Menjaga Hayat Ebeg Cilacap

By , Jumat, 15 Januari 2016 | 16:00 WIB

Cetar! Cetar! 

Laksana petir di siang bolong, lengkingan cemeti itu menembus jantung telinga. Siang itu, berdiri tegap di tengah lapangan, Kasirin menyentakkan ujung cemetinya. Suaranya menembus udara hangat. Mata Kasirin menatap barisan para pemain ebeg. 

Para penari telah bersimpuh di tanah sambil menunggang kuda lumping. Mereka menanti pergelaran dibuka. Hentakan kendang, dentuman drum, dengung gong, saron, kempul, dan lengkingan trompet bertalu-talu. Sinden mendendangkan tembang Jawa seiring alunan irama gamelan.

Kala matahari kian mendekati tengah hari, cemeti Kasirin kembali menusuk. Cetar! cetar! 

Lecutan terakhir itu menandai derap pertama para penunggang kuda lumping. Di ujung depan, Umarmaya memimpin gerak sigrak para pemain ebeg. Membelah lapangan, enam penari mengikuti Umarmaya. Di tepi batas lapangan, barisan berbalik. Lambaian tangan, derap kaki, dan getaran kepala selaras gending Banyumasan yang menggema. 

Kasirin lantas menggulung cemetinya, menjaga pergelaran di tepi pentas. Lelaki berbadan tegap ini nyaris tak berkedip. Berpakaian hitam-hitam, Kasirin menjadi jangkar pentas ebeg di lapangan Lokajaya, di Desa Lomanis, Cilacap Tengah, Cilacap, Jawa Tengah. 

Seorang penari ebeg bersiap menghibur ratusan warga yang sudah memadati lapangan Lokajaya. Selain sebagai upaya melestarikan budaya, pertunjukkan ebeg mampu menggaraihkan perekonomian pemain juga pedagang di lokasi pertunjukkan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Para penonton memagari tepi lapangan. Tua-muda, laki-laki-perempuan menyaksikan para pejoget yang menyajikan bedaya Bayangkara. Mereka menari seiring irama gamelan yang menggelora. 

Bagaikan seorang komandan kavaleri, Umarmaya menguasai lapangan pentas. Umarmaya menyisir satu-satu penunggang kuda lumping yang bersimpuh membeku. Kakinya menderap, sesekali mencongklang: bagaikan langkah-langkah turangga di medan laga.

Menit-menit selanjutnya, para penunggang kuda kepang yang berbaju cerah ceria itu bergerak serentak. Di barisan belakang, dua lelaki bertopeng Pentul dan Tembem menari jenaka. “Dua penari itu disebut cepet untuk candaan,” jelas Kasirin.

Sebelum matahari tepat di atas kepala, babak pertama pertunjukan ebeg dengan bedaya Bayangkara itu usai.

!break!

DIMULAI SEJAK pukul 11, pergelaran ebeg akan usai pada pukul 17. Kendati lazim digelar jelang tengah hari, kesenian rakyat ini tak punya pakem waktu pementasan. “Biasanya memang pukul 11. Pagi juga bisa, tapi untuk menghormati orang-orang yang masih bekerja, ebeg dilakukan pukul 11. Kalau siang, banyak yang sudah selesai bekerja dan bisa menonton,” Kasirin memaparkan. Kendati ada yang menggelar sampai malam, pertunjukan ebeg lazim kelar sebelum magrib. “Aturan pemerintah daerah melarang pertunjukan ebeg sampai magrib.”

Kesenian khas tlatah Banyumasan—Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banyumas dan sekitarnya—ini sedang marak di Cilacap. Ebeg seolah bangkit setelah tenggelam dalam geliat zaman. Kasirin menuturkan, semenjak Malaysia mengklaim reog Ponorogo, seniman kuda lumping di Cilacap ingin membangkitkan ebeg. “Sejak ada klaim Malaysia, kita semakin bersemangat menghidupkan ebeg,” tutur lelaki berkumis ini.

Di desa Lomanis semula ada dua grup ebeg. Lantas satu grup tutup pelan-pelan. Setelah itu, Kasirin mendirikan kelompok Sekar Asih Turangga Seta. “Satu grup yang sempat tutup sekarang aktif lagi. Di Lomanis sekarang ada tiga grup, sedangkan di Cilacap ada puluhan,” tambahnya. 

