Rasa Jijik Bantu Melindungi Kita dari Patogen

By , Selasa, 22 November 2016 | 08:00 WIB

Rasa jijik yang kita miliki terhadap berbagai hal ternyata bermanfaat. Menurut Valerie Curtis dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, “Kejijikan membuat kita menghindari hewan-hewan kecil yang akan memakan kita dari dalam. Kita berusaha terhindar dari kotoran, dari cairan tubuh, dari lendir, dari makanan yang sudah basi, dari cacing di taman.”

Rasa jijik tidak hanya dimiliki manusia. Cacing nematoda pun dapat mengenali bakteri parasit dalam cawan petri dan bergerak menjauhinya. “Ini adalah hewan sederhana dengan hanya 302 neuron, tapi punya reaksi jijik,” kata Curtis.

Rasa jijik adalah sesuatu yang universal sekaligus fleksibel. Kita dapat belajar merasa jijik terhadap hal-hal baru. Selain itu, intensitas rasa jijik berbeda pada setiap orang dan tergantung pada keadaan.

Tapi, jangan sampai jijik berlebihan. Menurut Curtis, ada tipe kelainan kompulsif obsesif yang diperkirakan dapat menghasilkan sensitivitas kejijikan ke tingkat ekstrem. Contoh ekstrem adalah mencuci tangan berulang kali atau mendidihkan air the berulang kali sebelum diminum.

“Jika saya berkeliling meninggalkan kotoran di halaman depan Anda atau meludah di cangkir, atau membuat bau di transportasi publik, saya mengancam Anda dengan cairan tubuh saya."

Ada yang berpendapat efek berlebihan kejijikan dapat mempengaruhi masyarakat dan membentuk pondasi evolusioner moralitas. “Jika saya berkeliling meninggalkan kotoran di halaman depan Anda atau meludah di cangkir, atau membuat bau di transportasi publik, saya mengancam Anda dengan cairan tubuh saya. Ini semua adalah kebiasaan, tapi juga pertanda tingkah laku moral. Itu semua setidaknya salah satu dari banyak cara moralitas dapat berkembang dalam masyarakat, yakni aturan sederhana untuk tidak membuat orang sakit karena Anda,” tutur Curtis.

Mark Schaller dari University of British Columbia, di Vancouver, Kanada, menemukan bahwa perilaku sosial bisa berubah tergantung pada ketakutan orang terhadap patogen. “Saat ancaman penyakit ditonjolkan, orang-orang menjadi kurang suka bergaul,” tutur Schaller.

Curtis menambahkan, masyarakat dengan risiko patogen yang tinggi cenderung lebih tertutup, memiliki peraturan sosial yang konservatif dan lebih bersifat xenofobia.