Cara paling "manusiawi" untuk hukuman mati

By , Rabu, 12 Januari 2011 | 16:33 WIB

Dari sekian banyak metode, saat ini umumnya tinggal empat macam hukuman mati yang masih digunakan di negara-negara yang masih menerapkan hukuman ini. Suntikan, kursi listrik, tembak, dan tiang gantung merupakan 4 cara mati yang dianggap "manusiawi".
Penelitian ilmiah yang dipublikasikan di Medicalnewstoday.com menyatakan bahwa metode suntik mati adalah jenis hukuman yang paling tidak menyakitkan. Terpidana diikat di sebuah tempat, kemudian anggota tim eksekusi menempatkan sensor di tubuhnya. Ekskusi dilakukan menggunakan dua jarum. Jarum pertama adalah jarum utama, jarum lainnya berfungsi sebagai cadangan. Jarum disuntikkan ke pembuluh nadi di lengan. Setelah itu, selang yang menghubungkan jarum dengan cairan mematikan dipasang.
Suntikan yang dipakai untuk eksekusi mati berisi tiga macam cairan yang meliputi anestesi, pelumpuh otot, dan penghenti jantung. Anestesi dipakai agar terpidana kehilangan kesadaran dan tidak merasakan apa-apa ketika meninggal akibat cairan yagn menghentikan denyut jantung.
Koruptor dihukum mati?
Hukuman mati bagi koruptor di Indonesia disambut pro dan kontra. Demi efek jera, menurut orang-orang yang mendukung. Masih ada hukuman lain yang bisa memberi efek jera, kata orang-orang yang tidak mendukung.
Pada saat diwawancara salah satu stasiun televisi di Indonesia, Jumat (7/1) Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia, Jimly Asshidiqie mengatakan Gayus pantas dihukum mati. Hukuman itu dapat menunjukkan kekuatan hukum Indonesia, demikian tegas Jimly.
Di Indonesia, belum pernah ada pelaku korupsi yang dihukum mati. Negara yang terkenal tegas terhadap pelaku korupsi dengan memberikan hukuman mati adalah China. China melakukan pemutihan. Koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998 dinyatakan bersih. Tapi, jika ada korupsi setelah pemutihan, pelakunya akan dijatuhi hukuman mati. 
Wacana menghukum mati para koruptor di Indonesia sebetulnya sudah agak lama mengemuka. Pada April 2010, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. "Undang-undang sudah mengatur. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya," kata Patrialis dikutip oleh Kompas.com.
Pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono, pada waktu dan tempat yang terpisah, juga menyatakan dukungannya terhadap hukuman mati. "Secara pribadi saya setuju (hukuman mati), dan itu mungkin diterapkan, tetapi ada prasyaratnya, yakni bahwa korupsi yang dilakukan tersangka sudah mengakibatkan keguncangan sistem perekonomian dan perdagangan," kata Darmono ketika berdiskusi di kantor Redaksi Kompas, akhir November 2010. Ketika ada ahli yang menyatakan suatu tindak korupsi menyebabkan keguncangan sistem perekonomian, Darmono mengaku berani menuntut dengan hukuman mati.
Bhatara Ibnu Reza, Koordinator Riset HAM Imparsial, berpendapat lain. Menurutnya, hukuman mati melanggar HAM karena menghilangkan hak untuk hidup yang termasuk dalam rumpun utama hak-hak dasar manusia. "Dalam konstitusi kita, hak untuk hidup ini juga dijamin dalam Pasal 28 (i) UUD 1945," tegas Bhatara yang dihubungi oleh National Geographic Indonesia. Hal ini, lanjutnya, selaras dengan Piagam Hak asasi Manusia PBB (Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena itu, penghilangan hak untuk hidup dengan cara apa pun berarti bertentangan dengan UU.
Efek jera
Bharata juga menyebutkan kalau efek jera yang diharapkan muncul dalam penerapan hukuman mati juga hanya bersifat sementara. "Bahkan untuk beberapa kasus seperti terorisme dan narkotika hukuman mati justru bisa menyulut militansi yang lebih kuat," tegasnya. Pada kasus pidana korupsi dan narkotika, hukuman mati hanya akan memberikan kepuasan sementara kepada masyarakat. "Setelah itu, kejahatan yang sama akan muncul kembali," kata Bharata.
Data dari Polda Metro Jaya juga menunjukkan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Dalam kasus narkoba, banyak pelaku yang dijatuhi hukuman mati, tapi kejahatan narkoba terus meningkat. Menurut Polda Metro Jaya, ada 6.613 kasus narkoba di Jakarta selama 2006, meningkat 50,5 persen dari tahun sebelumnya.
Januari hingga Oktober 2010, Polda mengungkap  24.417 kasus narkoba, dengan rincian kasus narkoba sebanyak 23.820 dan psikotropika 597 kasus. Perhatian khusus untuk peredaran dan penggunaan shabu, dalam 2 tahun terakhir, yakni 2009-2010, mengalami peningkatan dari 9.661 hingga 16.948 jumlah kasus (naik 66,07 persen) 
Bharata juga menjelaskan dampak lain, yakni terputusnya rantai informasi yang bisa digunakan untuk penelusuran lebih lanjut. Dengan dihukum matinya seorang terpidana, maka informasi yang ada pada dirinya juga akan terbawa ke alam kubur. Padahal informasi tersebut sangat berguna untuk membongkar jaringan terorisme, korupsi, atau narkotika hingga ke akarnya.
Mati dua kali
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mengatakan kalau sistem hukuman mati di Indonesia baru dilaksanakan ketika grasi ditolak oleh presiden. "Banyak yang sudah dijatuhi hukuman mati, tapi belum dieksekusi," kata Yenti.
Dia menambahkan, untuk kasus terorisme dan narkotika pelaksanaan eksekusi mati relatif cepat. Sedangkan untuk kasus seperti pembunuhan berencana, seringkali narapidana yang divonis mati harus menunggu hingga puluhan tahun untuk baru kemudian dieksekusi. ""Hal inilah yang ditolak berbagai negara, karena memenjarakan terpidana sambil menunggu eksekusi sama saja menghukumnya dua kali," jelas Yenti.
Penundaan eksekusi hingga waktu yang sangat lama ini dikenal dengan istilah fenomena deret kematian.
Alternatif
Salah satu hukuman yang dianggap dapat memberikan efek jera tanpa harus menghilangkan nyawa adalah hukuman seumur hidup. Namun, penerapan hukuman ini harus sangat ketat agar tidak dimanfaatkan pihak tertentu.
Yenti mengaku pernah menganggap hukuman mati adalah salah satu cara terbaik dalam memberi pelajaran penjeraan. "Namun, setelah melihat hukum Indonesia ternyata mendua dan efek jera tidak terbukti secara langsung, saya mulai berpikir hukuman mati perlu dihapus, cukup dengan hukuman seumur hidup. Tapi dengan catatan: hukuman pidana seumur hidup tidak boleh ditinjau kembali, remisi tidak boleh diberikan. Kalau tidak, akan bahaya," komentar Yenti. 
Latvia memberlakukan undang-undang pemotongan generasi. Semua pejabat eselon II diberhentikan. Semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, tingkat korupsi di sana sangat rendah. (Gloria Samantha, Raras Cahyafitri, Agung Dwi Cahyadi)