Antara Perth dan Jakarta

By , Rabu, 22 Juni 2016 | 15:00 WIB

Wooong wooong woooong…. suara aneh itu menyusup diantara angin malam yang berhembus di Elizabeth Quay, Perth, Australia Barat. Saya penasaran, suara apa itu.  Di ujung jembatan yang melengkung, seorang pria gondrong meniup semacam alat musik yang menyerupai pipa panjang. Pipinya kembang kepis mengalirkan udara yang lantas masuk ke dalam alat musik  dan menghasilkan bunyi-bunyian yang khas.

 Sementara mulutnya sibuk mengolah udara, kedua tangan pria itu memainkan alat musik pukul, menghasilkan kombinasi nada yang unik. Pria itu sedang meniup didgeridoo alat musik tiup tradisional penduduk asli Australia, bangsa Aborigin. Panjang didgeridoo berkisar 1 hingga 3 meter dengan bahan baku utama dari batang pohon Eucalyptus.

Namun paras pria itu tidak mencerminkan rupa bangsa Aborigin, yang mirip dengan orang Papua. Pria itu mengaku bernama Hiroh, berasal dari Jepang. Hiroh travelling keliling dunia sambil mengamen, memainkan alat musik untuk mencari uang. Perth adalah semacam bejana perlarutan dari berbagai ras dan budaya. Kita dengan gampang menemukan berbagai orang dari bermacam ras dan suku bangsa dan saling menghormati identitas masing-masing. Saya mendengar cerita dari Ryan Zaknich, pemilik Two Feet & Heartbeat Tour, bahwa Perth memiliki ikatan sejarah dengan Jakarta.

Pada kisaran 1600an para pelaut dari Eropa berlomba-lomba menuju ke kepulauan Nusantara, mereka berburu rempah-rempah dan hasil bumi. Jalur biasanya dari Eropa menempuh Tanjung Harapan di ujung Afrika lalu menyisiri pantai Timur Afrika ke arah India lantas sampailah ke Batavia, pusat perdagangan di Nusantara. Pada 1610 pelaut VOC,  Hendrik Brouwer memanfaatkan angin barat yang kencang dikenal dengan Roaring Forties, melintasi Samudera Hindia menuju pantai barat Australia lantas mengarah ke utara sampailah di Batavia.

Rute ini 6 bulan lebih singkat. Tapi wilayah Australia atau yang dulu dikenal sebagai New Holland belum banyak dieksplorasi dan dipetakan sehingga banyak kapal VOC yang tenggelam di pesisir barat. VOC sebagai perusahaan transnasional terbesar saat itu bahkan bias mencetak uang dan membentuk tentara, mengutus Willem de Vlamingh untuk memimpin ekspedisi ke pantai barat Australia dalam rangka mencari kapal Ridderschap van Hollad.

Pada tahun 1694, Ridderschap dengan 325 penumpang dan awak berlayar menuju ke Batavia namun tidak pernah sampai dan diperkirakan tenggelam di pantai barat Australia.Menurut informasi dari situs Museum Australia Barat, tercatat pada 1697, Willem de Vlamigh memasuki sungai lebar yang banyak dihuni oleh angsa hitam atau Black Swan. Willem lantas memberi nama sungai tersebut sebagai Zwannenrivier atau Swan River.

Denyut kehidupan Perth sangat terkait dengan Swan River. Dengan populasi dua juta penduduk yang menghuni Perth, pembangunan ibukota negara bagian Australia ini terus menggeliat.Keselarasan dengan lingkungan sangat diperhatikan. Ketika mengikuti Two Feet Tour, saya sering mendengar kicauan burung disela deru mobil yang lalu lalang. Swan River ditata sangat apik, airnya jernih. Berbagai aktivitas air bisa dilakukan seperti berenang, memancing, berlayar, mendayung. Angsa hitam yang menjadi kebanggaan Perth gampang ditemui. Salah satu titik terbaik menikmati Swan River adalah kawasan Elizabeth Quay, dimana saya bertemu dengan pengamen sekaligus traveler, Hiroh.!break!

Camar laut beterbangan dengan santai diantara pengunjung café. Jalur khusus sepeda dibangun mengelilingi metropolitan Perth bahkan hingga keluar kota. Perth menjadi kota idaman bagi penggemar gowes. Trotoar yang lebar dan aman, para pejalan kaki bisa berjalan dengan nyaman. Mungkin kondisi nyaman ini yang menginspirasi Ryan Zaknich untuk mendirikan Two Feet Tour, mengajak para wisatawan berjalan kaki menikmati Perth dari sisi sejarah, seni budaya termasuk dari sisi kuliner yang tersaji di berbagai restoran, kafe maupun bar unik. Salah satu bangunan kuno yang saya lihat adalah Gedung Pengadilan Tinggi, Supreme Court yang dibangun pada tahun 1903.

Tidak jauh dari Gedung Supreme Court berdiri Katedral St George yang dibangun sejak 1879. Dinding Katedral dibuat dari batu bata merah dengan gaya arsitektur ala jaman Victoria. Katedral St George merupakan gereja Kristen Anglikan.Ryan juga mengajak rombongan untuk melihat Gedung Kantor Pos Perth yang terletak dikawasan pusat bisnis. Gedung kantor pos ini selesai dibangun tahun 1923 dengan bahan bangunan dari batu. Ketika pertama kali digunakan, gedung kantor pos ini adalah bangunan terbesar di Perth kala itu.

Tidak jauh dari gedung kantor pos terdapat London Court. Meski menyandang nama Court namun London Court tidak ada kaitannya dengan hukum tapi malah berhubungan erat dengan perdagangan. Dibangun  oleh salah satu pengusaha tambang emas terkaya saat itu, Claude Albo de Bernales yang berasal dari Inggris. London Court adalah semacam kawasan perdagangan sekaligus tempat tinggal, bila kini mungkin semacam kompleks ruko, rumah toko.Bangunan bertingkat empat memanjang dengan jalan selebar tiga meter di tengahnya.Gerbang masuknya tinggi melengkung dilengkapi dengan teralis besi yang bisa ditarik ke atas, mirip dengan gerbang kastil.Kini London Court disesaki oleh café, toko perhiasan dan permata, toko pakaian dan toko aneka aksesoris.