Pemilihan lokasi prioritas melewati tiga tahap. Pertama:analisis spasial dengan berbekal peta-peta topografi, tata guna lahan, kawasan konservasi, kerusakan lahan, tanah, iklim, perambahan hutan, wilayah administrasi, cakupan DAS Citarum. Kedua, seabrek peta itu ditumpang-tindihkan, yang lantas ditambahkan informasi analisis habitat dari tim Komponen 1 yang melakukan kajian keanekaragaman hayati.!break!
Ketiga, dengan mengacu kriteria dan indikator, tim Komponen 2 melakukan penilaian lokasi. Dari gabungan tiga tahap itu, alhasil lokasi yang pantas menjadi modelrestorasi terletak di Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan Cagar Alam Gunung Burangrang.
Dwi menuturkan bahwa terdapat empat lokasi yang dipulihkan dalam program CWMBC. Di Cagar Alam Gunung Burangrang, seluas 10 hektare; lalu Blok Cinini, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi seluas 25 hektare. “Di Gunung Tilu ada dua lokasi di Blok Gluduk-Kendeng dan Blok Batu Belah. Seluruhnya 30 hektare.”
Lantas bagaimana agar hasil restorasi mendekati ekosistem asli? Upaya restorasi mensyaratkan gambarankondisi akhir ekosistem yang diinginkan.Titik akhir restorasi, kira-kira, dapat berupa ekosistem yang kembali berfungsi seperti semula—sebelum dijamah manusia. Atau, bisa jugamencapai kondisioptimal denganpulihnyabeberapa aspekdalam ekosistem—semisal, hasil restorasi menumbuhkan kembali sumber pakan untuk satwa liar.
Untuk mendapatkan profil kondisi akhir,pemulihan ekosistem dapat mencari panduan dari ekosistem acuan atau ekosistem referensi. “Ada proses menilai habitat asli dengan ekosistem referensi,” ungkap Dwi. Ini juga berarti: penetapan ekosistem referensi merupakan salah satu tahap pentingdalam restorasi. Karena,ekosistem referensi itu yang bakal menentukan tujuan akhir restorasi.
Ekosistem referensi adalahekosistem yang dijadikan contoh untuk menelisik kondisi alam di masa lalu. Wujudnya: profil areal yang tak tergangguatau deskripsi bentang alamasli.Ringkasnya, restorasi hendak menjiplak hutan yang nisbiyah masih asli.
Bisa saja letak ekosistem acuan ini berada disekitar areal yangakan dipulihkan, dengan syaratbelum tersentuh aktivitas manusia.Referensi juga dapat ditelisik darilaporan survei, peta, citra satelit, dan foto udaradari lokasi restorasi sebelum mengalami perubahan.
Langkah-langkah identifikasi dan analisis plot ekosistem referensi dilakukanmelalui beberapa tahap. Pertama, menganalisis data citra satelit untuk melihat bagian kawasan yang diduga masih utuh sebagai ekosistem referensi. Lalu, melakukan cek lapangan dan menentukan plot ekosistem referensi pada titik yangtelah diperiksa di lapangan.
Begitulah. Setelah pemilihan lokasi ekosistem referensi ditetapkan, selanjutnya pembuatan plot ekosistem referensi dilakukan di Cagar Alam Gunung Tilu dan Cagar Alam Gunung Burangrang. Sementara di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, informasi tentang ekosistem alami diperoleh dari kajian pustaka.
Di Blok Gluduk Gunung Tilu, yang hari itu disambangi Ujang dan Wawan, plotreferensi seluas 1 hektare, yang terletak tak jauh dari lahan yang direstorasi. Begitu juga di Gunung Masigit Kareumbi dan Gunung Burangrang, plot referensi juga didirikan untuk menelisik ekosistem asli dua kawasan konservasi itu.
Agar mendekati kenyataan, tim Komponen 2 memirsa keadaan lapangan pada areal plot ekosistem referensi. Di plot ini, tim melakukan survei iklim, uji kesuburan tanah,dan yang paling serius, melakukan analisis vegetasi serta kehidupansatwa liar.
Analisis vegetasi akan menghasilkan sederet daftar spesies kunci yang dijadikan penanda penting penyusun ekosistem hutan alami. Kriteria spesies kunci itu: tumbuh dominan, cepat tumbuh, kemampuan beradaptasi tinggi, memiliki tajuk rapat, serta bunga dan buahnya disukai binatang penyebar biji—misalnya disukai burung atau serangga.