Bertetirah di Kelengangan Ube

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 08:00 WIB

Dalam bayangan saya, semua kota di Jepang pasti ramai dan padat penduduk, wah pasti menyebalkan harus berada di hiruk pikuk manusia. Bayangan itu sirna, saat saya menginjakkan kaki di Bandara Ube. Suasananya lengang.

Selama perjalanan dari bandara menuju ke kampus saya hanya berpapasan tidak kurang dari 15 mobil. Hanya butuh waktu 10 menit, sampailah kami di kampus Fakultas Teknik, Universitas Yamaguchi. Suhu saat itu sekitar 20 derajat Celcius, masih cukup nyaman untuk berpakaian seperti di Indonesia.

Bukan kota besar, tetapi menurut saya sangat nyaman. Kota ini berada di bagian paling barat dari pulau Honshu. Bila melalui jalur darat, posisi Ube sebagai daerah yang dilalui jalur utama penghubung antara Fukuoka di Pulau Kyushu dengan Tokyo, karena itu tak banyak pelancong yang singgah di kota tenang ini.

Motto Kota Ube, “City of Greenery, Flowers and Sculpture” tergambar nyata dalam wajah kota.

Ube, sebuah kota kecil, terletak di Prefektur Yamaguchi. Kota ini didiami sekitar 175 ribu jiwa. Memiliki bandara yang hanya melayani penerbangan domestik. Perjalanan saya setiba di Bandara Narita, Tokyo, menyambung menggunakan bis sekitar satu jam menuju ke Bandara Haneda. Dari Haneda menuju ke Ube hanya butuh waktu 45 menit penerbangan.

Katayama yang menjemput kami belum banyak bercerita, rupanya setelah menjemput kami, dia harus mempersiapkan kelengkapan administrasi lain yang menunjang kami selama tinggal disini.

Motto Kota Ube, “City of Greenery, Flowers and Sculpture” tergambar nyata dalam wajah kota. Di berbagai sudut kota seakan menjadi ruang pamer bagi koleksi patung yang dihasilkan oleh seniman dari berbagai penjuru Jepang. Bekas-bekas keramaian Ube di sekitar 1970-an terlihat dari gedung-gedung perkantoran dan pertokoan yang lengang. Namun, dalam kelengangan itu justru membuat kami bisa puas menikmati karya-karya pematung yang tertata apik di sepanjang jalan dan taman kota.

Tokiwa Koen atau Taman Tokiwa, menjadi ikon bagi kota Ube, dan sekaligus kebanggaan warga. Beruntung bagi saya, hanya dengan bersepeda lima menit dari kampus, saya sudah sampai ke taman ini. Praktis, Tokiwa Koen menjadi favorit menghabiskan waktu saat liburan, atau hanya sekedar memotret.

Hampir 3.500 pohon sakura memanjakan mata saat hanami, demikian warga Jepang menjuluki aktifitas berkumpul sambil duduk dibawah pohon sakura untuk menikmati keindahan bunganya.

Ketika mendapat kesempatan bertatap muka dengan Kimiko Kubota, Walikota Ube, beliau sempat bercerita bagaimana proses terkumpulnya patung-patung bernilai seni tinggi di taman ini. Awalnya pada 1961 digelar pameran karya pematung yang saat ini menjadi acara tahunan dengan nama “Ube Biennale—International Open Sculpture Competition”. Perwakilan dari warga kota Ube melakukan seleksi pada hasil karya patung yang dikirimkan peserta. Karya yang dianggap layak akan dipajang di Tokiwa Koen. Koleksi lama bisa dipindahkan pada sudut kota yang lain. Sampai saat ini lebih dari 403 karya pematung tersebar di Kota Ube.

Kota ini mulai berkembang pada 1951 dengan ditandai peningkatan jumlah penduduk yang berurbanisasi dari daerah sekitar. Permasalahan yang sangat mengganggu adalah penurunan kondisi lingkungan akibat polusi udara merupakan hal yang tak terhindarkan.

Namun, pemerintah kota, menerapkan peraturan yang ketat bagi pembuangan limbah pada pabrik-pabrik. Saat ini berkat kerja keras seluruh aparat dan masyarakat Ube berhasil menurunkan emisi asapnya secara drastis. Sebuah capaian yang patut diacungi jempol.

Saya tak pernah bosan menikmati taman Tokiwa, taman terluas di Prefektur Yamaguchi. Bahkan, taman ini menjadi salah satu lokasi terbaik di Jepang pada musim semi saat bunga sakura mekar. Hampir 3.500 pohon sakura memanjakan mata saat hanami, demikian warga Jepang menjuluki aktifitas berkumpul sambil duduk dibawah pohon sakura untuk menikmati keindahan bunganya. Masa mekar bunga sakura sangat singkat hanya dua minggu. Maka, tak heran orang Ube selalu menyempatkan waktu untuk berhanami di Tokiwa Koen.