Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memastikan dana untuk mensubsidi antiretroviral (ARV) HIV/AIDS masih cukup hingga 2015.
Sumber dana subsidi ARV sebagian besar berasal dari program Global Fund for AIDS, TB, and Malaria yang digagas negara-negara G-8. Ketergantungan terhadap dana ini mengkhawatirkan sebab kabarnya, lisensi ARV akan segera berakhir. Jika lisensi ini berakhir, ARV terancam kembali mahal. Lalu, ketika bantuan dana global berakhir, program pemberian ARV gratis kemungkinan akan berakhir.
Meski demikian, Komite Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) memastikan kecukupan dana untuk mensubsidi ARV. KPAN melalui Nafsiah Mboi menjelaskan hingga 2015 masih ada cukup dana dari Global Fund dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk obat tersebut. Sedangkan untuk pencabutan lisensi, menurutnya, malah membuka peluang bagi banyak perusahaan untuk memproduksi dan mendistribusi ARV. "Dengan semakin banyak perusahaan yang memproduksi, harga ARV bisa tetap murah," jelasnya.
Pada tahun 2008, Kementerian Kesehatan mengalokasikan dana sekitar Rp 40 miliar untuk pengadaan obat ARV gratis bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Untuk mendapat obat gratis ini ada persyaratan yang harus dipenuhi, seperti bukti pemeriksaan laboratorium bahwa pasien tersebut terinveksi HIV/AIDS. Persyaratan ini diterapkan untuk menghindari penggunaan ARV secara sembarangan. Karena ARV sangat berbahaya bagi orang yang tidak mengidap HIV/AIDS.
Sampai saat ini, belum ada obat yang sepenuhnya dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Obat-obat yang ada selama ini bertujuan untuk memperlambat infeksi,memperlambat infeksi HIV dan menunda AIDS.
Dalam sel yang terinfeksi, HIV dapat mereplikasi diri dan kemudian menginfeksi sel lain yang masih sehat. Semakin banyak sel terinfeksi HIV, semakin besar dampaknya terhadap kekebalan tubuh. Obat ARV mengganggu dan memperlambat replikasi HIV, dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menghambat atau mengikat enzim yang diperlukan dalam replikasi HIV, seperti ensim reverse transcriptase dan protease.
ARV masuk Indonesia pada 1997, dengan cara diimpor. Harganya saat itu sangat tinggi. Kemudian, ARV generik datang pada 2001 tapi harganya juga masih tinggi, mencapai 1 juta rupiah. Indonesia juga mengimpor ARV generik dari India. Sejak itu ARV dapat dibeli dengan lebih murah.
Pemerintah Indonesia lalu melakukan paten dan produksi obat ARV jenis Efavirenz, Neviraphine, dan Lamivudine dengan tujuan mengoptimalkan akses terhadap obat-obat itu. Karena saat ini telah timbul kekebalan virus terhadap obat lini satu tersebut, pemerintah tengah berusaha mendapatkan paten atas ARV lini kedua, yaitu Tenovovir, Ritonavir dan Didanosin.
Kini, 12 obat-obat ARV termasuk dalam daftar obat penting Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Dengan masuknya ARV dalam daftar penting, pemerintah di negara-negara dengan HIV/AIDS yang tinggi akan berupaya meningkatkan distribusi obat tersebut. Obat ARV yang masuk daftar tersebut adalah Abacavir (ABC), Didanosin (ddI), Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), Zidovudine (ZDV atau AZT), Efavirenz (EGV atau EFZ), Nevirapine (NVP), Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Ritonavir, Saquinavir (SQV), Lopinavir/low-dose Ritonavir (LPV/r).
Diperlukan kombinasi beberapa obat ARV agar pengobatan efektif dalam waktu yang lama untuk mengurangi jumlah HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4+ yakni sel-sel darah putih yang penting bagi sistem kekebalan tubuh. Penggunaan satu jenis ARV membuat virus kebal terhadap terhadap obat tersebut.
Kombinasi biasanya terdiri dari obat penghambat enzim reverse transcriptase dan penghambat protease. Ada juga kombinasi tiga atau lebih obat yang disebut Highly Active Anti-Retroviral Therapy’ (HAART).