Penderita penyakit kulit psoriasis alami penderitaan psikologi

By , Kamis, 16 Desember 2010 | 14:20 WIB

Penurunan kualitas hidup penderita psoriasis, salah satu radang kulit, menjadi perhatian utama para dermatolog. Pasalnya, penyakit kulit yang tidak bisa disembuhkan ini berdampak langsung pada kehidupan sosial penderitanya sehingga akibatkan depresi.
Sebuah studi yang meneliti kecemasan, depresi, dan kualitas hidup pasien psoriasis yang dipublikasikan dalam Journal American Academy of Dermatology, Mei 2010, menemukan bahwa 40,3% pasien psoriasis mengalami kecemasan. Sementara 26,7% lainnya mengalami depresi. Nilai rata-rata depresi dan kecemasan yang dilaporkan para pasien tersebut sebanding dengan daripada pasien yang didiagnosis terkena kanker payudara--beberapa pasien bahkan lebih buruk.
"Dari hasil studi itu terlihat bahwa psoriasis tidak hanya memengaruhi kulit saja. Dampaknya menyebar pada banyak aspek kualitas hidup seseorang," kata Dr. dr. Tjut Nur Alam Jacoeb, Spesialis Dermatologi yang juga Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Psoriasis adalah penyakit kulit radang kulit kronis yang ditandai dengan bercak kemerahan yang tertutup sisik berwarna keperakan berwarna putih bening yang terus menerus mengelupas. Kondisi itu dapat terjadi pada seluruh tubuh, namun lutut, siku, punggung, dan kulit kepala merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena.
Lebih lanjut, Tjut Nur Alam mengungkapkan bahwa penderita psoriasis mengalami tekanan psikologis yang berat. "Dari dalam diri penderita timbul rasa malu dengan kondisi yang dialaminya," jelasnya. Sementara kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai psoriasis seringkali membuat penderita diperlakukan berbeda yang membuat mereka sulit diterima di komunitasnya. "Saya sering membuat surat keterangan bagi pasien saya yang menjelaskan bahwa psoriasis tidak menular supaya mereka tidak kehilangan pekerjaan," tambah dr. Tjut.
Kondisi tersebut ditambah faktor lain seperti beban kerja, lingkungan dengan tingkat polusi tinggi, dan lain-lain turut mendorong peningkatan penderita psoriasis yang mengalami depresi. Terlebih lagi pengobatan psoriasis menuntut kesabaran tinggi karena memakan waktu bertahun-tahun. Data tahun 2006 menunjukkan dari sekitar 100 pasien psoriasis di Jakarta, sebanyak 66% di antaranya mengalami depresi.
Penyebab penyakit ini belum bisa diketahui secara pasti sampai sekarang. Oleh karena itu, obat dan cara penyembuhan psoriasis secara sempurna belum diketahui. Namun penderita psoriasis bisa menjadi mulus karena siklus kekacauan pergantian sel kulit ini kadang-kadang menjadi normal atau dapat diatasi dengan obat. Masa ini dikenal dengan masa remisi.
Untuk mencapai keadaan remisi, diperlukan kerja sama yang baik antara penderita dengan dokter selama masa perawatan. Menurut dr. Tjut, pasien yang ditanganinya biasanya hanya rajin berobat pada 1-2 tahun pertama. "Setelah merasa sudah lebih baik atau sebaliknya, malah frustrasi dan depresi karena penyakitnya tak kunjung sembuh mereka biasanya berhenti berobat dan baru kembali lagi ketika sudah semakin parah," jelasnya.
Ditemukannya ustekinumab, obat baru hasil rekayasa monokronal antibodi untuk penyakit ini membawa harapan baru bagi penderita psoriasis. Dalam studi yang sama ditemukan bahwa ustekinumab dapat memperbaiki secara signifikan gejala kecemasan dan depresi penderita psoriasis tingkat sedang hingga parah. Dampaknya, kualitas hidup mereka juga menjadi lebih baik. Sayangnya obat ini selain belum tersedia di Indonesia harganya pun amat mahal.