Berikut ini adalah sepenggal kisah para relawan di daerah bencana, khususnya Merapi. Ikuti suka dan duka mereka di sana. Ketahui juga hal yang mendorong mereka untuk menjadi relawan, tantangan, serta pengorbanan mereka.
“Saya ingin jadi relawan ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar," kata Ibrahim Dasilva, relawan yang aktif membantu korban letusan Merapi. Lalu bapak tiga anak ini bercerita kejadian bertahun-tahun silam ketika berlibur di Jakarta,"Saya melihat kecelakaan kereta api di Bintaro. Secara refleks, saya ingin menolong. Namun karena waktu itu saya dipandang masih sebagai bocah, maka petugas pun menghalangi saya untuk memberikan pertolongan."
Para relawan, menurut Ibrahim yang juga Kepala Bagian Data dan Komunikasi, Taruna Siaga Bencana, selalu mendapat jalan dari Tuhan. Ia memberi contoh ketika ia dan kawan-kawan hendak berangkat ke Aceh untuk membantu korban tsunami tahun 2006. Ibrahim dan kawan-kawannya membuat posko di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. "Bukan untuk penggalangan dana tapi untuk menggalan relawan," jelasnya. Tapi buntutnya, penggalangan tersebut berhasil mengumpulkan 60 relawan dan ke-60 relawan tersebut dapat berangkat ke lokasi bencana secara cuma-cuma.
“Saya sadar saya bukan orang kaya, tapi ketika kita dapat membantu orang lain, maka Tuhan akan memberikan kita lebih dari itu," kata pria berkulit sawo matang tersebut. "Menjadi relawan itu tidak ada senangnya, yang ada hanya pengorbanan waktu. Kita meninggalkan keluarga, pekerjaan, namun hal itu kana terbayar ketika kita bisa menolong orang dan orang tersebut memberikan senyuman kepada kita," tambahnya.
Tantangan & pengorbanan
Budi Gemak yang juga berasal dari Pos Logistik dan Koordinasi Relawan Wisma Mahasiswa yang dihubungi via telepon pada Rabu (10/11), menyatakan salah satu kesulitan yang dirasakan para relawan adalah soal ketahanan stamina.
Ibrahim--yang juga jadi relawan untuk membantu korban tsunami di Aceh, Banyuwangi, Pangandaran, serta gempa Makowari, Padang, sampai Perang Timur Tengah--mengatakan kalau menjadi relawan itu kadang dipandang sebelah mata. Faktanya, menjadi relawan itu tidak untuk memperkaya diri seseorang. Sebaliknya, hanya individu yang berjiwa sosial yang tinggi yang terpanggil untuk misi kemanusiaan ini.
Para relawan juga harus meninggalkan keluarga. Ibrahim meninggalkan keluarganya di Surabaya. Untungnya ia mendapat dukungan dari sang istri. "Kalau bencana atau tugas belum selesai, janganlah pulang dulu," kata Ibrahim menirukan istrinya sambil tertawa.
Wiwid, relawan dari Pos Logistik dan Koordinasi Relawan Wisma Mahasiswa, merasa kalau relawan harus punya empati. "Bila saya berada pada kondisi korban bencana, saya pasti merasa terbantu bila ada relawan." Wiwid secara khusus melakukan pendampingan pada anak-anak di lokasi pengungsian.
Sri Yuni mengatakan kalau baru kali ini ia paling sedih melihat korban bencana Merapi. Sebelumnya, ia pernah membantu para korban di berbagai tempat bencana, termasuk lumpur Sidoarjo. Bintang--begitu panggilan akrab Sri Yuni--dan teman-temannya harus mengambil cuti untuk membantu para korban. Setiap hari, Bintang dan teman-temannya yang kebanyakan karyawan pabrik itu, menyediakan makanan bagi para korban di pengungsian.
Dulu kita memiliki pejuang-pejuang yang berani berkorban demi terwujudnya kedaulatan negara Indonesia. Kini para relawan, pria atau wanita, muda atau tua, bersedia meletakkan kepentingan pribadi demi melayani orang-orang kesusahan. Tidakkah mereka patut menyandang predikat "pahlawan"?
Keterangan foto: Ibrahim Dasilva, Kepala Bagian Data dan Komunikasi, Taruna Siaga Bencana.
Teks oleh Sigid Kurniawan & Gloria Samantha