Di sisi lain, juga tumbuh kesadaran bahwa masyarakat yang berpartisipasi tidak akan merasakan manfaat restorasi secara langsung. Tidak ada hasil langsung yang bisa dipetik dari upaya restorasi yang melibatkan masyarakat ini. Restorasi ekosistem memang semata untuk memulihkan habitat satwa liar dan perbaikan fungsi tata air. Ujungnya: menjaga kekayaan hayati dan fungsi daerah aliran sungai.
Untuk mengungkit manfaat ekonomi, program CWMBC mengimbangi upaya restorasi dengan dengan Komponen 3 yang merintis imbal jasa lingkungan. Skema inilah yang akan membangkitkan nilai ekonomi kawasan konservasi demi masyarakat sekitar.
Sederhananya, siapapun yang menikmati manfaat dari hutan mesti memberikan imbalan jasa kepada pihak yang menjaga kawasan konservasi. Tentunya, masyarakat yang melindungi dan memulihkan hutan secara swadaya yang layak menjadi penerima imbal jasa.
Proyek Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) bersifat integratif. Hal itu terlihat dalam upaya restorasi yang melibatkan komponen lain. Partisipasi masyarakat dalam restorasi ekosistem mengajak kelompok Model Desa Konservasi (MDK) yang dikembangkan oleh Komponen 4 di setiap desa.
“Seluruh pekerjaan penanaman pohon memang dilakukan oleh MDK,” tutur Ujang Sukmana.“termasuk pemeliharaan setelah penanaman.”
Dia menuturkan, pekerjaan restorasi itu mulai dari pembersihan lahan, pembuatan ajir, pembibitan dan penanaman. Selain itu, kelompok MDK juga mendapatkan pelatihan pembibitan dan pembuatan kompos. “Bahan kompos dari sampah rumah tangga, sisa sayuran, dan kotoran sapi. Bahkan sekarang sebagian kompos kita jual untuk petani di Sugihmukti dan sekitarnya.”
Dwi menambahkan bahwa dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman sampai perawatan memang dilakukan oleh MDK. “Itu semua swakelola. Bahkan sebelum penanaman, yang dikerjakan adalah penguatan lembaga MDK,” terang Dwi.
Agar tanaman restorasi kelak tidak ditebang, imbuh Dwi, untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi masyarakat, ada upaya rehabilitasi di lansekap produksi yang dilakukan Komponen 4. “Yang di Gunung Tilu yang ditanam pohon kayu putih. Di wilayah lain tergantung permintaan masyarakat,” tambah Dwi.
Pemenuhan bibit juga dapat diperoleh melalui pembuatan persemaian jenisendemikoleh kelompok masyarakat. Bibit-bibit berasal dari biji dan bibit cabutan dari hutan alam setempat. Juga dimungkinkan membeli bibit jika penanaman sangat mendesak,sehingga tak sempat pengadaan bibit melalui persemaian. Hanya saja, pembelian dengan syarat yang ketat,mengingat restorasi ekosistem tidak bisa dengan jenis tanaman asing.!break!
Kelompok MDK juga mengemban tugas menyiapkan kompos melalui progam pemberdayaan masyarakat. Kegiatanini sekaligusikhtiar meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memproduksi kompos.
Setelah segalanya siap, restorasi ekosistem lantas digelar di tiga kawasan konservasi. Buat mencapai lokasi, kadang para penanam mesti berjalan kaki. Blok Ciseoh di Cagar Alam Gunung Burangrang misalnya.
Lokasi blok dapat dicapai dengan kendaraan roda empat atau roda dua, sekitar 30 menit dari ibukota kecamatan sampai Desa Cihanjawar. Setelah itu, dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar dua jam. Jarak blok restorasi di Desa Cihanjawar ini dari pusat kecamatan sekitar 14 km.
Akses menuju blok restorasi berupa jalan aspal sampai dengan jalan utama desa. Setelah itu,mesti berjalan kaki melewati persawahan dan hutan sampai blok restorasi.Jalannya sempit, menanjak, dengan tikungan tajam.
Di blok-blok yang telah ditentukan, kegiatan restorasi dilakukan: dari mulai penataan batas blok, pembuatan jalur tanam, pembersihan lahan, penggalian liang tanaman hingga penanaman.
Untuk menghindari kerusakan,warga mengangkut bibit dengan kotak dari papan atau keranjang. Alat angkutdisesuaikan dengan keadaan jalan menuju lokasi penanaman. Waktu distribusi bibit: pagi, sore atau malam hari dan sebelum diangkut bibit disiram terlebih dahulu.
Usai penanaman, pekerjaan masih berlanjut. Setelah satu bulan, bibit akan dipelihara dan dirawat. Pekerjaan ini meliputi penyiangan, pendangiran dan penyulaman. Jumlah bibit untuk penyulaman sekitar 10 persen dari jumlah yang ditanam.
Hampir semua kawasan yang dipulihkan ditanami bibit rasamala dan puspa. “Rata-rata kawasan konservasi di pegunungan memang itu spesies yang dominan,” terang Kusmara, counterpart Komponen 2 dari Balai Besar KSDA Jawa Barat. “Tapi memang ada beberapa jenis yang hanya ada di kawasan tertentu. Di Gunung Tilu misalnya, harus ada tanaman untuk sumber pakan owa jawa.”Ada juga jenis-jenis taritih, huru, mara, kihujan, baros, ki sirem, kuray, dadap ataupun saninten.
Dari hasil pemantauan dan evaluasi, Kusmara mengisahkan, rata-rata di atas 70 persen tanaman berhasil hidup. Secara rinci, pada tahun kedua, keberhasilan tanaman di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi mencapai 96 persen; di Gunung Burangrang, 71 persen; di Gunung Tilu, 99 persen di Sugihmukti dan 72 persen di Sukaluyu.
Pengembangan pilot restorasi di tiga kawasan konservasi itu menghasilkan lima model pemulihan ekosistem. Model pertama: restorasi kawasan konservasi yang terdegradasi, yang disebabkan kerusakan ringan. Teknik restorasinya dengan mekanisme restorasi alami.
Model kedua: restorasi kawasan konservasi yang terganggu, tingkat kerusakan sedang akibat perambahan untuk pertanian. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi.
Model ketiga: kawasan konservasi yang terganggu spesies invasif. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi. Model keempat: restorasi kawasan konservasi hutan monokultur. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi. Dan model kelima: restorasi kawasan konservasi yang terdestruksi. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi.
Komponen 2 juga diamanatkan untuk menyusun peta jalan (roadmap) restorasi di tujuh kawasan konservasi. Inilah yang akan menjawab pertanyaan tentang data luas kawasan konservasi yang rusak, tingkat kerusakan, seperti apa ekosistem restorasinya, bagaimana caramerestorasi, seberapa lama serta kisaran biaya restorasi.Peta jalan ini menjadi bekal bagi Balai Besar KSDA Jawa Barat dan para pihak untuk melanjutkan restorasi di tujuh kawasan konservasi.