Memakai topeng berseringai sangar, seorang wayang ebeg menari di pantai Teluk Penyu saat jelang senja. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Ebeg berasal dari kata ebleg, yang berarti anyaman bambu untuk bahan kuda kepang. “Sebutannya berbeda-beda di daerah lain. Di Yogyakarta namanya jatilan, ada juga yang menyebut jaran kepang, kuda lumping atau jaranan,” paparnya.

Pentas ebeg dipimpin oleh seorang penimbul. Di Turangga Seta, penimbul diemban oleh Kasirin, yang sekaligus ketua paguyuban. Para penari kuda lumping disebut wayang, berjumlah tujuh orang, ditambah dua orang cepet. Dua cepet yang mengenakan topeng Pentul-Tembem ini menari jenaka di belakang barisan wayang. 

Untuk iringan musik, ebeg dilengkapi oleh para niyaga: peniup trompet, penampar kendang, penabuh gong pamungkas, pemukul kempul ataupun saron. Di tengah-tengah nayaga, seorang sinden melantunkan tembang-tembang Jawa. 

!break!

Di kalangan seniman ebeg, kesenian ini dipandang sebagai kreasi Sunan Kalijaga untuk menyiarkan agama Islam. “Dulu tidak mudah mengumpulkan orang. Untuk itu, Sunan Kalijaga menciptakan wayang kulit, ebeg dan kesenian lain agar orang mau berkumpul,” terang Sandaman, salah seorang sesepuh ebeg Cilacap. Selain itu, ada juga seniman yang berpendapat ebeg diinspirasi dari perjuangan gigih pasukan berkuda Pangeran Dipanegara dalam melawan penjajahan Belanda. 

Sejak usia 15 tahun, seputar tahun 1963, Sandaman telah menggeluti ebeg. Dia generasi kesembilan yang mewarisi ebeg dari trah leluhurnya. Paguyubannya bernama Renggo Manis Utama. Karena itu, selain melambangkan Walisanga, tutur Sandaman, “Jumlah wayang di kelompok saya ada sembilan orang.” 

Wayang ebeg umumnya berjumlah ganjil. “Bisa tujuh, sembilan, bahkan limabelas orang, dengan satu orang sebagai Umarmaya yang berada di depan sebagai pemimpin,” ujar Sandaman di rumahnya di Kebonmanis, Cilacap Utara.  

Ia adalah saksi hidup perkembangan ebeg di Cilacap. Zaman keemasan ebeg, tuturnya, selama 1960-an hingga 1980-an. Pada masa itu, Sandaman bersama kelompoknya nyaris setiap hari menggelar pementasan. “Jaya-jayanya itu, sampai tidak ada waktu untuk yang lain.”

Selain kuda lumping, ebeg juga menampilkan barongan. Topeng berat ini biasanya terbuat dari kayu waru laut atau waru watangan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Saat-saat ini, dalam wawasan Sandaman, ebeg sedang dalam gempuran zaman. “Ya, karena banyak hiburan yang lebih murah, seperti dangdut dan orjen tunggal. Pada masa sekarang, yang pasti hanya pentas sekali setahun untuk mengiringi sedekah laut. Selebihnya tidak pasti, karena memang rombongan ebeg juga banyak sekali, sih. Satu kelurahan bisa ada dua sampai tiga kelompok,” papar Sandaman yang tahun ini hanya pentas tiga kali. 

Zaman yang makin menuntut memaksa seniman ebeg mengembangkan kreativitas. “Rombongan ebeg sekarang seperti rombongan wayang kulit. Dulu tidak ada sinden, sekarang ada. Kadang-kadang malah ditambah artis penyanyi. Kalau tidak begitu, ndak laku. Atau malah ndak laku.”

Paguyuban Renggo Manis Utama saja berisi 32 orang dengan berbagai peran: penimbul, pembantu penimbul, sinden, penabuh gamelan, pembarong dan wayang. Dulu sekali, pada era 1960-an, kenang Sandaman, anggota Renggo Manis Utama hanya 18 orang. 

Dahulu tabuhan juga cuma empat: trompet, gong bumbung [bambu], kendang dan campur [gong kecil]. “Sekarang tabuhannya macam-macam. Kadang ada juga orjen tunggal dengan lagu-lagu dangdut. Itu tergantung yang punya hajat.” 

