Dibarengi candaan berbahasa Inggris, ia mendekap satu demi satu anggota keluarga berambut pirang di pintu depan rumah makannya. Setelah mengantar mereka masuk ke dalam mobil, ia pun berbalik. “Eh, apa kabar, Dik,” katanya menyapa saya. “Aduh, maaf tadi tidak lihat karena kedatangan teman asal Belanda. Tahun lalu mereka makan disini, tahun ini datang lagi dan langsung kemari begitu selesai check-in hotel,” urainya dengan sumringah. Senyum ramah bergayut di wajahnya.
Ni Nyoman Supadmi, pemilik Warung Eny’s. Di Jalan Petitenget, Seminyak, yang sesak oleh hotel dan restoran mahal, hanya inilah satu-satunya rumah makan yang menghidangkan makanan Bali. “Yang pemiliknya juga orang Bali,” sambungnya dengan terbahak. “Semua restoran di ruas jalan Petitenget empunya bule. Di depan ini sebentar lagi buka restoran milik orang Jepang, di sisi utaranya milik orang Perancis, di sebelah saya punyanya Australia.”
Warung Eny’s tampil tak sebenderang restoran lain di Petitenget, meski letaknya di tikungan jalan nan sibuk. Alih-alih punya sofa atau dekorasi modern, tembok putihnya sudah kusam, ruangan dalam beraroma bumbu berpadu dupa sembayang. Hiasan pelepah nyiur direntangkan saling-silang di langit-langit. Pada dinding sebelah selatan ratusan foto bidikan tahun sembilan puluhan ditempeli berjejal tanpa kaca. Nyaris seluruhnya wajah-wajah tamu asing.
Ia kemudian menyodorkan kartu menu. Saya melihat daftar serba masakan Bali. Ada babi guling, bebek betutu, lawar, tum, sate lilit.
“Warung ini berdiri tahun 1993, seumuran dengan Ni Luh Susaniasih, anak pertama saya,” ia mulai berkisah sembari tangannya lihai memilah-milah bawang, kencur, jahe, lengkuas, kunyit, kemiri yang dihaluskan bersamaan sebagai bumbu dasar sate lilit, hidangan yang saya pinta.
“Semua restoran di ruas jalan Petitenget empunya bule. Di depan ini sebentar lagi buka restoran milik orang Jepang, di sisi utaranya milik orang Perancis, di sebelah saya punyanya Australia.”
“Cuma kami yang jual makanan saat itu. Di timur dan selatan warung masih sawah semata. Sunyi. Kendaraan bermotor sulit. Listrik juga belum, saya pakai petromak. Tapi jualan sampai jam sebelas malam. Selesai jualan, langsung ke pasar Badung untuk belanja lagi.” Kata-katanya terhenti. Ia seakan menyadari perubahan lingkungan yang terjadi, memandang sepintas ke luar, kemudian sambungya lagi, “Sekarang sawah-sawah sudah hilang, tiap menit kendaraan lalu lalang. Aneh, dulu jalan hanya satu arah namun adem dan gampang kesana-kemari. Sekarang banyak jalan, tapi di gang-gang pun bisa macet. Saya sudah sulit ke pasar. Jadilah daging dan sayuran diantar kesini. Sebenarnya lebih suka belanja di pasar. Tapi ya, sudah, tidak gampang lagi.”
Ni Nyoman Supadmi punya empat juru masak. Semua pandai meramu masakan Bali, yang dipelajari dari rumah masing-masing. Orang Bali manapun, kata Ni Nyoman, musti tahu memasak masakan daerahnya. Lekatnya kehidupan komunal yang melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kegiatan tiap banjar (dusun) memberi andil keberlanjutannya unsur-unsur pembentuk budaya Bali, termasuk perihal makanan. “Karena orang Bali, meski kerja dan tinggal di kota, tetap harus sembayang di banjar kampung asalnya, punya tanggung jawab disana. Jadi, selama orang Bali masih ada, maka lawar, sate lilit, tum, betutu, dan babi guling pun akan tetap ada,” ujar Ni Nyoman dengan keyakinan penuh.
Makanan Bali memang khas. Sate lilit, misalnya, punya perbedaan yang kentara dibanding sate-sate lainnya di Indonesia. Bila umumnya sate berupa potongan daging kecil-kecil yang ditusuk pada lidi, wujud sate lilit yang sudah ada sejak berabad-abad silam ini justruh merupakan adonan daging berbumbu yang ditempelkan menyerupai kepalan pada tusuk sate. Ukuran tusuk satenya pun lebih besar dari tusuk sate biasa, dan acapkali diganti dengan batang Serai, menebarkan aroma sendiri. Karena bumbu-bumbu sudah ada dalam adonannya, sate lilit tak perluh lagi disirami kecap atau bumbu kacang.
