David Ropeik, konsultan persepsi risiko dan pengarang buku How Risky Is It, Really? Why Our Fears Don’t Always Match the Facts, mengatakan kita lebih takut dengan cara membunuh yang bisa dilakukan hiu. Dimakan hidup-hidup oleh hiu sepanjang 4,5 meter merupakan cara mati yang amat menderita. Namun, ketakutan belum tentu sesuai fakta. Dan rasa takut pada serangan hiu lebih mengarah pada respons emosional dibanding realita.
Secara keseluruhan, kita takut kehilangan kontrol sebagai manusia. Kita tidak ingin rahang predator tersebut menentukan takdir kematian kita.
Baca Juga: Hiu Berjalan dan Puluhan Spesies Baru Lainnya Ditemukan di Laut Papua
Dari mana ketakutan itu muncul?
Rasa takut tidak langsung muncul ketika kita dilahirkan. Itu adalah sesuatu yang berkembang seiring berjalannya waktu. Bayi tidak takut pada ular dan ketinggian, tetapi sebagai orang dewasa, otak kita menjadi lebih sensitif pada stimulans yang menakutkan.
Namun, nenek moyang kita pun memiliki banyak hal untuk ditakuti. Pikirkan kembali bagaimana manusia purba bisa bertahan hidup di habitat primitif. Mereka akan menghindari tebing tinggi dan binatang liar karena tahu kedua hal tersebut mengancam dan bisa membunuhnya. Manusia purba beradaptasi untuk melindungi diri mereka.
“Rasa takut merupakan sesuatu yang kita dapatkan dari nenek moyang. Hiu merupakan binatang buas. Makhluk hidup seperti hewan adalah sesuatu yang rentan menimbulkan rasa takut,” kata Chapman.
Baca Juga: Ahli Biologi Kelautan Temukan Hiu Greenland Tertua, Usianya 400 Tahun!