan kacamata hitam di setiap pemberhentian, dan kelompok lain memeriksa penglihatan dan membagikan kacamata secara gratis, untuk membantu anak usia sekolah membaca papan tulis.

Hampir di seluruh belahan dunia, penyandang kebulaian menghadapi celaan dan frustasi di kelas. Namun, mereka biasanya menemukan pekerjaan dan cinta, dan berkeluarga. Baru-baru ini, di beberapa perjalanan karir, kulit serta rambut yang putih menjadi aset yang tak terduga.

Lihat saja musisi Aaron Nordstorm, 35, vokalis dari grup musik metal alternatif Gemini Syndrome di Los Angeles.

Nordstorm bercerita kepada saya, bercekikikan, namun mengusap air mata. “Saya menghabiskan sebagian besar waktu berusaha untuk melebur. Saya marah dan depresi, dalam pengobatan dari saat berusia 12 atau 13 tahun.” Delapan minggu saat memasuki SMA, ia berusaha bunuh diri.

Bermain piano dan gitar bersama kelompok musik rock yang, “marah tak termaafkan,” memberinya penyaluran. Ia mulai menulis musiknya sendiri, termasuk lagu berjudul “Basement” dengan kata-kata pembuka yang berarti: “Penistaan sandi-warna, ini sungguh anatomi yang aneh—benarkah ini hidupku?”

Tepukan tangan memberinya kepercayaan diri. Kini rambutnya gimbal dan janggutnya tebal. “Saat kami bermain di atas panggung, semua memakai pakaian hitam kecuali saya. Saya memakai pakaian putih.” Ia tak memerlukan dandanan untuk membedakan dirinya: “Ini anugerah Tuhan.”

“Saya tak lagi keberatan menjadi model albino, karena setidaknya kini orang tahu apa albinisme itu.”

Kenya menjadi tuan rumah kontes kecantikan peyandang kebulaian tahun silam, untuk membantu menghilangkan stigma. Sementara itu, model penyandang albinisme menjadi terkenal di acara pagelaran busana di seluruh dunia. Diandra Forrest, keturunan Afrika Amerika dari Bornx, New York, adalah orang pertama yang dikontrak. Pada usia 28 tahun, ia berkata tak mau menukarkan kecantikannya: “Saya tak lagi keberatan menjadi model albino, karena setidaknya kini orang tahu apa albinisme itu.”

Beberapa orang penyandang kebulaian juga berhasil di Tanzania, termasuk beberapa anggota parlemen dan Abdallah Possi, yang pada 2015, di usia 36 tahun, menjadi wakil menteri—penyandang albinisme pertama. Kini, selain menjadi duta besar, ia adalah pengacara penyandang kebulaian pertama di negeri itu.

Saya bertemu masa depan albinisme di Tanzania saat Acquilina Sami, 28, menyambut saya di apartemennya di luar Dar es Salaam. Ia memulai ceritanya: “Ayah pergi saat saya berusia satu minggu.” Ayah menyalahkan ibu akibat kulit saya dan kakak lelaki saya. “Dia tak mau melihat kami. Dia berkata, ‘mereka bukan manusia.’”

Ia merasa beruntung ayahnya tak melakukan hal lebih buruk. “Dalam kebudayaan kami, saat anak lahir dalam keadaan seperti ini, mereka akan dibuang ke danau agar tak lagi terlihat."

Seorang wanita berkebangsaan Belanda yang mempekerjakan ibunya, menyekolahkan Sami di sekolah swasta. Dengan beasiswa dari Under the Same Sun, ia mendapatkan gelar dalam administrasi bisnis. Kini ia mengajar di Institute of Social Work. Di sana ia berkeliling kelas, mengajar tanpa catatan, jarang menggunakan papan tulis.

“Kebanyakan datang ke sekolah dan bertanya-tanya,” ujarnya. Saya menceritakan sedikit hal tentang saya kepada mereka; mereka mendapatkan informasi mendasar tentang albinisme.” Mereka ingin tumbuh seperti dia, katanya. “Mengajar adalah impian saya, kebahagiaan saya.”

Ia percaya, kini stigma terhadap orang seperti dia, telah memudar, walaupun ia sehari-hari berinteraksi dengan orang asing yang menatapnya, memikirkan hal-hal yang tak bisa ia ketahui. Tantangan hidupnya, katanya, suatu hal yang sederhana namun di Tanzania masih merupakan hal yang sulit: “Kedamaian di hati.”