Jadi, selama orang Bali masih ada, maka lawar, sate lilit, tum, betutu, dan babi guling pun akan tetap ada,” ujar Ni Nyoman dengan keyakinan penuh.
Di Warung Eny’s, Ni Nyoman menghilangkan merica dan cabai dalam adonannya. “Sebagian besar pengunjung warung ini adalah tamu asing, mereka tidak mampu makan yang pedas,” kilahnya. Sebagai alternatif, dia menyediakan sambal terpisah, bila ada yang meminta. “Pastinya, saya kasih Sambal Matah, sambal asli Bali.”
Jalan Petitenget menyimpan banyak kenangan bagi Ni Nyoman. Awal tahun 1990-an dia mulai membuka warung disini, kecil ukurannya, menjual makanan bagi para tukang bangunan lokal yang menggarap proyek hotel baru. Saat malam menjelang hanya suara Kodok dan Jangkrik beradu nada. Suaminya bekerja sebagai karyawan hotel. Setelah bertahun menabung, mereka memperbaiki warung dan membeli sepeda motor untuk membantu transportasi.
“Tahun 2003 suami saya berhenti bekerja, dan memutuskan sepenuhnya untuk bersama saya mengelola rumah makan ini. Kenalan kami, orang Jerman, memberi saran padanya, bahwa rumah makan ini bisa menghidupi keluarga kalau dikerjakan bersama. Benar, Sang Hyang Widhi Wasa membantu kami, hingga sekarang, bahkan anak saya Ni Luh itu sudah memberi tiga cucu.”
Tidak ada promosi yang dilakukan Ni Nyoman guna menggaet pengunjung. Ia hanya mengandalkan otetitas serta kualitas masakannya, sikap santun melayani tamu, dan rekomendasi dari mulut ke mulut yang ditularkan pengunjungnya. Kebanyakan yang pernah ke Warung Eny’s datang kembali di kunjungan berikutnya. “Seperti keluarga dari Belanda tadi. Dulu hanya suami-istri, hari ini datang beserta anak dan menantu,” ujar Ni Nyoman.
Lantaran sangat memperhatikan soal layanan ke tamu, ia menampik godaan untuk membuka cabang rumah makannya. Ia yakin makanan bukan hanya sebagai penghapus rasa lapar. Orang butuh lebih dari itu: Penerimaan, suasana, dan citarasa. “Saya adalah perempuan Bali, tata sikap saya mewakili Bali. Makanan yang saya masak pun merupakan senyawa Bali yang lain. Warung ini tidak akan diubah wujudnya, Dik. Kursi yang kamu duduk adalah kursi yang sudah ada sejak awal warung ini berdiri. Kursi-kursi lain dibuat mengikuti kursi yang kamu duduki itu,” tawanya.
Oh, saya tidak menduga!
Ni Nyoman tak hanya memberi saya sate lilit, tapi mempersilahkan saya mencoba Betutu dan Tum bikinannya. Saya dan suaminya berbicara tentang bermacam restoran di sekitar Petitenget, termasuk bagaimana pengelolaan Warung Eny’s jika kelak mereka menua nanti. “Memang, cepat sekali perubahan terjadi disini. Tidak masalah berada di antara restoran asing. Di warung kami, makanan Bali akan terus terasa makanan Bali. Begitupun keluarga kami, tetaplah Bali. Anak-anak kami akan menjaganya tetap sama.”
Saya kemudian beranjak ke Pantai Petitenget. Memandang lautan yang berubah merah bagai darah ketika Surya terbenam. Kehidupan pantai ini berdenyut, oleh wajah-wajah baru dari berbagai pelosok bumi. Musik rancak bertalu dengan angin, menerbangkan bau makanan dari restoran makanan negeri seberang. Namun saya teringat sate lilit. Ni Nyoman Supadmi, wangi batang Serai yang menguar dari baluran daging hangat, ruangan remang dengan foto-foto tahun sembilan puluhan, tak ketinggalan sapa pemilik kedai yang ramah. Di pojok Jalan Petitenget No.9 itu, tempat ingatan akan masa nyanyian kodok sebelum berganti suara klakson kendaraan, tempat rasa Bali terhidang purna.