Kostum pentas? “Apa adanya. Sederhana sekali. Setiap wayang bajunya berbeda-beda dan membawa sendiri-sendiri. Dulu juga memakai kacamata hitam,” jawab Sandaman. Baru belakangan ini tampilan wayang lebih meriah. “Sekarang memakai kaos kaki dan sepatu, dulu nyeker.” 

Pakaian penari kini seragam dan penuh warna. “Saya dulu hanya punya satu baju yang selalu dipakai pentas. Setiap penari bajunya berbeda-beda. Sekarang, penari ebeg bisa ganti baju sampai tiga kali dalam satu pementasan. Itu tergantung grupnya. Kalaupun tidak punya banyak baju, juga bisa pinjam.”

!break!

MATAHARI telah bergeser ke barat. Selepas duhur, Kasirin kembali ke medan pentas. Suara cemetinya sekali lagi menusuk hulu telinga. Para penari, dengan wajah-wajah berias tebal, kembali ke ajang pergelaran. Pada babak kedua ini, mereka mementaskan tarian pedang. Ini kreasi baru. “Tidak ada pakemnya. Variasi tarian tergantung kita,” jelas Kasirin. 

Para penonton makin rapat memagari lapangan. Babak kedua inilah yang ditunggu-tunggu pemirsa. Alunan musik dan tetembangan kian membahana. 

Pada detik-detik terakhir, Kasirin berada di tengah-tengah pejoget. Sejurus kemudian, pentas ebeg berubah drastis. Sejumlah penonton menghambur ke pentas ebeg. Mereka meminta kuda lumping. Sebagian lagi menari berlagak menunggang kuda kepang. Dalam khazanah ebeg, momen ini biasa disebut janturan. Babak inilah yang memikat para penonton, yang semakin menyesaki tepi pentas seiring ebeg yang memuncak.

“Setelah diizinkan oleh penimbul, penonton bisa ikut masuk. Kalau tidak, ia tidak akan masuk kalangan. Sebenarnya mereka hanya ingin menghormati pementasan,” papar Kasirin. 

Indang adalah suasana batin yang bergelimang rasa senang. “Indang itu terjadi karena saking senangnya. Kebangetan senangnya sehingga lupa diri. Gimana coba kalau senangnya sudah sampai merasuk di hati,” jelas Sandaman sembari meraba dada kirinya.

Beberapa seniman berpendapat bahwa indang merupakan visualisasi semangat para prajurit yang berjuang melawan penjajah Belanda. Para pemain ebeg yang indang seolah menampilkan kembali energi perjuangan itu. Begitulah, para wayang dan penonton itu rupanya sedang diselimuti rasa senang. Tarian mereka lebih berenergi. 

Bahkan, begitu riangnya, seorang wayang menjoget lemah gemulai bagaikan perempuan kenes. Pantas saja, ingar-bingar gamelan, lantunan tembang, dan semaraknya penonton pastinya akan membuat para pemain makin bersemangat menari.  

Kesenian apa saja, seperti dangdut misalnya, papar Sandaman, kalau sudah indang siapapun tidak tahu malu. Sandaman menegaskan bahwa pergelaran ebeg harus bagus dan benar. “Pertama, kalau ada ya, penarinya yang bagus; kedua, berpakaian yang baik; dan ketiga, menari dengan baik. Karena, yang menilai orang banyak. Kalau bagus ya, akan mendapatkan pujian.”

Empat penimbul yang berbaju hitam-hitam, dikelilingi para wayang ebeg paguyuban Sekar Asih Turangga Seta. Penimbul berperan sebagai jangkar pertunjukan ebeg. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Gampangnya, tutur Sandaman, setiap orang pandai pasti punya guru. “Tak ada ilmu tanpa belajar. Ada orang yang indang bisa naik pohon tinggi, lalu turun dengan kepala di bawah. Itu memakai kepandaian dan bisa dipelajari.” 

Telah malang melintang selama 50 tahun lebih, Sandaman menuturkan bahwa sebagai kesenian ebeg mensyaratkan kesantunan atau trapsusila. Pada zaman modern ini, trapsusila wayang telah luntur. “Punten ya, wayang sekarang gondrong-gondrong, bertato dan tindikan. Rekasa anak-anak sekarang. Anak-anak dulu mandiri, trapsusila-nya juga bagus.”

