Imlek ala Cina Benteng

By , Senin, 7 Februari 2011 | 18:09 WIB

Jelang sehari sebelum imlek, rumah kebaya megah berlantai tanah seluas 500 meter persegi milik Oen Kong Tjoan (65) tampak sepi. Tak ada lampion merah atau tanda-tanda perayaan imlek lainnya. Hanya terlihat beberapa buruh sedang mengangkut dan meluruhkan biji-biji padi untuk kemudian dijemur. Panen kali ini bertepatan dengan perayaan imlek, berkah bagi mayoritas warga Cukanggalih yang bermata pencarian petani. Siang itu istri Kong Tjoan, The Pin Nio (59) tengah sibuk di dapur menyiapkan menu masakan dan buah-buahan untuk sesaji di meja abu keluarga, sedangkan suaminya duduk santai di kursi malas tua di paseban rumahnya. “Saya lakukan sendiri saja, ngga ada yang bantuin. Udah biasa kok,” ujar Pin Nio tersenyum sembari merapikan tumpukan dua kue keranjang buatannya yang berbungkus daun pisang. Tak lupa taplak merah bermotif dewa-dewa mitologi Tionghoa turut mempercantik meja abu keluarga yang menghadap ke pintu depan.

Teh di meja abu masyarakat Cina Benteng di Cukanggalih, Tangerang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Seperti ritual jelang imlek pada umumnya, setiap keluarga keturunan Tionghoa biasanya menyiapkan sesajian untuk menghormat arwah leluhur. Tjoa Ke San (78) yang sudah berkurang pendengarannya itu sibuk membuat kim chua (replika uang perak dari kertas) bersama anak lelakinya Tjoa Oan Pih (19) yang masih kuliah. Keluarga ini telah menyiapkan buah-buahan, nasi, teh, dan berbagai menu masakan untuk sambut imlek. Istri Ke San, Kwa Tiam Eng ( 57) melengkapinya dengan 12 menu lauk dan sayur, kue wajik, kue mangkok, kue keranjang, dan hidangan wajib atau samseng yang terdiri atas seekor ikan bandeng, sekerat daging babi, dan seekor ayam bekakak. Tiga hidangan terakhir itu dikukus dan dibumbui hanya dengan garam saja supaya lebih tahan lama. Perayaan imlek warga Cukanggalih tak jauh berbeda dengan Pondok Jagung Utara yang disikapi dengan kesederhanaan. Bedanya warga Pondok Jagung sudah tak bisa menikmati panen sawahnya lagi. Kebun karet dan sawah tempat mereka bekerja sudah digadaikan kala pembangunan perumahan di sekitar Serpong.

Minuman teh dalam tampah yang berisi menu sesajen jelang perayaan Tahun Baru Imlek dalam budaya Cina Benteng. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Banyak makam Tionghoa di kawasan kebon karet yang kini telah berubah menjadi perumahan,” tukas Loa Ik Ai (57) pemijat tuna netra yang pernah memiliki sawah seluas empat hektare di Pondok Jagung. Makam buyutnya pun tak luput dari penggusuran, hingga dipindahkan dekat rumahnya. Saat ini Ik Ai dan keluarganya mendiami rumah kebaya yang terbuat dari kayu nangka, sentul, dan kecapi warisan engkongnya. Sayangnya, bagian paseban rumah kebayanya rela dirobohkan dan berganti lahan yang disewakan untuk usaha.

Kue mangkok, salah satu kudapan yang dipersiapkan warga Cina Benteng jelang perayaan Tahun Baru Imlek. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sebagian besar warga Cina Benteng di Pondok Jagung maupun Cukanggalih tak sepenuhnya memahami makna di balik simbol yang mewakili perayaan imlek tersebut. Seperti Pin Nio dan Tiam Eng yang tetap senang bisa menyiapkan upacara tinggalan leluhur meski mereka tak mengerti makna di balik menu-menu masakan yang mereka sajikan. Bisa jadi orang tua mereka pun tak pernah mengajarkan makna simbolik tersebut karena hanya mengikuti tradisi.

Kue keranjang menjadi salah satu bekal makan siang bagi petani-petani di Cukanggalih, Kabupaten Tangerang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Namun, perayaan imlek tak kehilangan makna sejatinya. Selain melestarikan tradisi, makna imlek bagi mereka adalah berkumpulnya sanak keluarga, anak dan cucu, mengenang dan mendoakan leluhur. Sebuah makna bersahaja di tengah pesona perayaan di kota yang bersifat kesenangan dan duniawi semata.