Membangun Mimpi di Swan Valley

By , Jumat, 24 Juni 2016 | 10:00 WIB

Salah satu impian terliar setiap petualang barangkali menemukan cinta di sudut jalan negeri asing, dan membawanya pulang untuk mewujudkan mimpi-mimpi. Jarak lintas samudra serasa mudah dilipat.

Saya mencuri cerita kecil itu di gudang keluarga Pearse yang dipenuhi deretan tong dari kayu oak. Aroma manis anggur yang mulai terfermentasi menguar samar di udara, memenuhi sudut-sudut ruangan beton dingin minim cahaya. Dengan sorot mata penuh nostalgia Laura membagi sejarah pribadinya. Tentang bagaimana ia yang berasal dari dataran Inggris Raya berakhir di Swan Valley sebagai pemilik Upper Reach Winery bersama suami terkasihnya.

Laura bertemu Derek Pearse di London, lalu jatuh cinta pada rencana besar Derek. Impian tentang menanam ulang kebun anggur milik keluarga Pearse di Swan Valley, Western Australia, sampai membangun sendiri winery miliknya. Ia menerima pinangan Derek dengan kesadaran bahwa ia harus rela meninggalkan keriuhan kota London, ditukar dengan sunyi perdesaan Swan Valley. Kesadaran yang justru memicu debar petualangan dalam dirinya. Sepasang pemimpi itu pun bermigrasi ke kampung halaman Derek demi kualitas hidup yang lebih baik. Mengikuti jejak imigran Kroasia dan Eropa lain yang mengubah wajah komersial Swan Valley. Mempersempit gerak hidup pemilik tanah yang selama 40 ribu tahun tinggal dan merawat bumi mereka, kaum Aborigin Noongar.

Upper Reach milik pasangan Pearse adalah satu di antara 40 perkebunan dan penyulingan anggur yang ada di Swan Valley. Region yang dikenal sebagai kawasan penghasil bahan makanan pertama di Australia. Kedua mata Laura berkaca-kaca saat bercerita bagaimana ia dan Derek membangun Upper Reach di distrik Baskerville 20 tahun yang lalu.!break!

“Kami memutuskan untuk mengganti semua tanaman anggur milik keluarga Derek dengan yang baru. Bukan hal yang mudah saat itu. Yah, segala sesuatunya terasa sulit pada awalnya,” kenang Laura di teras kafe hidangan Australia yang juga tersedia di Upper Reach.  Pandangannya mengarah jauh ke petak-petak rapi tanaman anggur kebanggaannya. Segerumbul anggur merah mengilap di bawah terik. Hamparan emas hijau penentu arah kehidupannya.

“Apa yang paling berbeda dibandingkan London saat pertama pindah ke sini?” selidik saya.

“Matahari yang menyengat dan musim panas yang panjang!” jawab Laura sambil tertawa. “Saya harus berusaha lebih keras untuk menyesuaikan diri saat itu. Butuh waktu tiga tahun untuk membiasakan diri dengan cuaca, budaya yang berbeda, dan perilaku masyarakat Australia dengan standar nilai yang juga berbeda. Setelah tiga tahun, semua jadi terasa lebih mudah. Saya mulai terbiasa jauh dari keluarga besar, hidup ala Swan Valley, dan tentu saja dengan cuaca panas itu.”

Kecintaan Laura pada hidup damai ala Swan Valley terlihat dari caranya bercerita tentang apa saja yang bisa dilakukan pengunjung di Upper Reach. Ia bahkan menawari saya menginap di spa cottage milik Upper Reach jika ada waktu. Fasilitas yang memang disediakan untuk pengunjung yang ingin merasai malam di tengah hening perkebunan anggur. Menyesap memori metamorfosis anggur tinggalan koloni. Visi yang ada dalam benaknya adalah memberikan kesempatan untuk siapa saja yang ingin tahu tentang bagaimana roda hidup di perkebunan anggur diputar. Terkadang, merasai hidup cara lain membuat kita tahu kesenangan kecil apa yang surut dari keseharian milik kita.!break!

Swan Valley bisa ditempuh 20 menit berkendara dari Perth. Beberapa perkebunan anggur berusia ratusan tahun berkumpul di kawasan ini, membuat Swan Valley menjadi kawasan penghasil wine tertua di Western Australia. Rata-rata masih dikelola oleh keluarga keturunan Eropa yang pertama menetap di sana. Potensi tanah Swan Valley sudah diprediksi oleh Kapten James Stirling dari daratan Inggris yang pertama kali mendaratkan perahunya di sini tahun 1827 setelah menyusuri Sungai Swan. Seorang botanis bernama Thomas Waters merealisasikan prediksi itu hingga akhirnya Swan Valley memproduksi wine pertamanya tahun 1834.

Jika dilihat dari udara, barangkali region Swan Valley ini dikepung kepulan makanan hangat dan embun dingin minuman buah segar. Masing-masing pengerajin makanan dan minuman berusaha memproduksi selezat mungkin produk. Berkeliling Swan Valley memang berakibat kelaparan yang akut. Setiap pertanian, perkebunan, dan dapur restaurant saling belanja dari tetangganya. Mengisi sepen makanan mereka dengan sebanyak mungkin produk lokal Swan Valley. Entah itu kebun anggur, peternakan, kedai kopi, restaurant modern, rumah penghasil madu, sampai produsen nougat. Mereka sadar itu cara utama untuk berkembang bersama sebagai wilayah produksi dan wisata. Saling menjaga dan bertahan, agar selalu ada pekerjaan bagi warga setempat. Selain rasa bangga yang kentara sekali terhadap kualitas bahan makanan yang tumbuh di sekitar mereka.

“Cara hidup yang relaks dan masyarakat yang hangat membuat saya betah. Tempat yang cocok dan kondusif untuk membesarkan anak-anak kami. Ruang terbuka yang luas, horizon yang terbentang dikelilingi suasana alam, saya tidak yakin bisa betah tinggal di Inggris lagi setelah ini.”

Caranya bercerita seperti ajakan terselubung untuk mengikuti jejaknya. Setiap orang pada akhirnya akan memilih, di belahan bumi bagian mana ia merasa menjadi manusia seutuhnya. Berkawan dan bersenang-senang bersama semesta hingga tutup masa.