Pemerintah daerah Cilacap memang telah melarang atraksi yang berbahaya, seperti memakan kaca. Selain berbahaya, dalam pengamatan Sandaman, biasanya wayang yang suka beratraksi makan kaca ataupun yang barang lain yang berisiko, “[hidupnya] juga tidak akan lama.”

“Sebenarnya tergantung orangnya. Orang yang bermental baik akan berpikir tidak perlu memakan torong dan lain-lain. “Tapi yang mentalnya lemah, akan berpikiran: kalau berani makan beling nanti akan dianggap ‘wah’ oleh orang lain.”

Sandaman rupanya membaca gelagat zaman. Pada masa sekarang, tak sedikit anak muda yang suka indang, tapi tanpa dibekali kesantunan dalam berkesenian. Lantaran itulah, dia punya tiga syarat di paguyubannya. “Satu, tidak boleh minum-minuman [keras] di mana pun. Kedua, tidak boleh bertato dan gondrong. Dan ketiga, tidak boleh memakai tindik seperti perempuan. Kesenian ebeg ini untuk tontonan dan tuntunan. Makanya, jadi manusia aja dumeh, jangan mentang-mentang, dan yang andhap asor, rendah hati.”

 !break!

SELURUH wayang menatap Kasirin dan pembantu penimbul. Inilah saatnya pementasan di ujung waktu. Sebagai penanda akhir pertunjukan, seorang nayaga mengajak penari menuntaskan pertunjukan:

“Ayo wis wayahe bali… 

Yen ora gelem bali dhewe, 

mengko tak begal ana tengah ndalan….” 

Peringatan puitis seiring irama tetabuhan itu disambut para wayang. Satu demi satu, wayang mengantre di depan Kasirin. Tak ada yang balela, tak ada yang aneh-aneh. Hanya dengan tatapan mata dan lambaian tangan, wayang menjemput ajakan Kasirin untuk menuntaskan pertunjukan.

Mendung makin tebal menggantung di langit. Gamelan terus berdentam; sinden mendendangkan tetembangan Jawa. Langit Cilacap memberkahi usainya pertunjukan ebeg itu dengan rinai hujan.

Ebeg kerap digelar dalam peristiwa-peristiwa budaya, seperti sedekah laut ataupun bersih desa. Kesenian ini telah melekat di hati masyarakat Cilacap. Setiap hajatan dan peristiwa budaya yang diiringi ebeg, khalayak akan berdatangan untuk menyaksikan kesenian ini.

Pergelaran ebeg sebenarnya nyaris lengkap, yang menurut Sandaman, mencakup olah badan kasar dan badan halus. Kearifan lokal inilah yang membuat ebeg selalu memikat para penggemarnya dan masyarakat. Dari babak pertama sampai terakhir, pengunjung ebeg datang bergelombang.

“Kalau babak pertama, biasanya orang belum banyak karena tarian yang disajikan masih biasa-biasa saja,” Kasirin memaparkan, “yang ditunggu penonton, ya, saat janturan pada babak kedua dan ketiga.” Tidak mengherankan, setelah babak pertama, semakin banyak orang yang menonton.

Salah seorang penonton antusias berfoto dengan penari saat menyaksikan pembukaan pertujukkan ebeg. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

 

Dengan pamor yang merakyat itu, pertunjukan ebeg masih dikembangkan lebih lanjut. Apalagi, dalam pandangan Kasirin maupun Sandaman, ebeg tidak mempunyai pakem pementasan. “Ya, bisa saja dengan tarian variasi kita sendiri,” ujar Kasirin. Pengembangan kesenian ini nampak dari daya tahan ebeg menghadapi kemajuan zaman. Ebeg bisa dipadukan dengan kesenian lain, semisal campursari ataupun jenis musik tradisional yang lain. 

Cilacap yang dikenal memiliki sejumlah kawasan wisata pantai dan tinggalan sejarah berupa benteng-benteng tua. Atraksi ebeg tentu saja bisa melengkapi destinasi wisata tersebut.

Di pantai Teluk Penyu dan Benteng Pendem misalnya. Selama ini belum pernah diadakan pementasan untuk menghibur para wisatawan yang mengunjungi Teluk Penyu. “Selama ini,” kata Kasirin, “memang belum pernah ada pementasan di tepi pantai.”

