Dua ekor burung gereja mencuri pandangan saya. Mereka hinggap di lantai, lalu mengumpulkan dedaunan kering berwarna cokelat muda entah dari mana asalnya. Saya ikuti ke mana mereka mengudara. Satu burung gereja hinggap di bawah kaki patung Santo Ignatius Loyola, dan satu lagi hinggap di kepala salah satu patung pengarang Injil, di atas mimbar pengotbah.
Saya pun duduk tergeming di bangku umat, mendengarkan riuhnya suara mereka. Saya pertama kali menjejakkan kaki di dalam Gereja Katedral Jakarta saat di bangku sekolah. Namun, rasanya dulu tak ramai begini. Saya menyampaikan perasaan kepada pada Lili Jong, staf Museum Katedral. “Ah, rasanya biasa saja. Apa memang lebih ramai, ya?” ujarnya ragu.
Pikiran saya melayang-layang ke masa silam. Saat itu, bersama teman-teman satu kelas dan guru pelajaran agama di SMA, berjalan kaki dari sekolah yang letaknya tepat di sebelah Gereja Katedral, untuk mengikuti kegiatan di sini.
Kemudian, kala tiba waktunya kembali ke sekolah dan meneruskan pelajaran, saya termasuk salah satu murid yang sengaja berlama-lama duduk, tepat di tempat yang saya duduki kini. Saya tersihir oleh pesona interior gereja dalam keheningan. Ada perasaan damai yang dalam dan merasuki hati. Saya suka sekali tempat ini.
Meninggalkan burung gereja yang sibuk dengan sarangnya, saya pun berkeliling, mengamati hal-hal yang belum sempat saya cermati, dulu. Mimbar tempat burung bertengger yang disebut mimbar pengotbah tadi, ternyata sudah ada di sini sejak 1905. Awalnya, saya kira atap mimbar yang berbentuk seperti kulit kerang dengan pola sulur yang cantik ini, adalah ornamen biasa. Ternyata, atap itu berfungsi sebagai pemantul suara.
Menurut Susyana Suwadie, Ketua Museum Katedral yang menemani saya berbincang mengenai sejarah gereja, kini mimbar masih digunakan pada waktu-waktu tertentu, untuk pembacaan Injil. Saat mendekat, saya juga baru sadari bahwa kaki mimbar ini dihiasi oleh kepala-kepala setan yang menyeringai.
Sementara itu di pojok belakang, terdapat sebuah Pieta: Patung Bunda Maria bersama jenazah Yesus, hadir di gereja ini pada 1958. Sebelumnya, sebuah Pieta lain sempat terbakar akibat lilin.
Sejak kecil, Katedral selalu saya lewati setiap hari, saat hendak pergi ke sekolah. Dari kecil pula ayah saya menunjukkan dua menara gereja yang khas bentuknya: menara di sebelah utara disebut sebagai Benteng Daud yang melambangkan Maria sebagai perlindungan terhadap penguasa kegelapan, serta Menara Gading, yang melambangkan keperawanan Maria lewat gading yang putih dan murni.
Namun, kini saya baru menyadari, gereja itu memiliki menara ke tiga, sebuah menara yang lebih pendek bernama Angelus Dei. Menjulang 60 meter ke langit Jakarta. Katedral ini pernah menjadi bangunan tertinggi di kota ini.
Nama resmi Gereja Katedral Jakarta sebenarnya adalah De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming atau Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga. Sebenarnya, jika kita kembali ke zaman Hindia Belanda dan berbicara mengenai Katedral, maka bukan gereja inilah yang menjadi perbincangan.
Sejatinya, Gereja Katedral pertama diresmikan pada Februari 1810, terletak di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Namun, 16 tahun setelah ia berdiri, gereja itu ikut terbakar bersama rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Akhirnya, Gereja Katedral Jakarta yang kita kenal sekarang ini dibangun untuk kemudian diresmikan pada 1901.
Gereja Katedral digambar oleh Imam Antonius Dijkmans, sedangkan batu pertamanya diletakkan pada 1899 oleh Provicaris Carolus Wenneker. Arsitek Marius Hulswit pun membangun gedung ini dari 1899 hingga 1901, yang prasastinya ada pada ruangan setelah pintu utama.
Saya kembali memerhatikan altar utama yang disumbangkan pada 1829 oleh Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies. Terdapat pula bejana baptis dari marmer nan mewah yang dibuat pada 1834 atas pesanan Monseigneur Scholten.
Sementara di sayap kanan gereja, terdapat orgel yang dibuat oleh perusahaan Verschueren, Belgia, dan dibawa ke Jakarta pada 1988. Ternyata, demi memasang orgel seribu pipa ini, didatangkanlah tiga insinyur dari Belgia.
Setelah Susyana dan Lili pergi, saya kembali ke bangku umat. Saya duduk lagi sambil menikmati suasana keagungan gereja ini. Serombongan turis datang dan berkeliling ruangan untuk mengambil gambar. Tak lama, saya pun kembali larut dalam perasaan damai.