Memakai bedak putih dan gincu berwarna merah, Kyouka dan Sayaka berjalan lincah di antara deretan ochaya (kedai minum teh) di Gion, Kyoto. Kyouka mengenakan kimono berwarna ungu, sedangkan Sayaka memakai kimono cerah berwarna biru. Alas kaki mereka berupa bakiak okobo setinggi lima sentimeter.
Kehadiran dua geisha itu mencuri perhatian wisatawan. “Geisha, Geisha, please stop!” teriak salah satu turis meminta mereka berhenti melangkah. Turis itu mengancung-ngancungkan kamera poket, meminta izin memotret. Bukannya berhenti, Kyouka dan Sayaka malah mempercepat langkah mereka.
Dua geisha itu berjalan di antara puluhan wisatawan yang gemas ingin mengabadikan kecantikan dan keunikan penampilan mereka melalui foto dan video. Meski Kyouka dan Sayaka enggan berhenti, puluhan turis yang datang dari berbagai negara tetap memborbardir dua perempuan itu dengan jepretan kamera. Lampu kilat menyala, menyorot wajah geisha yang gugup dan panik.
“Saya tidak mau berhenti. Saya malu. Saya tidak cantik,” ujar Kyouka dalam bahasa Jepang.
Kyouka terus melangkah, meninggalkan para wisawatan. Sayaka, yang berjalan di belakang Kyouka, tersenyum malu-malu. Dia menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Keduanya lalu menyeberangi zebra cross dan melesat masuk ke dalam salah satu ochaya di seberang Jalan Hanamikoji, Gion, Kyoto.
Saat dua geisha itu berjalan, sekitar dua tahun lalu, langit mendung. Gerimis turun membasahi jalan. Aroma tanah dan daun basah menyeruak. Sejumlah wisatawan yang berhasil mengambil foto geisha bersorak kegirangan. Mereka saling memamerkan foto geisha. Lalu, para wisatawan itu kembali bergerombol di hanamachi (distrik tempat tinggal geisha), menunggu geisha lain melintas.
Geisha berasal dari kata “gei” yang berarti seni atau pertunjukan, dan “sha” yang berarti orang. Jadi, geisha berarti “orang seni” atau orang yang mengabdikan dirinya pada kesenian dan ketrampilan untuk menghibur.
Nama lain untuk geisha adalah geiko, yang biasanya dipakai untuk menyebut geisha yang berasal dari Jepang Barat, seperti Kyoto. Geisha magang disebut maiko, yang berarti “anak tari” atau hangyoku yang berarti “setengah-permata”. Di Kyoto, usia maiko biasanya 12-20 tahun, sedangkan geiko biasanya berusia di atas 20 tahun.
Secara historis, geisha sudah muncul di Jepang pada abad ke-16 dan ke-17. Sejak usia dini, calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat. Pada awal kemunculannya, Geisha mulai berlatih pada usia sangat muda—3 atau 5 tahun.
Meski jumlahnya tidak sebanyak dulu, namun profesi geisha masih eksis hingga kini. Seiring berjalannya waktu, profesi geisha kerap disalahartikan dalam konotasi negatif, yaitu berkaitan dengan prostitusi. Mitos ini terbentuk sejak zaman masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang.
Tugas utama geisha sebenarnya adalah menemani para tamu (biasanya saat perjamuan makan), terlibat perbincangan dengan tamu, menuangkan sake dan memastikan agar gelas sake tidak pernah kosong, dan menghibur para tamu dengan melakukan pertunjukan seni. Karena seabrek tugasnya itulah seorang geisha dituntut supel, berwawasan luas, dan terampil dalam berkesenian.
Profesi geisha kembali mencuri perhatian publik setelah buku berjudul “Memoirs of Geisha” karangan Arthur Golden, terbit pada 1997. Buku itu bercerita tentang Sayuri, seorang anak dengan mata biru-kelabu yang memesona. Sayuri berasal dari keluarga nelayan miskin. Ayahnya menjual Sayuri ke sebuah rumah geisha untuk bekerja sebagai pelayan. Awalnya Sayuri ingin melarikan diri dari rumah itu, namun nasib berkata lain. Mameha, geisha professional, mendidik Sayuri.
Miho San (50), ibu dengan lima anak yang tinggal di Gion mengatakan, kisah Sayuri tidak mewakili kehidupan Geisha secara keseluruhan. “Banyak juga orang yang tidak miskin yang memang bercita-cita jadi geisha,” kata dia.
