Penyebab kematian lima ekor gajah sumatra di Provinsi Riau, Jumat (26/11) malam, diduga karena racun. Peristiwa ini menegaskan konflik antara gajah dengan manusia belum selesai.
Gajah-gajah yang masih berumur di bawah lima tahun ini--terdiri dari empat betina dan seekor jantan--diduga mati karena racun oleh pemilik perkebunan kelapa sawit yang marah karena gajah-gajah sering merusak pertanian dan perkebunan. Meski demikian, penyelidikan sedang dijalankan. Sampel-sampel sedang diteliti untuk memastikan penyebab kematian. “Pemeriksaan medis awal menunjukkan gajah-gajah itu mati karena racun sulfur. Kami masih menyelidiki,” kata Susanto, petugas konservasi.
Laporan Kementerian Kehutanan pada 2007 menyebutkan 65 persen populasi gajah sumatra lenyap akibat dibunuh manusia. Sekitar 30 persen pembuhunan dilakukan dengan racun. Selain itu, sekitar 83 persen habitat gajah sumatra telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.Ruang jelajah yang sempit mengakibatkan berkurangnya makanan bagi hewan yang perlu makanan sekitar 10 persen dari beratnya ini.
“Kami telah memberitahu kepala kabupaten-kabupaten di provinsi Riau untuk melarang petani membuat perkebunan di hutan tempat gajah mencari makanan,” ujar Susanto.
Konflik antara manusia dengan gajah sudah beberapa kali terjadi. Selain kejadian ini, sekelompok gajah mendatangi pemukiman di Bengkalis, Riau di awal tahun. Kedatangan mereka menyebabkan beberapa rumah hancur dan puluhan hektar perkebunan rusak. Demi keamanan, sejumlah penduduk diungsikan ke kantor kelurahan.
Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menghindari persinggungan habitat gajah, yang juga disebut liman, dengan permukiman manusia. Salah satunya adalah konsep pengelolaan Tiga Liman, yakni Bina Liman, Tata Liman, dan Guna Liman. Dengan konsep ini, gajah-gajah ditangkap, dibawa ke pusat pelatihan, dan dimanfaatkan salah satunya untuk wisata. Pada periode 1986 hingga 1995, sekitar 520 ekor telah ditangkap untuk mengatasi konflik manusia dengan gajah. Hewan yang ditangkap ini ditempatkan di enam Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sumatra.
Tiga Liman direvisi karena dianggap tidak berkesinambungan dan dapat memengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Selain itu, Tiga Liman juga mengakibatkan penumpukan gajah di PLG sehingga perlu dana pengelolaan sangat besar.
Seiring terus meningkatnya konflik manusia dengan gajah, pengelolaan gajah kurungan dikembangkan dengan pendekatan inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik. Dalam pengelolaan ini gajah yang sudah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.
Jumlah gajah sumatra (Elephas maximus sumatrenus) di alam liar diperkirakan tidak sampai 3.000. Gajah sumatra dan gajah kalimantan (Elephas maximus bornensis) adalah dua subspesies gajah asia (Elephas maximus) yang jumlahnya terus menurun.
Jumlah pasti tidak diketahui karena tidak ada penelitian dan penghitungan secara sistematis. Pada 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatra dengan menggunakan metode penaksiran cepat (rapid assessment survey). Hasil survei tersebut memperkirakan Gajah sumatra berjumlah 2.800 hingga 4.800 ekor dan tersebar di 44 lokasi.
Hasil tersebut tidak pernah diperbarui secara sistematis kecuali di Provinsi Lampung yang dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) pada tahun 2000. Hasil penelitian komprehensif di provinsi ini menunjukkan Lampung telah kehilangan sembilan kantong populasi gajah dari 12 yang ditemukan pada tahun 1980.
Hingga saat ini, hanya ada dua populasi gajah sumatra yang diketahui jumlahnya berdasarkan survei sistematis pada 2000, yaitu di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 498 ekor dan Taman Nasional Way Kambas 180 ekor.