Thailand, Jantung Semenanjung

By , Kamis, 24 Desember 2015 | 10:00 WIB

Kerajaan  Thai tidak pernah jemu menggoda hasrat wisata kita melalui beragam rona. Jangan hiraukan kehidupan malam ala Patpong atau sejenisnya, Muangthai merupakan taman firdaus atas keindahan lanskap dan budaya. Negeri di jantung Semenanjung Indochina ju­ga merayu dengan ratusan pulau eksotis yang menjadikannya sebagai salah satu destinasi favo­rit dunia. Mulai dari Pulau Krabi, Phi-phi, James Bond hingga Samui. Lebih dari seratus kawasan pelestarian menyimpan keragaman hayati yang menyokong peradaban. Berbataskan dataran tinggi di bagian utara, Negeri Thai menyajikan ragam hayati pesisir yang beujung di Teluk Thailand. Tempat ini juga menjadi titik temu ragam budaya. Warisan leluhur yang terpelihara menarik hati pendatang. Hampir seluruh warga negara yang tak pernah terjajah ini memeluk Buddha yang mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan. Berpesiar di Asia Tenggara tak akan pernah lengkap sebelum menjejak wilayah Thailand. 

Menimba Dharma

Selamat datang di “Daratan Berselimutkan Jubah Kuning”. Saya bergumam riang begitu perjalanan memasuki wilayah Kerajaan Thailand. Di negara ini, ajaran Buddha mengalir sederas sungai, selayaknya aliran darah dalam tubuh manusia. Lantas, bagaimana keseharian para biksu menjalankan ajaran sang Buddha?

Mencari jawaban atas pertanyaan tadi, saya mendatangi Mahapanya Vidayalai di Hat Yai, sekitar 945 kilometer selatan Bangkok. Di sini, para siswa mempelajari ajaran Buddha. Bahkan, tersedia pusat riset yang terkait hal itu.  

Saya pun harus menyingkirkan pendapat, sekolah hanya membuat bosan para muridnya saat memandangi patung raksasa Bodhisatva Kshitigarbha setinggi sepuluh meter. Kshitigarbha mengacu kepada pemaknaan tentang penjaga Bumi dan sekaligus tempat segala dharma berlabuh. Saya ter­henyak sesaat memandangi kemegahan patung itu.

Lamunan saya buyar saat Phra Sonam Lepcha, 28 tahun, menghampiri dan mengajak saya mengobrol. Sonam adalah salah seorang staf di kampus ini. Tugasnya, bidang hubungan siswa. Kami tenggelam dalam obrolan asyik mengenai ajaran Buddha dan para penganutnya.

“Saat ini, ajaran Buddha merupakan bagian besar dari masyarakat dunia. Kampus ini berjalan berdasarkan perkembangan agama dan situasi global,” kata Sonam kepada saya. Mahapanya memiliki visi untuk memberikan pengetahuan yang lebih maju kepada para biksu dan ber­peran sebagai pusat pendidikan, informasi serta riset mengenai apapun yang ber­­kaitan dengan ajaran Buddha. Sonam bercerita panjang lebar seraya meng­­­­i­tari area kampus.

Saya tidak pernah terbesit untuk menganut Buddha dan menjalani Patimokkha (kode etik dan prinsip hidup biksu). Namun, saat menyelami pemahamannya, saya merasa lebih dekat dengan Thailand, bahkan Asia Tenggara. Kehadiran biksu di dalam tatanan masyarakat menghasilkan keseim­bangan. Hingga saat ini, Mahapanya Vidayalai memiliki lebih dari 50 murid internasional. Kebanyakan berasal dari Vietnam, China, Myanmar dan Laos. Salah satu rutinitas yang dilakukan oleh para biksu adalah perjalanan meditasi. Pada bulan ketiga di setiap semester, para biksu menjalani retret selama sepuluh hari. Tujuannya, memperdalam tradisi penting dalam ajaran Buddha; Mahayana dan Theravada. Saat lulus, mereka akan mendapatkan sertifikat Bachelor of Arts, dengan kekhususan Buddha Mahayana.

Buddha memendam budaya yang kaya. Saya pun meresapi keseimbangan dalam kehidupan. Ujungnya, menghasilkan rasa damai yang tidak tertandingi.