Bagaimana musik pengaruhi aktivitas otak?

By , Selasa, 21 Desember 2010 | 12:32 WIB

Mengapa musik tertentu dapat menggugah, sedangkan yang lainnya datar-datar saja?
Ilmuwan dari Florida Atlantic University mengidentifikasi aspek-aspek utama dalam pertunjukan musik yang menyebabkan emosi dengan mempelajari aktivitas otak. 
Para peneliti merekam seorang pianis memainkan Etude in E Major, Op. 10, No. 3, karya Frederic Chopin dengan piano di komputer. Versi ini disebut "performa ekspresif".
Para peneliti juga merekam komposisi yang sama menggunakan komputer, tapi bukan hasil permainan seorang pianis. Versi ini diberi nama "performa mekanik". 
Kedua versi memiliki elemen-elemen musik yang secara rata-rata sama--melodi, harmoni, ritme, tempo, dan kenyaringan. Hanya saja performa ekspresif memiliki perubahan dinamika dalam tempo dan kenyaringan, suatu variasi yang sering digunakan pianis untuk membangkitkan emosi.
Partisipan dalam uji coba ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang yang berpengalaman dalam dunia musik, meskipun mereka belum tentu musisi profesional. "Mereka adalah orang yang pernah terlibat dalam paduan suara atau bermain untuk sebuah band," ujar Edward Large, peneliti utama dalam penelitian berjudul Dynamic Emotional and Neural Responses to Music Depend on Performance Expression and Listener Experience ini. Kelompok kedua adalah orang-orang tidak berpengalaman dengan musik. 
Peneliti menggunakan pencitraan saraf fMRI, yaitu pencitraan magnetik MRI yang mengukur perubahan dalam aliran darah terkait aktivitas saraf di otak ketika para partisipan mendengarkan kedua versi musik yang disediakan. 
Analisis aktivitas otak dilakukan untuk membandingkan respons atas performa ekspresif dengan performa mekanik. Mereka juga membandingkan respons pendengar berpengalaman dengan yang tidak berpengalaman. Efek perubahan tempo terhadap aktivitas otak juga diperhatikan.
Penelitian dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama, partisipan diminta melaporkan perasaan mereka. Kemudian, lanjut pada tahap kedua, mereka ditempatkan dalam fMRI dan diminta berbaring tanpa bergerak dalam alat pemindai dengan mata tertutup. Partisipan diminta mendengarkan kedua versi musik tanpa melaporkan respons emosional mereka. Setelah fMRI, mereka melaporkan lagi emosi yang dirasakan.
Hasil studi yang dipublikasi PLoS One ini membenarkan hipotesis bahwa musik yang dimainkan secara ekspresif oleh manusia memicu emosi dan memicu aktivitas saraf tertentu pada otak. Selain itu, pendengar yang punya pengalaman mengalami peningkatan aktivitas di pusat emosi pada otak.
Hasil penelitian menunjukkan aktivitas saraf yang mengikuti nuansa pertunjukan musik secara langsung. Aktivitas tersebut muncul di bagian otak yang mengatur gerak motorik untuk mengikuti irama musik. Aktivasi bagian sistem saraf cermin, sistem yang pegang peran penting dalam memahami dan meniru tindakan, juga terjadi.
“Sebelumnya, sudah diteorikan bahwa sistem syaraf cermin memberi mekanisme di mana pendengar merasakan emosi penampil (musisi), membuat komunikasi musikal menjadi bentuk empati. Hasil kami cenderung mendukung hipotesis itu,” ujar Large.
Sumber: Science Daily