Penggunaan air tanah membutuhkan pengawasan yang lebih baik agar masyarakat yang mengonsumsi bisa aman dari penyakit. Selain itu, konsumsi juga harus disertai tanggung jawab agar efek buruk terhadap lingkungan bisa diminimalkan. Demikian salah satu hasil studi yang digelar oleh International Institute for Environment and Development.Studi yang dilakukan di kawasan urban di Sahara, Afrika serta Asia Selatan dan Asia Tenggara tersebut mendapati kalau sepertiga kawasan urban tergantung pada air "tak kasatmata", seperti air tanah atau sumur, bukan air kasatmata seperti sungai. Artinya, peneliti menjelaskan, ratusan juta orang di negara berkembang sangat tergantung pada air tanah.Menurut peneliti, temuan ini menunjukkan kalau pembuat kebijakan, penyedia air, dan pihak-pihak lain yang terkait belum memperhatikan akses orang-orang miskin di kawasan urban terhadap air bersih yang disalurkan lewat pipa-pipa penyalur air milik pemerintah atau swasta.Nantinya, karena perubahan iklim, peran air tanah akan semakin penting. Demikian menurut Dr Jenny Gronwall yang turut dalam studi. "Makanya, sangat penting untuk tidak lagi mengabaikan air tanah," jelas Gronwall pada siaran pers. Air tanah saat ini sering diabaikan karena dianggap memiliki kualitas yang tidak layak akibat terkontaminasi, apalagi ketika posisi sumurnya terletak berdekatan dengan fasilitas sanitasi."Anggapan itu salah," kata Dr Martin Mulenga, peneliti yang turut serta dalam studi. Ia mengatakan kalau perpindahan mikroba penyebab penyakit lebih kompleks. "Fasilitas sanitasi di dekat sumur tidak otomatis menyebabkan penyakit," jelas Mulenga.Meskipun demikian, para peneliti yakin kalau kualitas air tanah masih bisa ditingkatkan, apalagi kalau air tanah nanti digunakan lebih luas. Mereka juga menyarankan agar pengawasan terhadap penggunaan air tawar harus lebih baik, seperti mencegah kontaminasi oleh polutan. Pengawasan yang lebih baik itu harus menjadi bagian dari rencana kebijakan, khususnya kebijakan dalam pengelolaan air.