Memburu Kenangan Maizuru

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

“Hayaku…hayaku!’ seru Shinji Mashishige dari ujung telpon, menyuruh saya bergegas. Saya mempercepat langkah. Sepuluh menit jelang pukul lima pagi, saya sudah bersiap menanti di depan kampus. Saya tahu mereka terbiasa tepat waktu. Pukul lima tepat, jemputan kami datang. Sebagian besar penumpang merupakan pensiunan tentara dan istrinya. Semuanya orang Jepang, kecuali saya dan dua orang teman saya. Kami berkenalan dengan mereka, yang semuanya lebih cocok sebagai kakek dan nenek saya.

Shinji merupakan lelaki setengah baya yang sangat akrab dengan kami. Berkat Shinji, saya bisa berkenalan dengan Okubo, seorang pensiunan Pasukan Beladiri Angkatan Laut Jepang, Japan Marine Self Defence Force (JMSDF).

Kami dijanjikan memiliki kesempatan berkunjung ke pangkalan JMSDF di Maizuru. Tiga bulan sebelumnya kami diharuskan mendaftar. Persyaratan sedikit rumit, namun kami memahaminya karena kami akan memasuki satu dari empat pangkalan angkatan laut terbesar di Jepang.

Dalam sejarah angkatan laut Jepang, tempat ini memegang peranan penting. Inilah kantor angkatan laut pertama mereka.

Kami tiba di pangkalan militer angkatan laut Maizuru. Bagi pelancong nama Maizuru mungkin tidak setenar Kyoto. Maizuru merupakan kota kecil di pantai Utara Jepang, sekitar 90 menit dari Kyoto. 

Pelabuhan angkatan laut ini berkembang pesat pada 1901 saat perang Jepang-Rusia. Sebagian besar kapal perang berbasis di sini karena posisinya yang sangat dekat dengan Laut Jepang. Usai Perang Dunia Kedua, Jepang melakukan Hikiage, penarikan mundur 6,6 juta lebih pasukannya, Maizuru menjadi pelabuhan utama untuk mengembalikan prajurit Jepang dari Benua Asia pada 7 Oktober 1945 sampai 7 September 1958. Hingga  saat ini pun Maizuru lebih dikenal dengan “Kota Repatriasi”.

Dalam sejarah angkatan laut Jepang, tempat ini memegang peranan penting. Inilah kantor angkatan laut pertama mereka. Kami menuju ke sebuah bangunan dengan sentuhan arsitektur barat. Kami harus meletakkan sepatu kami di luar, dan berganti dengan sandal yang telah disediakan. Terdapat lukisan kuno di dindingnya. “Ini adalah Heihachiro Togo,” ujar Okubo. “Dia seorang laksamana pada saat pertempuran di Shikoku, dengan menggunakan kapal perang Kasuga.” Pertempuran di Selat Tsushima menjadi pertempuran yang mengharumkan nama Heihachiro Togo. Pertempuran ini menjadi pertempuran terakhir dan yang paling menentukan sepanjang perang Jepang-Rusia.

Dalam museum terdapat 32 miniatur kapal berjajar rapi pada rak kaca. Kapal-kapal inilah yang digunakan dalam misi pengembalian tersebut. Diorama tentara jepang yang sedang bertahan dalam dinginnya cuaca saat berada di Rusia, dibuat dalam ukuran sebenarnya.

Di sudut ruangan, dipamerkan surat-surat yang dikirimkan oleh para pejuang kepada keluarganya, dan sebaliknya. Kenangan boleh memudar, namun tragedi peperangan tidak boleh terlupakan dalam catatan sejarah, demikian pesan yang ingin disampaikan.

Kenangan boleh memudar, namun tragedi peperangan tidak boleh terlupakan dalam catatan sejarah, demikian pesan yang ingin disampaikan.

Pada suatu malam, saya mendapatkan sebuah buku dari Komandan Distrik Maizuru, Masahiro Shibata. Buku tersebut menceritakan tentang kehidupan veteran perang. Setelah menjajah Indonesia, tidak semua tentara Jepang memutuskan untuk kembali ke negaranya. Sebagian dari mereka ada yang menikah dengan orang Indonesia. Alasan lain, mereka sudah nyaman tinggal di negara tropis. 

Saya juga berkesempatan mengunjungi Japan Imperial Navy Memorial Hall. Gedung penuh kenangan ini dibangun pada 27 Mei 1964. Salah satu yang paling menarik perhatian saya, lukisan “Fukui-Maru” karya Shotaro Tojo. Lukisan ini menggambarkan pasukan Jepang yang menyelamatkan diri dari kapal yang nyaris tenggelam. Saya takjub, bingkai lukisan ini ternyata terbuat dari bangkai bagian kapal “Fukui-Maru” lengkap dengan teritip yang menempel pada pinggirannya.

Sebuah pengalaman mengenal sepenggal perjalanan sejarah bangsa Jepang dan bersimpati kepada korban perang­, termasuk para serdadunya yang tak pulang.