Film fiksi sains tarik minat belajar

By , Rabu, 29 Desember 2010 | 15:29 WIB

Para ilmuwan sepakat jenis film fiksi sains  ini bisa menginspirasi generasi muda untuk menjadi astronom, ahli fisika, atau ahli biologi.
Dalam pertemuan American Geophysical Union bulan ini panelis yang terdiri dari para ilmuwan, sineas, dan pengamat media satu kata bahwa kandungan sains dalam film fiksi sains tidak harus akurat. Selama film itu bisa menanamkan rasa ingin tahu dalam benak penonton, film itu sudah bagus. Bisa jadi di kemudian hari penonton tertarik untuk mendalami lebih jauh isu-isu sains yang ada dalam film yang ditontonnya.
Film sendiri adalah sebuah media emosional, bukan media yang berfokus pada edukasi, sehingga penonton khususnya anak-anak lebih mudah merekam isinya. Seth Shostak, seorang astronom SETI Institute di Mountain View, California bercerita bahwa sejak kecil ia sering menonton film fiksi sains yang penuh improvisasi dan imajinasi seniasnya. "Tapi itu bukan masalah, karena film-film itu tetap melekat dalam benak saya," ujarnya. Jika sebuah film sudah lekat dalam benak seorang anak, tambahnya, bisa memotivasinya untuk mempelajari sains dan isu-isu saintifik lainnya yang bisa mendorongnya untuk menjadi ilmuwan di masa depan.
Arvind Singhal, seorang profesor ilmu komunikasi di University of Texas, El Paso pun tidak menyangkal pengaruh kuat film. Ia merujuk pada studi yang mengungkapkan bahwa perilaku penonton, terutama anak-anak, seringkali meniru apa yang mereka lihat di layar lebar maupun televisi. "Film, bahkan fiksi sains sekalipun, dapat menciptakan realitas," tegas Arvind.
Salah satu contoh film fiksi sains yang berhasil menanamkan pemahaman pemanasan global kepada orang awam adalah The Day After Tomorrow. Film yang berlatar belakang bencana alam-perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global ini ditonton jutaan orang dan menghasilkan pendapatan kotor 544 juta dolar AS dari penjualan tiket di seluruh dunia. Menurut Sidney Perkowitz, profesor fisika di Emory University, Atlanta yang juga menulis buku "Hollywood Science", film itu benar-benar mengubah pikiran banyak orang tentang pemanasan global.
Sayangnya, perfilman Indonesia masih kering dari film-film fiksi sains. Meski banyak sineas yang tertarik dengan genre yang satu ini, namun mereka masih terbentur kendala klasik untuk mewujudkannya yaitu teknologi dan dana. Menurut Agasyah Karim, sineas muda yang menyutradarai film Gara-gara Bola!, sangat sulit untuk membuat film fiksi sains dengan dana rata-rata pembuatan film di Indonesia yang berkisar Rp2-5 miliar. "Belum lagi kalau kita bicara teknologi, masih banyak yang harus kita siapkan," kata Aga.
Meski demikian, Aga tetap yakin para sineas kita tidak kalah dalam hal ide dan kreativitas. Melihat tren industri film saat ini ia memperkirakan baru 3 sampai 5 tahun mendatang perfilman Indonesia akan memasuki era fiksi sains.