Semerbak Kembang Kyoto

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 10:00 WIB

Miho San hafal puluhan nama geisha yang melintas di Gion. Dia juga tahu dari kota mana geisha berasal, siapa pelanggan geisha, dan keahlian geisha. “Setiap hari, selama bertahun-tahun, kami datang ke Gion untuk memotret geisha,” kata Miho San. Saat sejumlah wisatawan mulai bosan menunggu geisha, Miho San berteriak, “Itu Geiko nomor satu di Gion! Larilah ke persimpangan jalan, dia akan menyeberangi jalan itu,”  kata dia.

Saat mengunjungi Gion, saya berjumpa dengan puluhan turis asal Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Beberapa wisatawan berdiri di depan ochaya, beberapa lainnya jongkok atau duduk lesehan di atas trotoar.

Qatar (26), turis asal Timur Tengah, sangat terobsesi bertemu geisha. Pemuda itu sudah empat hari berturut-turut mengunjungi hanamachi. Dia selalu datang pukul 16.00 – 18.00, waktu di mana geisha akan keluar rumah untuk beraktivitas.

Begitu melihat geisha melintas, Qatar langsung berlari menghampiri pekerja seni itu. Beberapa geisha, dengan ramah mau berhenti dan berpose untuk difoto. Beberapa geisha lain, seperti Kyouka dan Sayaka, terang-terangan menolak dipotret karena mereka tidak suka kehidupan pribadinya disorot kamera. Sudah bukan rahasia umum, memotret geisha tak semudah yang dibayangkan.

“Mereka berjalan seperti bayangan. Sekelebat, lalu menghilang,” tutur Qatar.

 Meski mereka tinggal di okiya, bukan berarti tamu harus datang ke okiya untuk melihat geisha. Tamu harus mengundang geisha ke ochaya atau ryotei (restoran tradisional Jepang).

Mengingat saat ini profesi geisha makin kritis, banyak ochaya dan ryoutei yang mengalami kesulitan finansial. Pengelola akhirnya menerapkan sistem yang lebih fleksibel.  Bahkan, mereka mulai membuka diri terhadap wisatawan asing. Pada akhirnya, pertunjukan geisha bisa disaksikan lebih banyak orang, bukan lagi menjadi monopoli sekelompok orang saja. Salah satu gedung pertunjukan geisha adalah Gion Corner di Gion, Kyoto.

Saya datang ke Miyakomesse. Saat itu ada dua pertunjukan maiko dengan durasi 30 menit. Saya datang 15 menit lebih awal. Kursi penonton sudah hampir penuh dengan penggemar geisha yang mayoritas orang Jepang.

Saya duduk di belakang sebelah kanan ruang. Saat saya duduk, seorang pria paruh baya yang duduk di bagian depan panggung berdiri. Dia menghampiri saya sambil berkata, “Saya tahu kamu baru pertama kali datang. Silakan duduk di tempat saya,” ujar pria sopan itu.

Kabarnya, orang-orang di Negeri Sakura memang terkenal ramah dan baik hati.

Tepat pukul 15.00, maiko bernama Tomitae, masuk ke dalam ruang pertunjukan. Dia mengenakan kimono warna hijau muda dengan hiasan kepala perak. Setelah memperkenalkan diri, Tomitae menari diiringi musik tradisional Jepang. Dia menggerakkan kipas tangan dengan gemulai dan penuh penghayatan. Gerakan tangan dan kakinya pelan dan anggun. Sesekali bibirnya bergerak, tersenyum simpul.

Saat Tomitae menari, hiasan di kepalanya bergoyang dan berbunyi gemericik. Lengan kimononya bergerak mengikuti irama tubuhnya. Pada akhir acara, Tomitae mengenalkan istilah-istilah kimono yang dia kenakan. Sambil mengangkat lengannya, Tomitae menunjukkan detil-detil tekstur dan motif kimono. 

Selama pertunjukan tarian geisha berlangsung, penonton dilarang mengambil gambar atau merekam video. Penonton hanya boleh memotret selama lima menit sebelum dan setelah pertunjukan berjalan. Pembawa acara menjelaskan, tanpa alat perekam penonton bisa fokus menikmati pertunjukan.

Tanpa alat perekam yang menyorot wajah dan tubuhnya, Tomitae tidak perlu merasa canggung karena kehidupannya disorot orang asing. Geisha pun bisa sepenuhnya hadir sebagai seniman penghibur tradisional Jepang.