Reinkarnasi Indonesia dalam perkusi

By , Kamis, 20 Januari 2011 | 13:54 WIB

Kunokini menghadirkan sensasi perkusi di musik mereka. "Secara universal, pola dan ritme instrumen perkusi adalah hal mendasar dan universal," kata mereka.
Kunokini memilih untuk tidak berbicara lewat nada dan melodi. Dengan lantang, mereka mencuat lewat sahut-sahutan yang dipandu geliat ritme dari membran genderang. Dengan landasan itu, Kunokini meracik bebunyian dengan pesan-pesan kritik sosial. Pada konser mereka Reinkarnasi: Kunokini Live In Concert, Selasa (18/1), semua elemen hadir dengan proporsional.
Konser tunggal yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta merupakan jadi jembatan penghubung antara grup musik eksentrik ini dan juga para penonton yang sudah merindukan aksi mereka. Tidak sedikit audiens yang menggoyangkan kepala, menjentikkan jari, dan beberapa kali merekahkan senyum bahagia, menikmati aransemen Bhismo, Bebi, dan Akbar.
Kunokini mengumandangkan Blue Yamko, salah satu lagu yang meminjam repetisi frase dari lagu daerah Papua Yamko Rambe Yamko. Kunokini menyulapnya menjadi komposisi yang mampu membius.
Tepat setelah Blue Yamko rampung, lampu menggelap dan dimulailah Forest Addict. Seluruh pemain yang ada di panggung menggunakan topeng dan mengeluarkan suara-suara binatang--mirip primata. Kesan liar dan buas, mengiringi nuansa gelap yang hadir di panggung pada saat lagu itu. 
Forest Addict sendiri merupakan karya Kunokini yang berteriak mengenai keserakahan dan kesadaran. Bukan hanya memainkan instrumen, Kunokini juga memperkuat konsep penyampaian pesan karya mereka juga dengan sedikit aksi-aksi teatrikal. Dengan wajah dibalut topeng, mereka merayap dan menelusuri sudut-sudut panggung, mengeluarkan bebunyian primata dan membentuk nuansa liar yang kelam. Totalitas berbuah apresiasi baik. Penonton terhanyut dan di akhir lagu ruangan dibanjiri tepukan tangan.
Sementara itu di lidah panggung Bebi disusul oleh tiga orang temannya dan duduk bersila dialasi oleh tikar bambu, membawa seperangkat teko dan gelas, sapu lidi dan membawa suasana hangat ala anak nongkrong. Bhismo menyesap minuman dari gelas, dan dilatari permainan suling bambu Bebi dan degup genderang Akbar, melantunlah Bamboo Raining. Kalimat-kalimat yang bersifat introspektif keluar dan dipaparkan oleh Bhismo dengan pelan dan sangat hati-hati. Pelirikan naratif yang baik, mengisahkan tentang proses pencerahan dan penemuan jati diri di hadapan Tuhan. Intimasi dan suasana khusyuk menyelimuti penonton. 
Menjelang akhir pertunjukkan, mereka membawakan Indo Baru. Sebelumnya lagu itu, mereka maju ke depan panggung dan mengucapkan terima kasih ke hadapan penonton, kembali ke posisi masing-masing dan membawakan Indo Baru.
Akbar dan perangkat drum orisinalnya mendentumkan ketukan kental beraroma drum and bass, disusul dengan Darman yang menampar kulit Djembenya memberikan pukulan-pukulan paradidle yang semakin menggebu. Bhismo meneriakkan lolongan-lolongan tentang bangsa Indonesia yang bangkit dan berjuang untuk menjadi Indonesia yang baru. 
Lagu usai, layar menggelap namun penonton masih lapar dan meminta-minta lagi Kunokini keluar panggung. Maka malam itu ditutup dengan manis dengan lagu Rasa Sayange dengan Kunokini turun di antara penonton dan mengajak semuanya untuk berdiri dan ikut berdendang. 
Kunokini berhasil memberikan semua orang pertunjukkan seni yang total, dan juga membubuhkan pesan pelestarian budaya pada setiap hentakan karyanya.(Teguh Wicaksono)