Miho San hafal puluhan nama geisha yang melintas di Gion. Dia juga tahu dari kota mana geisha berasal, siapa pelanggan geisha, dan keahlian geisha. “Setiap hari, selama bertahun-tahun, kami datang ke Gion untuk memotret geisha,” kata Miho San. Saat sejumlah wisatawan mulai bosan menunggu geisha, Miho San berteriak, “Itu Geiko nomor satu di Gion! Larilah ke persimpangan jalan, dia akan menyeberangi jalan itu,” kata dia.
Saat mengunjungi Gion, saya berjumpa dengan puluhan turis asal Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Beberapa wisatawan berdiri di depan ochaya, beberapa lainnya jongkok atau duduk lesehan di atas trotoar.
Qatar (26), turis asal Timur Tengah, sangat terobsesi bertemu geisha. Pemuda itu sudah empat hari berturut-turut mengunjungi hanamachi. Dia selalu datang pukul 16.00 – 18.00, waktu di mana geisha akan keluar rumah untuk beraktivitas.
Begitu melihat geisha melintas, Qatar langsung berlari menghampiri pekerja seni itu. Beberapa geisha, dengan ramah mau berhenti dan berpose untuk difoto. Beberapa geisha lain, seperti Kyouka dan Sayaka, terang-terangan menolak dipotret karena mereka tidak suka kehidupan pribadinya disorot kamera. Sudah bukan rahasia umum, memotret geisha tak semudah yang dibayangkan.
“Mereka berjalan seperti bayangan. Sekelebat, lalu menghilang,” tutur Qatar.
Meski mereka tinggal di okiya, bukan berarti tamu harus datang ke okiya untuk melihat geisha. Tamu harus mengundang geisha ke ochaya atau ryotei (restoran tradisional Jepang).
Mengingat saat ini profesi geisha makin kritis, banyak ochaya dan ryoutei yang mengalami kesulitan finansial. Pengelola akhirnya menerapkan sistem yang lebih fleksibel. Bahkan, mereka mulai membuka diri terhadap wisatawan asing. Pada akhirnya, pertunjukan geisha bisa disaksikan lebih banyak orang, bukan lagi menjadi monopoli sekelompok orang saja. Salah satu gedung pertunjukan geisha adalah Gion Corner di Gion, Kyoto.
Saya datang ke Miyakomesse. Saat itu ada dua pertunjukan maiko dengan durasi 30 menit. Saya datang 15 menit lebih awal. Kursi penonton sudah hampir penuh dengan penggemar geisha yang mayoritas orang Jepang.
Saya duduk di belakang sebelah kanan ruang. Saat saya duduk, seorang pria paruh baya yang duduk di bagian depan panggung berdiri. Dia menghampiri saya sambil berkata, “Saya tahu kamu baru pertama kali datang. Silakan duduk di tempat saya,” ujar pria sopan itu.
Kabarnya, orang-orang di Negeri Sakura memang terkenal ramah dan baik hati.
Tepat pukul 15.00, maiko bernama Tomitae, masuk ke dalam ruang pertunjukan. Dia mengenakan kimono warna hijau muda dengan hiasan kepala perak. Setelah memperkenalkan diri, Tomitae menari diiringi musik tradisional Jepang. Dia menggerakkan kipas tangan dengan gemulai dan penuh penghayatan. Gerakan tangan dan kakinya pelan dan anggun. Sesekali bibirnya bergerak, tersenyum simpul.
Saat Tomitae menari, hiasan di kepalanya bergoyang dan berbunyi gemericik. Lengan kimononya bergerak mengikuti irama tubuhnya. Pada akhir acara, Tomitae mengenalkan istilah-istilah kimono yang dia kenakan. Sambil mengangkat lengannya, Tomitae menunjukkan detil-detil tekstur dan motif kimono.
Selama pertunjukan tarian geisha berlangsung, penonton dilarang mengambil gambar atau merekam video. Penonton hanya boleh memotret selama lima menit sebelum dan setelah pertunjukan berjalan. Pembawa acara menjelaskan, tanpa alat perekam penonton bisa fokus menikmati pertunjukan.
Tanpa alat perekam yang menyorot wajah dan tubuhnya, Tomitae tidak perlu merasa canggung karena kehidupannya disorot orang asing. Geisha pun bisa sepenuhnya hadir sebagai seniman penghibur tradisional Jepang.