Selagi sedang menggeliat, ebeg mempunyai momentum untuk disajikan di pentas terbuka di pusat-pusat wisata. Dengan jumlah paguyuban yang mencapai puluhan, tentu saja, pergelaran ebeg di ruang publik akan lebih semarak. 

Agar memenuhi unsur hiburan, tarian dan atraksi ebeg bisa lebih dikembangkan lebih memikat. Ini menyangkut kreativitas dalam tata panggung, tarian, dan tetembangan. “Ebeg juga bisa ditampilkan secara ringkas. Tidak perlu tiga babak. Satu babak saja, dengan tarian Baladewa misalnya,” Sandaman menuturkan. Agar lebih bervariasi, jogetan ebeg bisa ditampilkan oleh kaum perempuan. “Para wayang umumnya laki-laki, tapi bisa juga perempuan.”  

!break!

Selama pertunjukan, bisa juga disisipkan tarian khas Cilacap yang lain. Tari Jalung Emas misalnya. Tarian khas tlatah Cilacap ini memadukan dua ranah budaya: Banyumasan dan Pasundan. Tarian ini perpaduan antara gerakan khas Pasundan, yang diiringi musik calung Banyumasan, dengan penari laki-laki atau perempuan. Atau, menampilkan tarian Lengger dengan calung Banyumasan yang dipentaskan oleh pejoget putri. Tarian ini dapat dipentaskan di awal babak sebagai ungkapan selamat datang pada setiap pementasan. 

Dalam tata tari, ebeg masih terbuka untuk menerima kreativitas baru. Dengan menggaet kareografer atau penata tari yang mumpuni, tarian ebeg bisa lebih ditampilkan secara atraktif: gerak lebih dinamis dan lebih berenergi. Begitu juga tata panggung, aransemen gamelan dan tembang, masih bisa dikembangkan untuk lebih membumikan kesenian ebeg. 

Sisi menghibur ebeg dapat dikemas dengan mengedepankan tarian yang atraktif, diiringi musik gamelan yang renyah di telinga. Sisi jenaka kesenian ini bisa lebih dieksplorasi dengan menampilkan tarian cepet yang bisa mengundang tawa riang.  

Itu dari sisi kesenian. Secara sosial, ebeg juga menyisipkan pesan bahwa kesenian berkaitan erat dengan ekonomi. Di mana pun pementasan ebeg, di sanalah orang-orang berkumpul. Alunan musik yang membahana kerap mengundang khalayak berdatangan. Tidak mengejutkan bila pentas ebeg akan selalu dikelilingi oleh para penjual minuman dan makanan. Para bakul inilah yang memperoleh manfaat ekonomi dari pertunjukan ebeg. 

Pertunjukkan ebeg di bagi menjadi tiga babak. Hampir setiap babak memiliki daya tarik tersendiri. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Perpaduan antara wisata, kesenian, dan ekonomi ini akan membangkitkan Cilacap sebagai destinasi tamasya. Selama ini Cilacap dikenal sebagai ‘kota buntu.’ Selain karena terletak di pesisir selatan Jawa Tengah yang terisolir, kabupaten ini hampir selalu terlewatkan oleh wisatawan. Ini terjadi karena jalur transportasi antar-provinsi hanya melewati perbatasan wilayah kabupaten. Dampaknya, destinasi wisata Cilacap di wilayah pesisir jarang dikunjungi wisatawan dari daerah lain. 

Seiring bangkitnya ebeg sebagai budaya lokal, diharapkan wisatawan terpikat untuk mengunjungi destinasi wisata Cilacap. Tentu saja, cita-cita mulia ini akan mewujud dengan dukungan banyak pihak: swasta, pekerja seni, budayawan dan pemerintah daerah. 

Barangkali ebeg bisa dijadikan ikon budaya Cilacap, yang wajib tampil saat peristiwa penting di lembaga pemerintah, swasta ataupun kemasyarakatan. Ide ini bisa mencontoh kebijakan pemerintah daerah yang mengangkat kuliner brekecek. Ini adalah makanan pedas berbahan kepala ikan ataupun bebek yang diangkat sebagai kuliner khas Cilacap.